Pemuda Jepang Teliti Relasi Islam dan Pelestarian Lingkungan di Indonesia
Natsu tertarik untuk mendalami beberapa gerakan lingkungan berbasis Islam seperti sedekah sampah dan hutan wakaf.
Beragam inovasi gerakan pelestarian dengan nilai Islam membawa Natsuki Chubachi untuk melakukan penelitian di Indonesia. Mahasiswa program doktoral dari Universitas Kyoto, Jepang tersebut, tertarik untuk mendalami beberapa gerakan lingkungan berbasis Islam seperti sedekah sampah dan hutan wakaf. Kepada Republika, Natsu, begitu dia akrab disapa, mengaku memilih Indonesia setelah mendapatkan rekomendasi para profesornya di kampus.
Natsu memulai dengan 40 masjid dan pesantren yang berada di sekitar Jawa yang memiliki program ekologi. Lelaki berusia 26 tahun ini bergerilya ke Jakarta, Bekasi, Bandung, hingga Jogjakarta. Dia pun mendapati temuan jika rata-rata, masjid dan pesantren tersebut memiliki pengelolaan sampah mandiri. Mereka mengumpulkan sampah kemudian memilahnya. Untuk sampah yang tidak terurai seperti plastik dan besi, maka akan diolah atau dijual kembali ke pengepul. Terkadang, sampah-sampah tersebut diolah menjadi kerajinan tangan.
Untuk sampah dapur maka akan diolah menjadi kompos. “Hasilnya dimanfaatkan untuk pupuk,”kata dia saat berbincang dengan MOSAIC melalui platform komunikasi virtual, beberapa waktu lalu.
Selain menjadi pupuk, beberapa objek yang diteliti Natsu juga menjadikan sampah dapur sebagai media beternak maggot dan cacing. Hewan bertulang lunak ini akan dijual sebagai pakan ternak. Di pasaran, harga maggot hidup berkisar Rp 20 ribu-Rp 30 ribu per kg. Nilai jual maggot akan bertambah menjadi kisaran Rp 50 ribu per kg ketika dijual dalam kendisi kering.
Natsu menyaksikan bagaimana pengelolaan sampah bisa menjadi kekuatan ekonomi dari masjid dan pesantren. “Dari masjid-masjid yang saya telusuri, banyak yang meminta saya untuk ke Jogja untuk ke Masjid Al-Muharram,”ujar dia.
Masjid Al-Muharram berada di Kampung Brajan, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul. Masjid ini telah menginisiasi Gerakan Sedekah Sampah (GSS) sejak 2013 silam. Gerakan tersebut diinisiasi oleh Ustaz Ananto Isworo, Takmir Masjid Al Muharram.
Awal mencetuskan program ini pun tidaklah mudah mengingat kata 'sedekah' tidak sebanding dengan 'sampah'. Warga merasa heran dengan nama program tersebut. Dana hasil pengumpulan sampah dari gerakan itu kemudian dikembalikan lagi ke masyarakat.
Ada tiga program yang dikelola dengan menggunakan dana gerakan ini. Pertama, santunan beasiswa pendidikan yatim piatu dan dhuafa. Ini merupakan program yang pertama kali digerakkan melalui dana GSS. Padamulanya, warga tidak percaya dengan gerakan ini, tetapi ketika mereka merasakan SPP anak-anak mereka dibantu, warga pun mulai ikut membesarkan GSS.
Berikutnya, santunan sedekah bagi janda fakir miskin, yaitu Rp 50 ribu-Rp 100 ribu setiap paket selama tiga bulan sekali. Seiring waktu program ini terkadang diselingi dengan bantuan pemerintah maupun swasta. Program santunan kesehatan untuk setiap warga kurang mampu yang opname akan mendapatkan santunan Rp 500 ribu.
Melihat manfaat besar dari GSS ini, tidak hanya warga Kampung Brajan maupun remaja masjid yang ikut memilah sampah di masjid. Para pemuda dari luar seperti mahasiswa juga kerap ikut serta. Masjid-masjid di tanah air kemudian mengadopsi gerakan tersebut. Masjid Al-Muharram yang juga pernah menerima manfaat dari program Sedekah Energi dari MOSAIC pun membuat jejaring masjid-masjid GSS. Hingga kini, ada 53 masjid yang ikut dalam ekosistem sedekah sampah tersebut.
Natsu yang juga menyempatkan diri untuk mengunjungi Masjid Al-Muharram mengungkapkan, warga berkolaborasi dalam gerakan sedekah sampah dengan didorong oleh nilai-nilai Islam. “Islam itu platform untuk mengeksplorasi sampah. Saya pikir aspek itu (Islam) sebagai platform sangat menarik. Jadi saya harus menarik atau mendorong conclusion dari platform itu,”kata dia. “Mereka punya cara alternatif dan legitimasi di bawah agama dan kepercayaan dan di share,” tambah dia.
Selain tertarik untuk mengulas sedekah sampah, Natsu juga meneliti perihal hutan wakaf. Dia pun menyambangi Hutan Wakaf Bogor, Hutan Wakaf Aceh hingga Hutan Wakaf di Mojokerto. Menurut Natsu, hutan wakaf di Indonesia berbeda dengan hutan wakaf sosial. Hutan wakaf terbilang unik karena memadukan konsep filantropi dalam Islam dengan pelestarian alam. Konsep hutan wakaf pun menyebar di beberapa daerah. “Ada penggerak di Indonesia yang melihat hutan wakaf ini dilindungi oleh Tuhan bukan milik negara atau pribadi,”kata dia.
Hutan wakaf merupakan suatu lahan wakaf yang difungsikan sebagai hutan sesuai dengan akad antara wakif (pemilik lahan atau pembebas lahan) dengan nadzir (pihak yang ditunjuk mengelola lahan yang sudah diwakafkan). Meski hukum di Indonesia tidak mengenal nomenklatur hutan wakaf, tetapi Indonesia sudah memiliki regulasi atau undang-undang terkait wakaf.
Berawal dari rasa ingin tahu terhadap Daesh
Perjalanan Natsu untuk meneliti Islam dan lingkungan di Indonesia tidak serta merta dilakukan. Pada awalnya, rasa penasaran Natsu akan Islam lahir akibat dari gerakan ISIS yang kerap membawa-bawa Islam dalam propaganda mereka. Kala itu, ISIS atau kerap disebut Daesh yang menguasai beberapa daerah di Irak dan Suriah selalu mempertontonkan kebiadaban tidak hanya kepada non Muslim tetapi kepada Muslim yang membangkang.
Natsu yang ingin memahami lebih jauh mengenai Islam lantas pergi ke Sudan demi belajar bahasa Arab. Dia mengaku memilih Sudan karena populer dengan bahasa Arab Fushah (bahasa bagi akademisi) yang baik. Menjelang peralihan 2019, Sudan mengalami revolusi. Presiden Omar al-Bashir yang dikenal sebagai rezim diktator dijungkalkan oleh warga. Demonstrasi dan unjuk rasa yang memanaskan suhu politik di Sudan ikut dirasakan Natsu. Saat mengikuti unjuk rasa, dia pun terkejut ada yang memunguti sampah saat demonstrasi. Terlebih, apa yang meraka lakukan karena berdasarkan ajaran agama Islam.“Tadinya saya beranggapan Islam tentang tindak keimanan tau bersedekah, haji. Tapi di Sudan, kebanyakan meraka punya ide tentang lingkungan atau lingkungan alam,”ujar Natsu.
Setelah empat bulan belalar bahasa di Sudan, Natsu pergi ke Mesir untuk memperdalam ilmu bahasa Arabnya. Disana, dia pun banyak belajar bahasa percakapan sehari-hari dari lelaki Yaman. Saat belajar informal ini, dia kembali menyadari betapa Islam tak sebatas ritual. "Dari dia, saya juga belajar lingkungan,"ujar dia.
Setelah menghabiskan waktu hampir setengah tahun di Afrika, Natsu kemudian kembali ke Jepang. Dia memutuskan untuk studi tentang Islam dan lingkungan untuk meneruskan program master dan Phd. “Saya data informasi tentang ajaran Islam dan lingkungan tetapi lebih teori saja, buku-bukunya. Saya pikir Islam dan lingkungan merupakan subjek cukup untuk tesis saya,”ájelas dia.
Natsu kemudian memilih Indonesia sebagai negara yang akan diteliti. Selain merupakan rekomendasi supervisor, Natsu merasa ada lebih banyak inovasi di Indonesia perihal Keislaman ketimbang di negara-negara Arab.
"Pada sisi lain, Indonesia ada di daerah rain forest. Saya pikir ini menjadi bukti bahwa masalah lingkungan atau krissi iklim sangat terkait dengen kehidupan orang islam,”kata dia.