Pesan Iklim di Balik Enam Ayat Alquran
Manusia yang sedang menghadapi perubahan iklim di berbagai belahan bumi patut merenungi bagaimana Alquran memberi pedoman
Sebagai firman Allah SWT yang menjadi petunjuk bagi manusia, Alquran berbicara mengenai berbagai sendi dalam kehidupan. Ayat-ayat di dalam kitab suci juga berisi tentang pesan dan peringatan kepada manusia agar menjadi rahmat bagi seluruh alam yang diciptakan Allah demi kepentingan manusia.
Ayat-ayat suci yang diturunkan kepada Rasulullah sejak 15 abad silam pun masih relevan bila dikontekstualisasikan pada masa sekarang. Manusia yang sedang menghadapi tantangan perubahan iklim di berbagai belahan bumi patut merenungi bagaimana Alquran memberi pedoman agar kita bisa menjaganya. Berikut enam ayat Alquran yang ditukil tim redaksi MOSAIC dari Tafsir Tematik Pelestarian Lingkungan Hidup yang diterbitkan Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran Balitbang Departemen Agama.
1. Rusaknya Laut
ظَهَرَ ٱلْفَسَادُ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ ٱلَّذِى عَمِلُوا۟ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
ẓaharal-fasādu fil-barri wal-baḥri bimā kasabat aidin-nāsi liyużīqahum ba'ḍallażī 'amilụ la'allahum yarji'ụn
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (ar-Rum/30: 41)
Ibnu ‘Asyur dalam menafsirkan ayat ini, antara lain, menerangkan bahwa sejatinya Allah SWT telah menciptakan alam semesta ini dengan suatu sistem yang serasi dan seimbang, sesuai dengan kemaslahatan umat manusia. Akan tetapi, mereka melakukan aktivitas yang buruk dan merusak sehingga berakibat pada ketidakseimbangan dalam sistem kerja alam. Al-fasad, yang ada dalam ayat tersebut ditafsirkan sebagai buruknya kondisi di bumi, baik di darat maupun di laut, di mana manusia mengambil banyak manfaat.
Kerusakan di laut, misalnya, terjadi berupa kelangkaan persediaan ikan, menipisnya mutiara dan batu mulia yang telah lama dikenal di negara-negara Arab, munculnya banyak topan di laut, kekeringan sumber-sumber air yang merupakan kebutuhan manusia.
Apabila laut tercemar, pantai rusak, biota laut tak berkembang, habitat makhluk bidup rusak dan ekosistem tidak berjalan, sumber-sumber air menjadi menipis atau tercemar. Dampak negatifnya pun akan dirasakan manusia itu sendiri. Dampak yang terjadi sudah bisa kita rasakan sekarang. Terjadinya pendidihan global (global boiling) adalah salah satu contoh kerusakan yang terjadi dalam keseimbangan alam dimana mantisa hidup bersama dengan makhluk lain.
Pendidihan ini sudah melelehkan timbunan es abadi di daerah kutub, menaikkan permukaan air laut di berbagai belahan dunia, yang membuat banyak pulau tenggelam. Sementara itu, kedahsyatan laut dengan volume airnya yang sangat besar dan dengan kekuatan gelombangnya yang sangat kuat mampu menghanyutkan, menenggelamkan, melumatkan apa saja yang dilewati oleh arus gelombangnya yang dahsyat pada situasi-situasi tertentu.
2. Bumi sebagai reservoir air
وَأَنزَلْنَا مِنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءًۢ بِقَدَرٍ فَأَسْكَنَّٰهُ فِى ٱلْأَرْضِ ۖ وَإِنَّا عَلَىٰ ذَهَابٍۭ بِهِۦ لَقَٰدِرُونَ
Wa anzalnā minas-samā`i mā`am biqadarin fa askannāhu fil-arḍi wa innā 'alā żahābim bihī laqādirụn
Dan Kami turunkan air dari langit dengan suatu ukuran; lalu Kami jadikan air itu menetap di bumi, dan pasti Kami berkuasa melenyapkannya. (al-Mu′minun /23: 18)
Ayat di atas menjelaskan bahwa air yang turun dari langit itu mengikuti dan tunduk pada qadar, yakni ketentuan Allah SWT yang diberlakukan pada alam yang dinamakan hukum alam. Sementara bumi, menurut hukum alam ciptaan Allah berfungsi sebagai reservoir air. Air yang tersimpan di bumi yang alami itu merupakan cara Allah dalam mengonservasi air untuk memberi minum manusia dan ternak serta tumbuhan hingga tumbuh segar. Konservasi air yang diciptakan Allah dalam sebuah siklus air mengacu kepada prinsip keseimbangan. Pada musim hujan, air yang tercurah itu tersimpan di dalam reservoir air sehingga tidak menimbulkan ancaman banjir bagi manusia. Sementara itu, di musim kemarau debet air yang tersimpan merupakan penyedia cadangan air sehingga tak mengalami kekeringan.
Allah, sebagaimana disebutkan di dalam Surah al- Mu′minūn/23 ayat 18 di atas, menurunkan hujan dengan kadar, takaran, atau ukuran tertentu dan menjadikan bumi dan gunung-gunung sebagai tempat resapan air. Sekiranya tidak ada gunung, tentu air yang turun melalui proses hujan itu tidak tersimpan dan air itu seluruhnya terbuang ke laut. Oleh karena itu, penggundulan hutan dan penyalahgunaan tata ruang sehingga mengurangi dan menghilangkan fungsi bumi sebagai tempat resapan air adalah tindakan zalim yang mengakibatkan terganggunya keseimbangan ekosistem dan menimbulkan bencana banjir yang mengancam dan menghancurkan kehidupan.
4. Laut yang Meluap dan Dipanaskan
وَإِذَا ٱلْبِحَارُ سُجِّرَتْ
Wa iżal-biḥāru sujjirat
Dan apabila lautan dinyalakan (QS at-Takwir ayat 6)
Pengurus Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim (LPBINU) Ali Yusuf menjelaskan, dua ayat tersebut memberikan isyarat berupa gambaran situasi pada saat hari akhir atau kiamat berupa laut yang dipanaskan dan meluap. Menurut Ali, deskripsi tersebut dapat dianggap mirip dengan situasi pemanasan global akibat perubahan iklim, yaitu bumi yang semakin panas yang mengakibatkan permukaan laut memanas. Kondisi ini lantas menyebabkan cuaca ekstrim dan kerusakan ekosistem laut.
Suhu yang kian memanas juga menyebabkan es di kutub meleleh dan menyebabkan naiknya tinggi permukaan laut sehingga air laut meluap. Sebaliknya, mencairnya es di kutub dan penyerapan panas yang tinggi di permukaan laut menyebabkan suhu bumi kian memanas.
Menurut Ali, kedua ayat tersebut dapat menjadi gambaran dari sekian banyak dampak perubahan iklim yang drastis akibat pemanasan global yang telah menyebabkan berbagai konsekuensi serius di berbagai sektor kehidupan, termasuk lingkungan, sosial, dan ekonomi. Dia menjelaskan, kedua ayat tersebut sekaligus juga menjadi ‘ibaaroh atau pembelajaran bagi manusia untuk melakukan pengendalian perubahan iklim karena akan berakibat atau berdampak sangat buruk bagi kehidupan manusia dan seluruh makhluk hidup di bumi.
5. Menebang Pohon
مَا قَطَعْتُم مِّن لِّينَةٍ أَوْ تَرَكْتُمُوهَا قَآئِمَةً عَلَىٰٓ أُصُولِهَا فَبِإِذْنِ ٱللَّهِ وَلِيُخْزِىَ ٱلْفَٰسِقِينَ
Mā qaṭa'tum mil līnatin au taraktumụhā qā`imatan 'alā uṣụlihā fa bi`iżnillāhi wa liyukhziyal-fāsiqīn
Apa saja yang kamu tebang dari pohon kurma (milik orang-orang kafir) atau yang kamu biarkan (tumbuh) berdiri di atas pokoknya, maka (semua itu) adalah dengan izin Allah; dan karena Dia hendak memberikan kehinaan kepada orang-orang fasik. (QS Al-Hasyr ayat 5).
Allah SWT juga melarang kita menebang pohon sembarangan. Hal ini seperti yang tersirat dalam Alquran manakala Rasulullah SAW berperang melawan Bani Nadhir.
Dalam menafsirkan ayat ini, Prof Quraish Shihab menjelaskan, penebangan yang dilakukan walau hanya satu pohon tidak boleh semena-mena, merugikan bahkan membahayakan. Itu sebabnya, Nabi melarang menebang pohon bahkan dalam satu peperangan kalau tidak sangat diperlukan. Rasulullah SAW berpesan agar jangan menebang pepohonan. Pepohonan adalah perlindungan bagi binatang di masa gersang. Karena itu, “Siapa yang menebang pohon bidara, Allah menjungkirbalikkan kepalanya di neraka.” (HR Abu Dawud).
Islam melarang manusia untuk merusak lingkungan bahkan mengancam para pelakunya dengan sanksi. Apa yang diajarkan demi menjaga keseimbangan alam yang juga kerap dijelaskan secara tersurat dalam kalam-Nya.
"(Tuhan) Yang Maha Pemurah, Yang telah mengajarkan Alquran. Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara. Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan. Dan tumbuh-tumbuhan (tak berbatang) dan pohon-pohonan (berbatang) kedua-duanya tunduk kepada-Nya. Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu. (QS Ar-Rahman ayat 1-9).
6. Hak Binatang
وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِى ٱلْأَرْضِ وَلَا طَٰٓئِرٍ يَطِيرُ بِجَنَاحَيْهِ إِلَّآ أُمَمٌ أَمْثَالُكُم ۚ مَّا فَرَّطْنَا فِى ٱلْكِتَٰبِ مِن شَىْءٍ ۚ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ
Wa mā min dābbatin fil-arḍi wa lā ṭā`iriy yaṭīru bijanāḥaihi illā umamun amṡālukum, mā farraṭnā fil-kitābi min syai`in ṡumma ilā rabbihim yuḥsyarụn
Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan (QS Al-An'am Ayat 38).
Ayat Al-Qur'an ini menunjukkan hak-hak binatang. Allah SWT mengakui pentingnya tempat mereka di bumi. Hal ini juga memberikan pengingat yang jelas bahwa sama seperti manusia yang memiliki jaringan, komunitas, dan akar di bumi; begitu pula binatang. Hewan juga mempunyai bentuk ibadahnya sendiri kepada Allah SWT. Mereka akan menceritakan perlakuan yang mereka terima dari manusia di muka bumi ini sebagai kesaksian kepada Allah (SWT).
Salah satu prinsip pokok ekologi adalah keanekaragaman kehidupan dan peranannya. Tanpa adanya keanekaragaman hayati; tumbuhan, binatang, dan mikroorganisme yang berbagi dengan manusia, kehidupan yang kita kenal saat ini tidak mungkin ada. Semua makhluk hidup mempunyai hak untuk hidup dan berkembang di atas muka bumi ini, bukan hanya karena mereka memiliki kegunaan bagi kehidupan ras manusia, tetapi juga karena kehadirannya akan memberikan kese- imbangan dalam ekosistem. Keseimbangan menjadi kata kunci keberlanjutan kehidupan di muka bumi ini. Sejumlah permasalahan akan timbul bila keseimbangan itu terganggu.
Sesungguhnya baik tumbuhan maupun binatang diciptakan untuk kepentingan manusia. Untuk itu, manusia tetap menjaga ekologi dan ekosistem komunitas binatang. Apabila manusia tidak mengindahkan hal tersebut pada dasarnya pada jangka waktu tertentu yang akan menuai kerugian juga manusia itu sendiri. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita, sebagai umat Islam, untuk mengingat hal ini dan memperhatikan perilaku kita terhadap makhluk lain.