Bettina Grallert, Jatuh Cinta dengan Hutan Sumatra

Pada 1994, Bettina mendirikan sebuah museum hutan tropis di Leipzig, Jerman.

May 7, 2024 - 18:21
Bettina Grallert, Jatuh Cinta dengan Hutan Sumatra
Bettina Grallert

Hutan tropis Sumatra memiliki keindahan yang melegenda. Keanekaragaman hayati berupa flora dan fauna membuat banyak sekali peneliti dari penjuru dunia untuk singgah ke pulau ini.

Tidak terkecuali dengan Bettina Grallert. Dalamnya cinta Bettina terlihat saat peneliti asal Jerman ini dan kawan-kawannya membangun sebuah museum untuk memperkenalkan hutan hujan tropis di Kota Leipzig, Jerman. Lewat Museum Phyllodrom, Bettina menginginkan agar masyarakat Jerman mengenal dan menyadari pentingnya keberadaan hutan tropis di berbagai daerah, termasuk Sumatra.

Sejak tahun 80-an, Bettina sudah memiliki ide untuk membangun sebuah museum tropis. Bettina menilai hutan tropis sangat istimewa jika dilihat dari beragam jenis hewan dan tumbuhan. Menurut dia, kehidupan di hutan tersebut tidak bisa dibandingkan dengan hutan yang ada di Jerman. “Kami membuat museum disini supaya orang mengerti ini sangat indah dan itu idenya karena hubungan dengan perubahan iklim dan itu semuanya dalam dunia juga waktu itu sudah tampak,”kata dia, belum lama ini.

Pada 1994, Bettina mendirikan sebuah museum hutan tropis di Leipzig, Jerman, bernama Museum Phyllodrom. Namanya diambil dari bahasa latin dan bahasa Yunani. Artinya, Rumah Daun. Bettina mendirikan museum tanpa ada rumah apalagi gedung. Dia kemudian ‘menjual’ ide tersebut kepada beberapa koleganya. Mereka pun tartarik untuk mewujudkan mimpi Bettina.

Pembangunan Museum Phyllodrom kemudian selesai pada 2000. Dengan dukungan pemerintah setempat, Bettina dan kawan-kawannya bisa membangun sebuah museum hutan tropis untuk warga Leipzig. Tujuan museum yang memang didedikasikan untuk pendidikan membuat Bettina memilih skema sosial untuk pengelolaan museum tersebut. Sebagian besar pekerja museum bahkan berasal dari relawan. “Kalau kita mau mendidik orang-orang tidak pernah boleh menjadi bisnis karena tujuannya orang belajar tentang sesuatu yang sangat penting,”kata Bettina.

Terinspirasi dari sumatra

Bettina pertamakali menginjakkan kaki di Sumatra pada 1991. Kala itu, dia bersama mahasiswa lainnya sedang mengerjakan tugas penelitian studi pertanian topis. Dengan beragam latar belakang keahlian ilmu dari botani, serangga, dan spesialisasi lainnya, mereka menyambangi Sumatra.

Daerah yang pertama kali dikunjungi Bettina yakni Gunung Talamau di Padang, Sumatra Barat yang memiliki tinggi 2.982 Mdpl. Saat pertamakali ke Sumatra, Bettina menyaksikan sudah ada perkebunan sawit. Meski demikian, daerah yang dilaluinya masih didominasi oleh hutan. Dia juga pergi ke Mentawai untuk meneliti soal etnologi.

Waktu yang terbatas membuat Bettina harus mempercepat penelitiannya. Dia pun kembali lagi ke Leipzig untuk belajar bahasa Indonesia. “Walaupun mereka sudah mulai (kuliah bahasa), saya minta izin ikut. Profesornya bilang ini bukan bahasa Indonesia tinggi, tapi bahasa Indonesia kampung. Saya ikut beberapa kali kuliah itu,”ujar dia.

Pada 1996 hingga 1997, Bettina kembali ke Sumatra. Sambil melanjutkan penelitian tentang Mentawai, dia menyempatkan diri untuk kuliah setengah tahun di Universitas Andalas, Padang. Perjalanannya ke Sumatra kali ini semakin membuatnya jatuh cinta dengan hutan. Hanya saja, Bettina juga menyaksikan kerusakan hutan akibat ulah tangan-tangan manusia. Kehidupan fauna liar seperti harimau, orang utan dan badak sumatra semakin terancam. Padahal, peran mereka amat penting dalam membentuk ekosistem alam. Dia pun kembali ke Jerman dengan perasaan kecewa. 

Bagi Bettina, hutan menjadi arena antara tumbuhan, manusia dan hewan yang membentuk suatu jaringan. Kerusakan hutan akan memutus mata rantai jaringan tersebut. Karena itu, Bettina mengaku sempat sakit hati saat kerusakan hutan di Sumatra kian menjadi. Sampai-sampai, pakar pertanian tropis dan etnologi itu bersumpah tidak mau menginjakkan kaki lagi ke Sumatra. “Hutan semakin rusak. Sampai saya memutuskan tidak ke Sumatra lagi karena saya tidak tahan melihatnya. Saya sakit hati,”kata dia.

Kerinduan Bettina kepada hutan Sumatra membuatnya kembali pada 2014. Bettina bertemu dengan komunitas masyarakat peduli hutan. Salah satunya, gerakan hutan wakaf di Kabupaten Jantho, Aceh yang didirikan Afrizal Akmal dan kawan-kawan. Akmal resah dengan lahan kritis di antara ribuan hektar kebun kelapa sawit di daerah Jantho, Aceh Besar.

Perluasan perkebunan sawit pun dinilai Akmal berbahaya bagi kualitas air sungai dan tanah.“Berbahaya kalau enggak ada campaign untuk pelestarian di hulu,”jelas dia.  Bersama tiga temannya, Akmal secara bertahap  membebaskan lahan di sekitar perkebunan sawit. Mereka memilih skema wakaf agar lahan yang dibebaskan tidak mudah beralih status. Jika sudah diwakafkan,  lahan tersebut akan tetap menjadi hutan sampai kapanpun.  “Di area ini, mungkin baru hutan wakaf ini yang sudah jelas statusnya,”jelas dia. 

Empat sekawan itu  membuka satu rekening bersama sebagai tabungan untuk membebaskan lahan. Pada 2017, tabungan mereka mencapai Rp 15 juta. Mereka pun membebaskan satu hektare pertama yang sekarang menjadi pintu masuk area hutan wakaf 1. Kisah tentang gerakan hutan wakaf disampaikan di warung kopi dan media sosial. Mereka juga mengundang mahasiswa setempat untuk rafting di sungai “Dari situlah orang mulai tanya rekening. Kami buka donasi lalu kami bebaskan lagi,”jelas Akmal. 

Hingga kini, area hutan wakaf sudah memiliki dua lokasi.  Pertama, tempat dimana hutan wakaf 1 berdiri, seluas 3,8 hektare sedangkan area berikutnya memiliki luas 9000 m2 yang berlokasi di sekitar sungai. Akmal juga mencatat ada sekitar 400 wakif — orang yang memberi wakaf — dari 2014 hingga kini.  Mereka berdonasi dari Rp 50 ribu hingga jutaan rupiah demi pembebasan lahan kritis di sekitar Jantho.

Menyaksikan bagaimana Akmal dan kelompoknya bekerja demi konservasi hutan, Bettina merasakan betapa indah Islam saat diaplikasikan. Bettina yang juga membaca Alquran ini mengatakan, kitab suci melarang mamusia untuk melakukan pengerusakan alam. Apalagi, manusia sebenarnya diharapkan bisa melestarikan bumi dan semua makhluk hidup yang berada di dalamnya. “Cuma pertanyaannya, apa memang manusia melakukan seperti itu?”kata Bettina.