Hutan Wakaf, Upaya Cegah Karhutla dari Hulu

Di Indonesia, alih fungi hutan masih menjadi hal yang legal.

Aug 16, 2024 - 21:10
Hutan Wakaf, Upaya Cegah Karhutla dari Hulu
Karhutla/KLHK

JAKARTA -- Indonesia telah memasuki kemarau sejak Juli 2024. Teriknya cuaca di berbagai daerah juga bertepatan dengan munculnya kebakaran hutan dan lahan. Di beberapa daerah, khususnya  Sumatra dan Kalimantan, kebakaran sudah terjadi. Berdasarkan sistem pemantauan karhutla yang dikelola KLHK, ada 463 titik api sepanjang Juli. Hingga pertengahan Agustus ini, jumlah titik api mencapai 243 titik dari semua provinsi.

Jika berkaca pada angka luas kebakaran sepanjang 2023 lalu, trennya memang meningkat dibandingkan tiga tahun belakangan.  Total luas karhutla hingga akhir Desember mencapai 1,16 juta ha atau sembilan kali luas pulau Jawa.  Masih dari data pemantauan KLHK, grafik emisi yang dihasilkan akibat Karhutla merangkak naik ketimbang pada 2020. Selama 2023, misalnya, ada lebih dari 182 juta ton CO2/ha emisi yang dihasilkan akibat Karhutla sementara pada 2022 jumlahnya mencapai hanya 23 juta ton CO2/ha.

Upaya mengurangi Karhutla bukannya tidak dilakukan pemerintah. Jumlah yang kita lihat sekarang memang menurun ketimbang saat kebakaran besar pada 2015 dan 2019. Saat itu, Indonesia bahkan dicap sebagai negara pengekspor asap mengingat polusi akibat kebakaran hutan di Sumatra dan Kalimantan kerap sampai di Singapura dan Malaysia. Pemerintah dengan jurus ‘pemadam kebakaran’ dan penguatan dalam aspek penegakan hukum terbukti melakukan itu.

Tanpa mengecilkan upaya pemerintah dalam mengantisipasi pemadaman hutan, langkah tersebut belum menyelesaikan akar permasalahan yang kerap menjadi hantu blau Karhutla, yakni alih fungsi lahan. 

Di Indonesia, alih fungi hutan masih menjadi hal yang legal. Praktik tersebut dilindungi oleh UU Kehutanan  pasal 38 ayat (1) bahkan menyebutkan bahwa penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung.

Data KLHK menunjukkan alih fungsi lahan hutan secara legal sejak Orde Baru hingga 2017 ada sebanyak 6,7 juta hektare. Sedangkan alih fungsi lahan hutan yang menjadi kebun sawit seluas 3,1 juta hektare, belum termasuk pertambangan ilegal. Ada juga alih fungsi melalui izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) yang telah diterbitkan dari tahun 1979 hingga 2018 seluas 563.463,48 hektare.

Alih fungsi hutan juga terjadi di kawasan mangrove. Nelayan setempat yang menginginkan nilai ekonomi lebih tidak jarang mengubah lahan mangrove menjadi tambak ikan atau udang. Hutan mangrove pun menjadi lahan kritis sehingga mengancam abrasi pulau-pulau di sekitar. 

Butuh solusi dari hulu yang melibatkan masyarakat demi mencegah kebakaran hutan.Sebagai negeri dengan populasi Muslim terbesar di dunia yang dikenal sebagai masyarakat religius, Indonesia memiliki modal sosial yang berasal dari nilai-nilai keagamaan sebagai salah satu opsi menyelesaikan masalah kebakaran hutan.

Belakangan ini, gerakan akar rumput yang digalang para aktivis dan akademisi muncul dalam bentuk hutan wakaf. Dengan skema wakaf, gerakan tersebut berhasil mempermanenkan hutan sesuai dengan akadnya hingga selama-lamanya.  Gerakan tersebut sudah berada di beberapa titik di Indonesia sepeti di Jantho (Aceh), Bogor (Jawa Barat) hingga Mojokerto (Jawa Timur).

Hutan wakaf merupakan sebuah konsep yang muncul dari prinsip-prinsip wakaf dalam agama Islam. Secara sederhana hutan wakaf adalah lahan hutan yang dikelola atau dikembangkan di atas tanah wakaf. Tanah wakaf sendiri adalah tanah yang diberikan atau disisihkan oleh perorangan atau lembaga untuk kepentingan umum, seperti pembangunan masjid, sekolah atau hutan, sesuai dengan prinsip agama Islam.

Keunikan hutan wakaf adalah tanahnya tidak dapat dijual, diwariskan, atau dihibahkan. Artinya, tujuan pemanfaatan tanah wakaf harus untuk kepentingan umum dan berkelanjutan, seperti menjaga kelestarian lingkungan dan sumber daya alam. Dengan demikian, hutan wakaf mempunyai peranan yang sangat penting dalam menjaga kelestarian lingkungan dan ekosistem alam.

Salah satu alasan utama mengapa hutan wakaf perlu dikembangkan adalah karena karakteristiknya yang unik. Keterikatan tanah wakaf dengan prinsip wakaf yang mengharuskan tanah tersebut digunakan untuk kepentingan umum secara berkelanjutan menjadikannya sebagai aset yang sangat berharga dalam upaya pelestarian lingkungan. Dengan menjaga kelestarian hutan wakaf, kita dapat memastikan sumber daya alam yang ada tetap terjaga dan dapat dinikmati oleh generasi mendatang.

Hutan wakaf telah memiliki sejarah panjang di beberapa masyarakat, termasuk Turki, dimana konsep wakaf telah diterapkan selama berabad-abad. Di Turki, banyak hutan dan lahan lain yang diberikan status wakaf untuk tujuan pelestarian lingkungan dan kepentingan publik lainnya, sebagaimana disebutkan dalam disertasi Selcuk Dursun pada tahun 2007. Praktik wakaf ini mencerminkan komitmen komunitas Muslim untuk menjaga dan memelihara sumber daya alam. kelestarian lingkungan hidup.

Di Indonesia, inisiatif hutan wakaf mulai berkembang pada tahun 2012 di Aceh. Hutan Wakaf yang dikembangkan di Aceh diberi nama Hutan Wakaf Aceh. Di Bogor, Jawa Barat terdapat Hutan Wakaf Bogor yang dikelola oleh Yayasan Hutan Wakaf Bogor. Merupakan organisasi yang didirikan dengan tujuan untuk mengembangkan hutan wakaf di wilayah Bogor, Jawa Barat, Indonesia.

Melalui upaya ini, tanah yang diberikan melalui wakaf dikelola secara profesional untuk menjaga keanekaragaman hayati, menyediakan habitat bagi satwa liar. Hal ini juga mengurangi risiko bencana alam. Pengelolaan hutan wakaf dapat dilakukan oleh berbagai pihak, tergantung pada struktur organisasi dan peraturan yang berlaku di masing-masing tempat. Beberapa hutan wakaf dikelola oleh yayasan atau lembaga swadaya masyarakat yang khusus dibentuk untuk tujuan tersebut, seperti Yayasan Hutan Wakaf Bogor di Indonesia. Di tempat lain, seperti di Bandung, Jawa Barat, pemerintah daerah juga bisa mengelola hutan wakaf.

Dalam konteks pengelolaan hutan lestari, hutan wakaf dapat memberikan berbagai manfaat, seperti: restorasi ekosistem, rehabilitasi lahan terdegradasi atau rusak sehingga mengembalikan fungsi hutan dan pengaturan iklim. Secara ekonomi, hutan wakaf dapat berkontribusi melalui kegiatan pemberdayaan masyarakat, seperti agroforestri atau ekowisata, yang dapat menciptakan sumber pendapatan tambahan bagi masyarakat lokal.

Selain itu, hutan wakaf juga dapat memberikan manfaat sosial dengan membantu meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan masyarakat sekitar. Hal ini dapat dilakukan melalui program pendidikan lingkungan hidup, pelatihan keterampilan, atau pemberian akses terhadap layanan kesehatan dasar.

Sebagai salah satu dari tiga negara dengan hutan terluas di dunia, hutan tropis Indonesia selalu menjadi paru-paru dunia. Dengan inisiatif yang berlandaskan nilai-nilai lokal dan spiritual, diharapkan hutan berbasis masyarakat seperti hutan wakaf dapat menjadi salah satu jawaban untuk mengurangi mimpi buruk kebakaran hutan. Dengan model wakaf, hutan akan lestari dan deforestasi dapat dihentikan.