Wudhu Nabi tidak Lebih dari Setengah Botol
Rata-rata jamaah berwudhu dengan air sebanyak 5,74 liter dengan bukaan keran 45'
Air memainkan peran penting bagi kehidupan setiap Muslim. Lewat air, Muslim bisa melaksanakan thaharah atau bersuci seperti wudhu, istinja hingga mandi besar sehingga ibadahnya bisa berjalan sempurna. Hanya saja, sebagai Muslim yang tinggal di negeri kaya air, kita kerap abai untuk lebih efisien memanfaatkan air saat akan beribadah. Padahal, kekeringan yang mengancam belakangan juga berdampak pada ketersediaan air.
Borosnya pemanfaatan air wudhu pernah diteliti oleh Invention Tradition (Inventra) Salman ITB. Lewat inventra Latihan Mujtahid Dakwah 201, mereka menghitung penggunaan air wudhu di tiga masjid pada 2021 lalu yaitu, Masjid Al-Mujahidin Yogyakarta, Masjid Bahrul Ulum Surabaya, dan Masjid Nurul ‘Ashri Yogyakarta.
Hasilnya, rata-rata jamaah yang membuka keran 90' menghabiskan air wudhu sebesar 11,83 liter per orang dengan durasi 29,92 detik. Sementara itu, jamaah dengan bukaan keran 45' menghabiskan air wudhu sebesar 5,74 liter per orang dengan durasi wudhu 53,19 detik. Jika saja riset tersebut menggambarkan konsumsi air wudhu setiap Muslim Indonesia yang berjumlah 240 juta orang, maka dalam satu kali waktu shalat, ada 1.44 miliar liter air yang dihabiskan. Jika dalam sehari melaksanakan shalat lima kali, jumlahnya akan melonjak menjadi 7,2 miliar liter air.
Ternyata, hal serupa juga terjadi di belahan dunia lainnya. Sebagai gambaran, Abu Rozaiza dalam Jurnal Springer pernah mengukur jumlah air yang digunakan setiap jamaah yang berwudhu di Masjidil Haram, Makkah dan Masjid Nabawi, Madinah.Dia menemukan fakta jika setiap orang yang berwudhu di masjid suci menghabiskan lima liter air. Pada musim haji, jumlahnya meningkat terutama penggunaan air di Arafah dan Muzdalifah yakni hingga 6-7,5 liter per orang.
Borosnya penggunaan air untuk berbagai tujuan — salah satunya ibadah — membuat bumi terancam krisis air. Bank Dunia pernah melaporkan bumi diprediksi akan menghadapi kekurangan air hingga 40 persen akibat populasi global yang tumbuh dengan cepat tanpa diimbangi ketersediaan air. Kelangkaan air dan cuaca ekstrem dianggap sebagai ancaman terbesar terhadap kesejahteraan dan stabilitas global. Hal tersebut juga sedang terjadi di Indonesia.
Perubahan iklim yang terjadi membuat pola curah hujan semakin tidak dapat diprediksi. El Nino yang melanda nusantara pun berdampak pada kekeringan berkepanjangan. Hal ini seperti yang dialami oleh sebagian wilayah di Indonesia dari Juli hingga akhir Oktober tahun ini. Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) mengungkapkan, Hari Tanpa Hujan kategori Ekstrem Panjang hingga 60 hari terpantau di sejumlah provinsi dari Lampung hingga Papua. Sementara itu, kemarau terpanjang tercatat selama 176 hari terjadi di Sumba Timur & Rote Ndao - Nusa Tenggara Timur.
Kondisi ini berpengaruh tidak hanya pada sektor ekonomi dan sosial tetapi juga agama. Banyak masjid yang dilaporkan tidak memiliki air cukup untuk mengakomodasi jamaah berwudhu. Ketua Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim PBNU KH M Ali Yusuf mengungkapkan, sumber daya air semakin berkurang terutama di daerah seperti Jawa, Bali dan Nusa Tenggara Timur. Mau tidak mau, hal tersebut berdampak kepada penyediaan air baik di tempat ibadah seperti masjid dan musala dan tempat pendidikan Islam seperti pondok pesantren dan madrasah. “Elnino menyebabkan kita mengalami kekeringan yang panjang,”ujar Ali yang juga merupakan Steering Comitee MOSAIC.
Untuk itu, Ali mengimbau agar literasi terhadap umat Islam mengenai pentingnya ketersediaan air harus terus dilakukan. Ali menjelaskan, Islam mengajarkan jika air berperang sangat penting dalam kehidupan. Air bakan menjadi tulang punggung semua makhluk hidup. Dia pun menukil sebuah hadis yang mengungkapkan ada tiga hal yang tidak boleh dimonopoli dan dibiarkan kadarnya. Tiga hal tersebut yakni air, lahan dan energi.
Di sisi lain, menurut Ali, banyak Muslim di Indonesia yang merasa kurang sempurna dalam beribadah jika tidak berwudhu atau mandi dengan air berlimpah. Padahal, dalam hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dengan kategori muttafaqalaih (disepakati para ulama dan tidak diragukan), Resulullah SAW mandi menggunakan air sebanyak satu sha’ hingga lima mud. Sementara itu, Nabi berwudhu sebanyak 1 mud atau sekitar 625 mililiter air. Jika menggunakan air dalam botol mineral kemasan ukuran 1.500 mililiter, maka air yang digunakan untuk berwudhu hanya setengah botol. “Itu artinya sangat sedikit. memang harus juga diliterasikan kepada masyarakat wudhu itu tidak harus dengan banyak air tapi mengikuti sunah nabi,”ujar dia.
Nabi sendiri pernah menegur salah satu sahabatnya saat sedang berwudhu. Abdul Qadir Muhammad Manshur dalam buku Panduan Shalat An-Nisaa Menurut Empat Mazhab mengungkapkan, dalam hadis yang bersumber dari Ibnu Abbas RA tersebut meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW melewati Sa'ad yang sedang berwudhu. Beliau berkata, "Pemborosan apa pula ini wahai Sa'ad?Sa'ad berkata, "Apakah ada pemborosan dalam penggunaan air?" Beliau bersabda, "Ya, meskipun kamu berada di atas sungai yang mengalir," (HR Ahmad dan Ibnu Majah).
Menurut Ali, LPBI PBNU juga telah melakukan program efisiensi air wudhu lewat pengaturan bukaan keran. Hal tersebut sudah diterapkan di beberapa lokasi termasuk di kantor PBNU. “Kami gunakan alat untuk mengikat keran sehingga bikin irit jadi yang keluar lebih sedikit. Keluarnya tidak keras. Sebenarnya pakai karet sandal bekas juga bisa karena sangat ringkas. Kita pasang di beberapa tempat termasuk di kantor PBNU, tapi tidak banyak yang menerima,”ujar dia.
Ali menjelaskan, cara lain untuk menjaga ketersediaan air yang bisa dilakukan umat Islam adalah melakukan daur ulang air wudhu. Menurut Ali, beberapa pesantren NU sudah melakukan upaya daur ulang air wudhu. Air yang sudah digunakan untuk berwudhu akan dimanfaatkan kembali tetapi di luar dari berwudhu. Misalnya, ujar Ali, air bisa dimanfaatkan untuk menyiram tanaman. “Airnya kan sayang air bekas wudhu karena ada doa. Sayang banget kalau dibiarkan mengalir,”ujar dia. (red)