Fatwa MUI untuk 'Padamkan' Karhutla
Kebakaran hutan pun seolah menjadi peristiwa tahunan yang terjadi saat musim panas.
Hutan menjadi anugerah Allah SWT yang penting untuk díjaga dan dilestarikan. Keberadaan hutan akan membawa menfaat tak hanya bagi masyarakat, tetapi juga bagi ekosistem secara umum. Meski demikian, terbilang sulit untuk menghentikan kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Terlebih, memasuki Agustus ini, kemarau yang diiringi kekeringan sudah melanda.
Kebakaran hutan pun seolah menjadi peristiwa tahunan yang terjadi saat musim panas. Di beberapa daerah, khususnya Sumatra dan Kalimantan, kebakaran sudah terjadi. Berdasarkan sistem pemantauan karhutla yang dikelola KLHK, Si Pongi, ada 463 titik api sepanjang Juli. Hingga pertengahan Agustus ini, jumlah titik api mencapai 243 titik dari semua provinsi.
Jika berkaca pada angka luas kebakaran sepanjang 2023 lalu, trennya memang meningkat dibandingkan tiga tahun belakangan. Total luas karhutla hingga akhir Desember mencapai 1,16 juta ha atau sembilan kali luas pulau Jawa. Masih dari data pemantauan KLHK, grafik emisi yang dihasilkan akibat Karhutla merangkak naik ketimbang pada 2020. Selama 2023, misalnya, ada lebih dari 182 juta ton CO2/ha emisi yang dihasilkan akibat Karhutla sementara pada 2022 jumlahnya mencapai hanya 23 juta ton CO2/ha.
Upaya pembakaran terbilang paling mudah dan murah bagi mereka yang ingin membuka lahan. Padahal, dampak yang timbul amat besar. Selain menimbulkan emisi berupa asap yang pekat, karhutla juga akan membuat kehidupan ekosistem hayati terganggu.
Adanya Karhutla sebenarnya sudah memantik perhatian para ulama yang tergabung dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk mengambil sikap. Pada 2016, Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 30 Tahun 2016 tentang Hukum Pembakaran Hutan dan Lahan serta Pengendaliannya dirilis.
MUI menyertakan delapan ayat Alquran dan tujuh hadits yang menjadi dalil fatwa tersebut. Beberapa pendapat ulama juga menguatkan fatwa MUI demi menghentikan pengusaha dan masyarakat membakar hutan dan lahan.
Dua ayat Alquran tersebut diantaranya berbicara tentang bagaimana Allah menggambarkan kerusakan di bumi sebagai ulah dari tangan-tangan manusia. Ayat lainnya mengungkap tentang bagaimana ancaman terhadap orang-orang yang melakukan kejahatan akan mendapat balasan setimpal.
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. ar Rûm: 41)
“Dan orang-orang yang mengerjakan kejahatan (mendapat) balasan yang setimpal dan mereka ditutupi kehinaan. Tidak ada bagi mereka seorang pelindungpun dari (azab) Allah, seakan-akan muka mereka ditutupi dengan kepingan-kepingan malam yang gelap-gulita. Mereka itulah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya” (Q.S. Yûnus: 27).
Fatwa ini juga menguraikan hadits tentang betapa Nabi SAW melarang manusia untuk berlaku zalim kupada bumi. Dari Sa’id bin Zaid berkata, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang melakukan suatu kezaliman kepada bumi meski hanya sejengkal, maka sesungguhnya ia akan dikalungkan dengan tujuh lapis bumi (HR Ahmad).
MUI juga mengutip pendapat para ulama terkemuka, tentang bagaimana hukum bagi orang yang melakukan pengerusakan. Salah satunya yakni, Muhammad ibn Ahmad al-Fasiy, di dalam al-Itqân wa al-Ihkâm, Jilid II, halaman 105.
"Sesungguhnya setiap orang yang melakukan pengrusakan, ia wajib menanggungnya, dan dituntut untuk menggantinya. Jika sesuatu yang rusak itu benda yang ada kesamaannya, maka ia mengganti dengan benda yang sama. Dan jika sesuatu yang rusak itu benda yang hanya dapat diketahui nilai harga, maka ia menggantinya dengan nilai harganya."
MUI pun menegaskan, pembakaran hutan dan lahan yang dapat menimbulkan kerusakan, pencemaran lingkungan, kerugian orang lain, gangguan kesehatan, dan dampak buruk lainnya, hukumnya haram.
Demikian dengan pihak yang memfasilitasi, membiarkan, dan/atau mengambil keuntungan dari pembakaran hutan dan lahan, maka hukumya juga haram.
MUI menegaskan, pembakaran hutan dan lahan merupakan kejahatan dan pelakunya dikenakan sanksi sesuai dengan tingkat kerusakan dan dampak yang ditimbulkannya. Menurut MUI, pengendalian kebakaran hutan dan lahan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan umum hukumnya wajib.
Meski demikian, MUI menoleransi pemanfaatan hutan dan lahan yang bisa dilakukan dengan syarat memperoleh hak yang sah untuk pemanfaatan, mendapatkan izin pemanfaatan dari pihak yang berwenang sesuai dengan ketentuan berlaku, ditujukan untuk kemashlahatan, tidak menimbulkan kerusakan dan dampak buruk, termasuk pencemaran lingkungan. MUI pun mengharamkan pemanfaatan hutan dan lahan yang tidak sesusai dengan persyaratan tersebut.
Peneliti asal Universitas Nasional Fachrudin Mangunjaya mengungkapkan, fatwa tersebut efektif dalam mencegah kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Faktanya, ujar dia, peristiwa karhutla jauh menurun. Kebakaran hutan memang kembali tinggi pada 2019 lalu tetapi kini jauh lebih sedikit. "Memang harus ada penelitian lebih jauh tetapi faktanya karhutla menurun tidak lama fatwa itu keluar,"ujar dia.