Masjid Ramah Lingkungan dari Cikarang
Masjid Baitul Makmur menginisiasi Gerakan Sedekah Sampah Indonesia (Gradasi) yang diadopsi 36 masjid di sekitar Cikarang
Puluhan anak bergamis ungu sudah siap untuk memulai kelas Alquran di Masjid Baitul Makmur, Talaga Sakinah, Bekasi, Senin (11/11/2023). Mereka belajar ilmu tahsin Alquran dari Senin hingga Jumat sejak selepas adzan Ashar hingga menjelang Maghrib. Setiap Jumat, mereka akan membawa sampah plastik dari lingkungan untuk dikumpulkan ke dalam tempat sampah masjid yang berbentuk seperti sangkar. Mereka belajar untuk bersedekah meski sekadar sampah.
Manajer Masjid Baitul Makmur Maryanto mengatakan, pendidikan Alquran bagi para santri tersebut dibiayai dari sampah. Mereka mendapatkan beasiswa dari program Gerakan Sedekah Sampah Indonesia (Gradasi) yang sudah bergulir di masjid sejak 2016. Masjid mengumpulkan sampah plastik dari warga sekitar. Pengumpulan sampah lazim dilakukan setiap Jumat. Setelah itu, sampah-sampah tersebut dijual ke pelapak. Hasil dari penjualan sampah kemudian digunakan untuk biaya pendidikan sebagian peserta kelas tahsin.
Tidak hanya sampah plastik, masjid juga memiliki program sedekah minyak jelantah dan pakaian layak pakai. Minyak jelantah akan dijual kembali ke sebuah perusahaan yang akan mengekspornya ke Jerman untuk diolah menjadi biodiesel. Harga per liter bisa mencapai Rp 6.500 saat waktu normal. Sementara itu, hasil sedekah pakaian akan dijual kepada warga yang membutuhkan dengan seharga Rp 1000-Rp 10.000. Dari hasil penjualan tersebut, Maryanto menjelaskan, masjid bisa memperoleh pendapatan senilai Rp 16.000.000 per bulan. Dana ini yang digunakan untuk membiayai program tahsin Alquran.
Maryanto menjelaskan, antusiasme warga amat tinggi untuk mengumpulkan sampah di masjid. Dahulu, masjid sampai-sampai tidak mampu untuk menampung sampah yang membludak. Tidak hanya sampah plastik, warga bersedekah dengan barang elektronik dan kendaraan yang sudah tak terpakai. “Hasil dari penjualan barang elektronik dan kendaraan lumayan,”ujar dia.
Masjid bahkan sempat mengadakan Gradasi Akbar pada 2019 dan 2022. Kala itu, berton-ton sampah dengan ragam jenisnya dikumpulkan di masjid. Banyak yang kemudian tartarik untuk melakukan gerakan serupa di lingkungannya. Program ini kemudian disosialisasikan kepada masjid-masjid sekitar. Menurut Maryanto, gerakan sedekah sampah pun diadopsi di 36 masjid yang berada di sekitar daerah Cikarang Barat. Penyebaran program Gradasi terbukti menjadi solusi mengingat kapasitas masjid sudah tidak bisa menampung berton-ton sampah-sampah dari warga sekitar. Lambat laun, pengumpulan sampah di Masjid Baitul Makmur berkurang karena warga bisa bersedekah sampah di masjid terdekat.
Gerakan Sedakah Sampah dilakukan sejak 2016 manakala masjid yang diketuai Ustaz Muhammad Suhapli ini baru menahbiskan diri sebagai eco masjid di Indonesia. Menurut Maryanto, saat itu kepengurusan baru masjid ingin memakmurkan masjid layaknya beberapa masjid lain di Indonesia. Hanya saja, pengurus ingin mengambil pendekatan berbeda mengingat harus mengejar ketertinggalan dari pemberdayaan masjid lain yang cukup jauh. “Yang umum itu sudah berlari kencang seperti Istiqlal, Jogokariyan. Atas arahan pak ketua, kita mengambi sikap di lingkungan,”ujar Maryanto saat berbincang dengan MOSAIC di Masjid Baitul Makmur.
Masjid pun berbenah. Pengurus mulai mendata jamaah di sekitar perumahan yang memiliki potensi beragam. Mereka berkontribusi di bidangnya masing-masing dari informasi dan teknologi, keuangan, pertanian hingga lingkungan. Setelah berembuk, masjid kemudian menyusun enam program percontohan yakni sedekah sampah, sedekah beras, sedekah pakaian, pengolahan kompos, masjid ramah air hingga masjid dengan listrik yang efisien.
Selain sedekah sampah, masjid ramah air juga menjadi program yang dirasakan langsung oleh jamaah. Salah satunya yakni penggunaan keran untuk wudhu dengan bukaan yang kecil. Padamulanya, program ini sempat diprotes jamaah yang terbiasa berwudhu dengan air berlebih. Setelah mendapat penjelasan, jamaah akhirnya bisa memahami penerapan keran wudhu hemat tersebut. Limbah air wudhu juga tidak terbuang percuma. Menurut Maryanto, air bekas wudhu dialirkan ke toren yang berada di atas. Setelah itu, airnya dialirkan dengan memanfaatkan tenaga gravitasi untuk menyiram tanaman dan sampah olahan kompos.
Masjid juga memiliki sumur biopori yang berfungsi untuk menyerap air hujan. Bersama dengan keberadaan pepohonan yang menjulang dan danau di depan masjid, sumur-sumur tersebut berguna untuk mempertahankan debet air tanah saat musim kemarau.”Waktu musim kemarau kemarin kita tidak mengalami kekeringan,”jelas dia.
Tidak hanya itu, masjid membangun Taman Ecoedupark untuk mengedukasi warga mengenai masjid bervisi lingkungan. Di taman tersebut, warga bisa belajar menanam hidroponik, budidaya kolam ikan, hingga bersantai ria sambil menikmati pemandangan.
Pengurus Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam (LPH dan SDA) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Hidayat Tri Sutardjo menjelaskan, eco masjid dibidani oleh LPH dan SDA MUI yang bekerjasama dengan Dewan Masjid Indonesia (DMI) pada 2009. Berbagai masjid yang memiliki konsep ekologi dan memiliki wawasan lingkungan dinamakan eco masjid. Di Indonesia, ujar dia, ada ribuan masjid yang memiliki konsep eco masjid. Hanya saja, masjid-masjid tersebut tak memiliki suatu komunitas.
Hidayat yang juga merupakan anggota Kolaborasi Umat Islam untuk Dampak Perubahan Iklim (MOSAIC) ini mengakui belum ada riset mengenai apakah konsep eco masjid tersebut bisa berpengaruh terhadap dampak perubahan iklim atau tidak. Meski demikian, pengurus Majelis Lingkungan Hidup Muhammadiyah tersebut mengatakan, keberadaan ecomasjid tersebut paling tidak bisa mengurangi dampak perubahan iklim yang sudah terasa di Indonesia. Dia mencontohkan, masjid yang menanam pohon mampu menyerap karbon dengan baik. Pohon-pohon itu pun menyediakan sedekah oksigen yang gratis. “Kenapa harus melalui masjid? Karena masjid itu punya jamaah. Dakwah itu tak cukup denna dakwah bil lisan harus praktik maka harus dakwah bil hal. Harus ada gerakan dari masjid,”tegas dia.