PBNU Halalkan Jual Beli Karbon

Jual beli karbon terjadi ketika pembeli menghasilkan emisi lebih dari yang ditetapkan.

Feb 9, 2025 - 16:56
Feb 9, 2025 - 17:04
PBNU Halalkan Jual Beli Karbon

MOSAIC-INDONESIA.COM, JAKARTA — Jual beli karbon yang beberapa tahun ini mendapat perhatian para pegiat iklim sebagai salah satu inovasi untuk menekan emisi karbon perusahaan diulas dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama (NU) di Jakarta, belum lama ini.

Munas tersebut memutuskan bahwa jual beli karbon adalah sesuatu yang sah dan boleh."Jual beli karbon baik dengan model pertama, sistem cap and trade, maupun model kedua Offset Emisi, hukumnya boleh dan sah," kata KH Muhammad Cholil Nafis, Ketua Sidang Komisi Bahtsul Masail Waqiiyah, saat Sidang Pleno Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar NU 2025 di Hotel Sultan, Kamis (6/2/2025).

Kiai Cholil mengungkapkan, jual beli karbon dilakukan dengan memakai pola transaksi bai' al-Huquq al-ma’nawiyyah, yaitu jual beli hak-hak imateriil. Model Cap-and-Trade, jelas Kiai Cholil, merupakan pembatasan (cap) pada total jumlah emisi yang diizinkan. Maksudnya, industri atau negara diberikan izin emisi (allowance) yang dapat mereka gunakan atau perdagangkan. Artinya, jika sebuah perusahaan berhasil mengurangi emisinya di bawah batas yang ditetapkan, mereka dapat menjual sisa izin emisi mereka kepada perusahaan lain yang membutuhkan.

Sementara itu, model offset karbon, adalah perdagangan hasil dari penurunan emisi atau peningkatan penyerapan dan penyimpanan karbon, seperti penanaman pohon. "Jadi ada yang karena orang punya emisi pemanasan global di efek rumah kaca, kemudian orang menjual karbonnya itu," katanya.

Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu menjelaskan bahwa pembahasan ini berkaitan erat dengan upaya untuk menciptakan alam yang sejuk mengingat emisi pemanasan global. "Sudah diputuskan PBB kita harus menjaga lingkungan dengan pembatasan emisi karbon," ujar dia.

Anggota Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ustadz Oni Sahroni juga sempat mengungkapkan pandangannya seputar kredit karbon dalam Konsultasi Syariah di Republika.id edisi 14 Februari 2024. Ustadz Oni mengatakan, kredit karbon merupakan  permasalahan baru (mustajaddat atau mustahdatsat). Dari aspek fikih; suatu masalah itu tidak bisa diberikan penilaian hukumnya sebelum dipastikan seperti apa gambaran utuhnya.

Khusus mengenai perdagangan karbon (carbon trading), Ustadz Oni menjelaskan, praktik ini terjadi ketika pembeli menghasilkan emisi karbon yang melebihi batas yang ditetapkan.Cara kerja perdagangan karbon bisa dijelaskan sebagai berikut. (1) Skema Perdagangan Emisi atau Emissions Trading Scheme (ETS). Dikenal juga dengan sistem cap-and-trade.

Skema ini umumnya diterapkan pada pasar karbon yang bersifat wajib karena emisi karbon yang diperdagangkan dibatasi jumlahnya oleh pemerintah. Dalam skema ini, emisi yang diperdagangkan adalah untuk emisi yang akan dihasilkan di masa yang akan datang.

Peserta dalam mekanisme pasar ini terdiri dari organisasi, perusahaan, dan bahkan negara. Kewajiban pengurangan atau pembatasan emisi diterapkan dalam bentuk pengalokasian kuota di awal periode.

Peserta yang terkena pembatasan emisi wajib melaporkan emisi yang dihasilkan secara berkala (umumnya tahunan) kepada lembaga yang ditunjuk. Pada akhir periode peserta yang melewati batas dapat membeli tambahan kuota dari peserta yang memiliki kuota yang tidak terpakai (emisi yang dihasilkan lebih rendah dari batasan yang ditetapkan), dan sebaliknya.

Ustadz Oni menjelaskan, skema perdagangan kredit karbon dikenal juga dengan sistem baseline and crediting atau carbon offset. Skema ini tidak membutuhkan kuota di awal periode, karena yang dijadikan sebagai komoditas (disebut sebagai kredit karbon) adalah hasil sertifikasi penurunan emisi karbon akibat pelaksanaan atas proyek yang mereduksi emisi karbon.

Satu unit kredit karbon biasanya setara dengan penurunan emisi satu ton CO2. Pada skema kredit karbon, nilai kredit didapatkan di akhir suatu periode yang dapat dijual dan digunakan oleh peserta untuk memenuhi target penurunan emisi atau menjadikan posisi peserta menjadi carbon neutral atau zero emission.

Sedangkan untuk skema ETS, nilai kredit sudah ditentukan di awal, sehingga kredit baru dapat diperjualbelikan bergantung pada aktivitas usaha yang dilakukan oleh penghasil emisi.

Ustadz Oni pun mengulas seputar bagaimana  kepatuhan syariah dalam carbon trading. Jika merujuk kepada ketentuan dasar akad atau kontrak dan ketentuan lain, seperti fatwa DSN MUI No 110/DSN-MUI/IX/2017 tentang Akad Jual Beli, Fatwa DSN MUI No 82/DSN-MUI/VIII/2011 tentang Perdagangan Komoditi Berdasarkan Prinsip Syariah di Bursa Komoditi, serta Fatwa DSN MUI No 80/DSN-MUI/III/2011 tentang Penerapan Prinsip Syariah dalam Mekanisme Perdagangan Efek Bersifat Ekuitas di Pasar Reguler Bursa Efek, maka dari sisi kepatuhan syariah ada beberapa hal yang harus dipastikan terlebih dahulu yaitu sebagai berikut.

(1) Terkait dengan para pihak (siapa pembeli siapa penjual dan para pihak terkait). Apakah para pihaknya adalah pemilik lahan hijau yang menghasilkan kredit karbon, dan pembelinya adalah perusahaan atau entitas yang diultimatum oleh pemerintah untuk mengganti kerugian lingkungan akibat emisi yang ditimbulkan dalam proses produksinya?

(2) Terkait yang diperjualbelikan. Di antara hal yang perlu dipastikan keberadaannya adalah barang adakah (wujud)? Hal yang diperjualbelikan (objek trading) itu barang atau jasa? Apa spesifikasinya (apakah bisa diidentifikasi)?

(3) Terkait dengan kepemilikan dan perpindahan kepemilikannya. Di antara hal yang perlu dipastikan keberadaannya adalah apakah bisa dimiliki? Apakah bisa dipindahtangankan, bagaimana indikator kepemilikannya? Karena karbon itu tidak kasat mata, apakah tidak bercampur dengan karbon milik lahan yang dimiliki B dengan lahan lain yang dimiliki C (di lahan yang berbeda).

(4) Terkait dengan harga dan alat bayar. Di antara hal yang perlu dipastikan keberadaannya adalah berapa harganya, spesifikasi, dan apakah bisa dipindahtangankan?

(5) Jika dilakukan pembelian di lantai bursa, bagaimana teknis dan jaminan eksekusinya.

(6) Apakah transaksi jual beli kredit karbon ini dapat dimitigasi agar tidak dijadikan alat untuk merekayasa moral hazard. Misalnya sebuah perusahaan itu bergerak di penambangan hutan atau aktivitas perusahaan yang mengakibatkan emisi besar-besaran. Karena perusahaan memiliki uang, maka ia membeli kredit karbon walaupun secara riil karbon itu tidak bisa nyata menjadi kompensasi atas reboisasi dan penghijauan.

Selanjutnya, dari sisi legalitas formal, trading karbon itu dikategorikan patuh syariah apabila trading karbon itu legal sesuai regulasi terkait (sebagai jual beli syariah dan ada persetujuan dari otoritas fatwa seperti Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia).