Jalan Iklim Paus Fransiskus

Paus Fransiskus menyaksikan Deklarasi Istiqlal 2024 yang mengulas seputar dehumanisasi dan krisis iklim.

Sep 6, 2024 - 09:35
Sep 6, 2024 - 09:36
Jalan Iklim Paus Fransiskus
Vatican News

MOSAIC-INDONESIA, JAKARTA Isu iklim dan lingkungan selalu menjadi perhatian Paus Fransiskus, tidak terkecuali pada kunjungan apostoliknya ke Indonesia pada 3-6 September 2024. Dalam kunjungannya ke Masjid Istiqlal, Jakarta, Kamis (5/9/2024), Paus berkebangsaan Argentina itu menyoroti betapa Indonesia sebagai negara dengan tambang emas terbesar di dunia.

Paus menyampaikan petuahnya tersebut di hadapan berbagai pejabat negara dan tokoh agama yang hadir di Masjid Istiqlal. "Indonesia adalah negara besar, mosaik budaya, suku bangsa, adat istiadat, keberagaman yang sangat kaya, yang tercermin pula dalam keanekaragaman ekosistem dan lingkungan sekitarnya," kata Paus.

"Jika benar kalian adalah tuan rumah tambang emas terbesar di dunia, ketahuilah bahwa harta yang paling berharga adalah kemauan agar perbedaan tidak menjadi alasan untuk bertikai, tetapi diselaraskan dalam kerukunan dan rasa saling menghormati," tambah dia. 

Tidak hanya itu, Paus menyaksikan Deklarasi Istiqlal 2024 yang bertajuk Meneguhkan Kerukunan Umat Bergama untuk Kemanusiaan. Deklarasi itu dibacakan para tokoh dari enam agama resmi yang diakui di Indonesia. Fokus pada deklarasi tersebut yakni pada dua krisis serius yakni dehumanisasi dan perubahan iklim.

Deklarasi tersebut mengungkap, fenomena global dehumanisasi ditandai terutama dengan meluasnya kekerasan dan konflik, yang seringkali membawa jumlah korban yang mengkhawatirkan. Poin berikutnya, menyoroti eksploitasi manusia atas ciptaan.  Bumi sebagai rumah bersama dinilai telah berkontribusi terhadap perubahan iklim yang menimbulkan berbagai konsekuensi destruktif seperti bencana alam, pemanasan global, dan pola cuaca yang tidak dapat diprediksi.

Krisis lingkungan yang sedang berlangsung ini pun dinilai telah menjadi hambatan bagi kehidupan bersama yang harmonis diantara masyarakat. Untuk itu, para pemimpin agama yang hadir memberikan empat seruan  yang dicantumkan dalam deklarasi tersebut.

Pertama, nilai-nilai yang dianut oleh tradisi agama-agama kita harus dimajukan secara efektif untuk mengalahkan budaya kekerasan dan ketidakpedulian yang berada di dunia kita.

Sejatinya, nilai-nilai agama harus diarahkan untuk meningkatkan budaya hormat, martabat, bela rasa, rekonsiliasi, dan solidaritas persaudaraan untuk mengatasi dehumanisasi dan perusahaan lingkungan.

Dua, para pemimpin agama khususnya, terinspirasi oleh narasi dan tradisi rohani masing-masing, harus bekerjasama dalam menanggapi krisis-krisis tersebut di atas mengidentifikasi penyebabnya, dan mengambil tindakan yang tepat.

Tiga, oleh karena terdapat satu keluarga umat manusia di seluruh dunia, dialog antarumat beragama harus diakui sebagai sebuah sarana yang efektif untuk menyelesaikan konflik-konflik lokal, regional, dan internasional, terutama konflik-konflik yang dipicu oleh penyalahgunaan agama.

Selain itu, keyakinan dan ritual-ritual agama kita memiliki kapasitas khusus untuk menyentuh hati manusia dengan demikian menumbuhkan rasa hormat yang lebih dalam terhadap martabat manusia.

Empat, menyadari bahwa lingkungan hidup yang sehat, damai dan harmonis sangat penting menjadi hamba Allah dan pemelihara ciptaan yang sejati.

Apa yang disaksikan Paus terkait dengan Deklarasi Istiqlal juga senada seperti apa yang disampaikan Bapa Suci dalam acara tiga hari di Vatikan yang mempertemukan para wali kota, gubernur dan para ahli untuk mendiskusikan tema:"Dari krisis iklim menuju ketahanan iklim" yang dihelat pada Mei lalu. 

Dalam acara tersebut, Paus Fransiskus menyampaikan pidato saat beraudiensi dengan para peserta. Dalam pidatonya, Paus menyesalkan data yang memburuk terkait perubahan iklim, dan menyerukan tindakan segera “untuk melindungi manusia dan alam,"ujar dia seperti dilansir dari laman Vatican News.

Menurut Paus, negara-negara berkembang lebih menderita secara langsung akibat perubahan iklim, ia bertanya kepada para pemimpin politik dari berbagai negara apakah “kita bekerja untuk budaya kehidupan atau budaya kematian”.

“Negara-negara yang lebih kaya, sekitar 1 miliar orang, menghasilkan lebih dari setengah polutan yang memerangkap panas,” kata Paus. “Sebaliknya, 3 miliar orang yang lebih miskin hanya berkontribusi kurang dari 10%, namun mereka menderita 75% dari kerusakan yang diakibatkannya.”

Dari korban krisis iklim menjadi agen perubahan

Paus Fransiskus mengingatkan bahwa perusakan lingkungan adalah pelanggaran terhadap Tuhan dan dosa struktural yang membahayakan semua orang.

“Kita dihadapkan pada tantangan sistemik yang berbeda namun saling terkait: perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, kerusakan lingkungan, kesenjangan global, kurangnya ketahanan pangan dan ancaman terhadap martabat masyarakat yang terkena dampaknya,” katanya.

Setiap masalah ini, lanjut Paus, harus ditangani dengan segera dan secara kolektif untuk melindungi orang miskin di dunia, terutama perempuan dan anak-anak, yang menanggung beban yang tidak proporsional.