'Menghijaukan' Kembali Wakaf
Kesadaran masyarakat untuk pemanfaatan aset maupun dana wakaf untuk lingkungan terbilang kecil
Wakaf merupakan salah satu konsep ekonomi paling tua dalam Islam yang masih dijalankan hingga sekarang. Konsep ini diajarkan langsung Rasulullah SAW manakala nabi menjawab pertanyaan Umar bin Khattab mengenai kebunnya di Khaibar, sebuah oase yang terletak sekitar 150 km sebelah utara Madinah.
Dia bertanya kepada Rasulullah. “Wahai Rasulullah, saya telah memperoleh tanah di Khaibar yang nilainya tinggi dan tidak pernah saya peroleh yang lebih tinggi nilainya daripadanya. Apa yang baginda perintahkan kepada saya?” Rasulullah bersabda, “Kalau kamu mau, tahan sumbernya dan sedekahkan manfaatnya.”
Umar mengikuti perintah itu. Hasil kelola kebunnya digunakan untuk menyedekahkan fakir miskin, keluarga, memerdekakan budak, untuk orang yang berjihad di jalan Allah, musafir dan para tamu. Manfaatnya boleh digunakan dengan jalan yang sesuai akan tetapi asetnya tidak boleh berpindah tangan.
Setelah diwakafkan, kepemilikan aset tersebut dikembalikan kepada Allah untuk dimanfaatkan bagi umat. Berdasarkan riwayat, banyak sahabat yang mengikuti jejak Umar untuk mewakafkan asetnya setelah Umar berikrar.
Masih pada era yang sama, Utsman bin Affan juga mewakafkan sumurnya yang dibeli dari orang Yahudi. Hasil dari sumur tersebut kemudian dikembangkan menjadi kebun kurma. Pengembangan kebun kurma itu bahkan saat ini bisa dilihat dalam wujud hotel Waqf Othman bin Affan di Madinah, Arab Saudi. Jika dicermati, konsep wakaf pada zaman Nabi dan para sahabat punya nuansa ekologi. Buktinya, Nabi tidak menyuruh sahabat untuk menebang pohon untuk diambil kayunya. Tetapi, menahan status kebun tersebut agar produktif sehingga bisa diambil hasilnya demi kemaslahatan masyarakat.
Dalam Buku Pintar Wakaf yang diterbitkan Badan Wakaf Indonesia, wakaf berasal dari kata waqafayaqifu-waqfan, yang berarti berhenti atau menahan. Menurut istilah (fikih), wakaf adalah menahan pokok harta benda wakaf dan menyalurkan manfaat atau hasilnya. Di Indonesia, wakaf sudah diatur dalam UU No 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
Sebagai negara berpredikat terdermawan di dunia menurut World Giving Index 2022, literasi masyarakat untuk berwakaf masih terbilang kecil. Studi BWI dan Kementerian Agama pada 2020 menunjukkan skor literasi wakaf baru mencapai 50,48 yang masuk dalam kategori rendah.
Disparitas antara nilai potensi wakaf uang senilai Rp 180 triliun dengan realisasinya senilai Rp 1,4 trilun membuktikan hal tersebut. Meski demikian, BWI mencatat, ada pertumbuhan wakaf cukup signifikan pada 2018-2021 yakni mencapai Rp 855 miliar. Angka tersebut naik 235,29 persen dari pengumpulan wakaf sepanjang periode 2011-2018 senilai Rp 255 miliar.
Bagaimana dengan tanah wakaf? Berdasarkan Sistem Informasi Wakaf (Siwak) Kemenag, tanah wakaf mencapai 57.263 hektare. Tanah tersebut tersebar di 440.512 lokasi. Mayoritas tanah wakaf digunakan untuk masjid (43,51 persen). Lainnya dimanfaatkan untuk mushala, sekolah, pesantren, pemakaman. Tidak ada kategorisasi hutan wakaf atau wakaf lingkungan dalam jenis pemanfaatan tanah tersebut. Hutan wakaf atau wakaf lingkungan masuk pada pemanfaatan sosial lainnya yang mencapai 9,37 persen.
Anggota BWI Hendri Tanjung mengakui jika fokus BWI dan lembaga nazir lainnya terkait wakaf produktif memang masih di sektor ekonomi. Sebagai langkah awal, gerakan wakaf memang bertujuan untuk memberikan manfaat yang bisa dirasakan oleh masyarakat. Dengan demikian, kesadaran masyarakat untuk berwakaf bisa meningkat.“Ini lebih ke masalah strategi saja karena efeknya (ekonomi) masih kecil. Ke depan sebenarnya lebih bagus jika dalam jangka waktu lima tahun, hutan wakaf dikeroyok semua nazir,” jelas dia.
Hendri pun mengungkapkan, kesadaran masyarakat untuk pemanfaatan aset maupun dana wakaf untuk lingkungan terbilang kecil. Sepengetahuan Hendri, baru ada Hutan Wakaf di Bogor dan Aceh yang mendaulat lahannya untuk hutan wakaf. Karena itu, Hendri menjelaskan, sosialisasi lewat beragam platform mesti dilakukan. “Kalau enggak tahu enggak ngerti. Tugas kita bagaimana caranya menyosialisasikan wakaf hutan ke tengah-tengah masyarakat,” tegas dia.
Inisiasi untuk wakaf hijau belakangan ini memang disuarakan. Pada September lalu, BWI bersama dengan UNDP-Indonesia, Green Waqf Indonesia, Waqf Center for Indonesian Development and Studies (Wacids) mengusulkan Green Waqf Framework.
Kerangka kerja ini menjelaskan bagaimana konsep dan tahapan untuk pengembangan Wakaf Hijau di Indonesia ke depan, berdasarkan pengalaman pemangku kepentingan terkait. GWF menyajikan bagaimana model bisnis yang tepat untuk penerapan wakaf hijau di lapangan. Pemangku semisal lembaga pembiayaan Islam dan pihak yang terlibat dalam isu lingkungan masuk dalam strategi ini.
GWF pun menyajikan program penanaman pohon tamanu sebagai proyek pelopor. Tamanu yang disebut sebagai pohon pionir disebut strategis untuk memuiihkan lahan yang kritis sekaligus menjadi energi alternatif semisal biodesel. Selain itu, GWF mencontohkan berbagai implementasi wakaf hijau yang telah diterapkan di Indonesia, salah satunya adalah hutan wakaf.
Steering Committee (SC) MOSAIC Gatot Supangkat menjelaskan, skema wakaf hijau atau lingkungan sesuai dengan paradigma pembangunan berkelanjutan yang memperhatikan kelestarian lingkungan.
Sekretaris Majelis Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah ini juga menyarankan agar hutan wakaf memiliki aktivitas ekonomi agar dapat berkembang. Salah satunya, dengan memilih tanaman lokal yang memiliki nilai ekonomi tinggi agar familiar dengan masyarakat setempat. “Produktivitas hutan wakaf dapat ditingkatkan lagi melalui pengembangan sistem usaha tani terpadu dengan ternak, terutama lebah yang hasil madunya bernilai tinggi (misal madu klanceng),” jelas dia.
Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) 2020, sekitar 50,9 persen (95,6 juta ha) dari total luas daratan Indonesia adalah hutan, dengan 92,5 persen (88,4 juta ha) termasuk dalam kawasan hutan.
World Resources Institute-Indonesia bahkan menempatkan Indonesia sebagai tempat dari tiga hutan hujan tropis terbesar di dunia. Hal tersebut merupakan komponen yang sangat memengaruhi perubahan iklim dan penjagaan ekosistem darat baik tingkat nasional maupun internasional.
Namun, dalam 25 tahun terakhir Indonesia telah kehilangan hampir 25 persen dari tutupan hutannya. Transformasi fungsi hutan menjadi kawasan industri menjadi salah satu penyebab utama deforestasi yang terjadi. Pemerintah mengeklaim terjadi penurunan lahan kritis hingga mencapai 14, 01 juta hektare. Meski demikian, jumlah lahan tersebut masih tinggi mengingat massifnya pembukaan lahan sawit di Indonesia.
Dosen sekaligus peneliti senior Universitas Nasional Jakarta Fachrudin Mangunjaya menjelaskan, isu lingkungan menjadi permasalah krusial yang harus dijawab segera. Terlebih, bencana dari tanah longsor, banjir, pemanasan global hingga hilangnya keanekaragaman hayaati sudah terjadi.
Menurut dia, perlu pendekatan nature based solution untuk menjawab permasalahan tersebut. Penulis Buku Konservasi Alam dalam Islam tersebut menyarankan agar hutan wakaf bisa diduplikasi di banyak tempat. “Jika diwakafkan untuk hutan, semua makhluk mendapatkan manfaat dan kita mendapat pahala,” jelas dia.
Menurut dia, hutan wakaf bisa dikembangkan sehingga lebih produktif dan memiliki nilai ekonomi. Sebagai contoh, hutan wakaf dijadikan sarana pusat edukasi dengan camping ground yang memadai. Dari situ, nazir sebagai pengelola bisa mendapatkan manfaat untuk menutupi biaya operasional dan pengembangan hutan.
Hanya saja, dia menyarankan, konsep hutan wakaf mesti disesuaikan dengan kondisi lingkungan setempat. Anggota komunitas Hutan Wakaf Aceh ini pun menjelaskan, keberadaan hutan wakaf di tanah rencong akan menjadi ikon bagi Aceh sebagai provinsi yang menerapkan syariat Islam. “Akan menjadi ikon buat Aceh yang melaksanakan syariat untuk ekosistem alami."