Potensi Besar, Pemanfaatan Tenaga Angin Belum Maksimal

Indonesia saat ini baru mampu menggunakan energi angin sebanyak 147 megawatt

Aug 11, 2024 - 11:05
Potensi Besar, Pemanfaatan Tenaga Angin Belum Maksimal

JAKARTA — Target emisi nol persen (Net Zero Emission) pada 2050 yang dicanangkan negara-negara yang tergabung dalam OECD diprediksi akan gagal, tulis seorang kontributor senior Forbes, David Blackmon. Dia mengungkapkan, beberapa negara tersebut telah menyatakan penundaan karena keterbatasan sumber daya dan modal. Salah satu konsekuensi dari kegagalan tersebut yakni terhambatnya transformasi energi dari fosil menjadi energi terbarukan.

Associated Press melaporkan, tenaga angin menjadi salah satu target yang disorot setelah digadang-gadang menjadi salah satu dari energi terbarukan yang harus ditingkatkan dalam Committe of Parties (COP) 28 tahun lalu. Sebuah lembaga konsultan energi yang berbasis di London, Ember, lewat keterangannya pada Kamis (8/8/2024) lalu mengungkapkan, negara-negara yang ikut dalam COP 28 berkomitmen untuk meningkatkan penggunaan listrik terbarukan sebanyak tiga kali lipat pada 2030. Tenaga angin, khususnya, ditargetkan untuk meningkat tiga kali lipat untuk mencapai hal tersebut, menurut Badan Energi Internasional dan badan lainnya.

Dengan mengkaji target nasional yang ditetapkan oleh 70 negara, mencakup 99% pembangkit listrik tenaga angin yang ada, Ember memproyeksikan dalam enam tahun ke depan, pembangkit listrik tenaga angin akan berlipat dua, bukan tiga kali lipat, dibandingkan dengan angka dasar pada tahun 2022.

Laporan tersebut mengamati turbin angin baik di darat maupun lepas pantai. “Pemerintah kurang berambisi terhadap pembangkit listrik tenaga angin, dan khususnya pembangkit listrik tenaga angin darat,” kata Katye Altieri, analis kelistrikan di Ember. “Angin tidak mendapat perhatian yang cukup.”

Angin sering kali bertiup paling kencang saat matahari tidak berada tinggi di langit. Dengan demikian, angin menjadi pelengkap yang baik untuk energi surya dalam upaya menghasilkan listrik bersih 24 jam per hari.

Laporan ini juga mengukur kemajuan negara-negara dalam mencapai tujuan untuk melakukan transformasi energi angin. Amerika berada pada peringkat terburuk, dengan margin sebesar 100 gigawatt, atau cukup untuk memberi listrik pada lebih dari 30 juta rumah. Target yang digunakan untuk AS berasal dari Laboratorium Energi Terbarukan Nasional, bagian dari Departemen Energi. Institusi tersebut menolak berkomentar saat diminta konfirmasinya lewat surat elektronik oleh AP.

Kesenjangan terbesar kedua antara target nasional dan proyek pembangkit listrik tenaga angin dalam pembangunan terjadi di India, yaitu lebih dari 30 gigawatt. Meskipun memiliki potensi energi angin yang cukup besar, hanya 4% listrik di India yang berasal dari energi angin, kata Altieri. Beberapa pejabat di kementerian energi India tidak membalas permintaan komentar dari AP saat diminta konfirmasinya melalui email.

Negara dengan peringkat terbaik untuk pengembangan angin yakni Brasil dan Finlandia yang dinilai sudah berada di jalur tepat. Hal tersebut, untuk melampaui target pembangkit listrik tenaga angin mereka masing-masing sebesar 15 dan 11 Gigawatt. Dua negara tersebut menjadi bagian  di antara 10 negara yang berhasil melampaui tujuan mereka. AP mencatat,  tujuh dari sepuluh negara berada di Eropa, termasuk Turki.

Brian O’Callaghan, peneliti utama di Smith School of Enterprise and the Environment di Universitas Oxford, Inggris, menekankan jika kunci kesuksesan pengembangan angin adalah teknologi. Angin dinilai lebih kuat di ketinggian, sehingga turbin yang lebih tinggi dapat menghasilkan lebih banyak listrik. Dua dekade terakhir telah terjadi perbaikan teknologi yang dramatis yang mengarah pada turbin yang lebih tinggi, terutama di lepas pantai, katanya.

Selain itu, kecepatan angin yang bisa menghasilkan peningkatan daya delapan kali lipat juga penting. Artinya, terdapat peluang besar bagi negara-negara yang ingin memanfaatkannya.‘Sebagian besar negara pesisir hampir tidak memanfaatkan sumber daya angin lepas pantai mereka,” kata dia, sambil mengungkap, Inggris menjadi salah satu contoh utama.

Beberapa negara mempunyai angin kencang namun baru mulai membangun turbin angin. Altieri menunjuk Rusia, Jepang, dan Korea Selatan dalam kategori ini. Rusia memiliki potensi energi angin terbesar dibandingkan negara mana pun, menurut NREL, namun Ember mengatakan Rusia menghasilkan kurang dari 1% listriknya dari energi angin pada tahun 2023.

John Reilly dari Massachusetts Institute of Technology, yang mempelajari kebijakan energi dan perubahan iklim untuk 45 tahun, mengatakan,  Rusia tidak berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. “Negara ini mempunyai gas alam dan batu bara dalam jumlah besar, jadi tidak ada insentif ekonomi nyata bagi mereka untuk mengembangkan pembangkit listrik tenaga angin,” kata dia.

Seperti banyak negara kepulauan lainnya, Jepang juga memiliki potensi angin yang besar, namun hanya menghasilkan 1% energinya dari angin, kata Altieri. “Lautnya sangat dalam, hanya sedikit di lepas pantai Jepang, sehingga membuatnya lebih sulit,” kata Reilly. Negara ini juga memiliki pegunungan yang curam, sehingga sulit untuk memasang turbin, katanya.

Peraturan yang ketat di Korea Selatan mempersulit pembangunan turbin angin dan opini publik telah memperlambat pembangunan lebih lanjut, katanya. Di seluruh dunia, sering terjadi penolakan terhadap turbin angin.Kementerian Perdagangan dan Ekonomi Jepang tidak menanggapi permintaan komentar melalui email. Badan Energi Korea Selatan tidak dapat dihubungi untuk memberikan komentar.

Secara lebih luas, jatuhnya harga tenaga surya dapat membantu menjelaskan kurangnya minat terhadap tenaga angin, kata Reilly.“Ketika banyak dari komitmen besar ini dibuat,” katanya, “angin tampak seperti sumber energi terbarukan yang paling murah.”

Meskipun beberapa negara masih tertinggal, penulis utama studi tersebut, Altieri, mengatakan ada alasan untuk tetap semangat mengembangkan angin. “Eropa sedang dalam kondisi baik,” katanya, dan hal ini juga terjadi karena Laut Utara, sumber daya angin yang luar biasa, hampir tidak dimanfaatkan.

Ia memperkirakan Eropa dan China akan terus menjadi pemain yang mendominasi  dalam perluasan listrik berbahan bakar angin.

Bagaimana dengan Indonesia?

Wiloyo Kusdwiharto, Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) menegaskan, potensi energi angin di Indonesia sangat melimpah. Dia memperkirakan, potensinya diperkirakan mencapai 155 gigawatt (GW). Meski demikian, Indonesia saat ini baru mampu menggunakan energi angin sebanyak 147 megawatt (MW). 

Wiluyo juga mengungkapkan sejumlah tantangan dalam pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu/Angin (PLTB).  Diantaranya seperti, kebutuhan tenaga kerja lokal yang terampil, kemampuan industri lokal dalam memproduksi suku cadang PLTB, dan lahan infrastruktur yang sesuai dengan tata ruang.

“Dengan semakin maju teknologi pembangkitan energi terbarukan saat ini, kedepannya dapat menurunkan harga produksi pembangkit energi terbarukan. Sehingga dapat bersaing dengan pembangkit yang masih menggunakan energi fossil”, ungkap Wiluyo lewat laman resmi METI  belum lama ini 

Dia juga menggarisbawahi pentingnya kebijakan dan regulasi yang konsisten serta insentif dari pemerintah untuk mempercepat pengembangan PLTB di Indonesia. Dengan adanya Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) yang tengah dirancang diharapkan dapat menjadi solusi untuk mengatasi hambatan-hambatan ini.