Saatnya Ekonomi Islam Jawab Permasalahan Iklim
Aset yang tersedia untuk pendanaan iklim dari total pasar keuangan syariah sebesar 5% yakni 400 miliar dolar AS

MOSAIC-INDONESIA.COM, JAKARTA — Prinsip Halalan Thayyiban dalam ekonomi Islam dinilai mampu menjawab masalah perubahan iklim yang kian mengkhawatirkan. Ekonomi Islam yang selaras dengan prinsip-prinsip syariah seperti larangan riba (bunga) dan spekulasi (maysir), serta penekanan pada keadilan sosial dinilai cocok dengan agenda keberlanjutan dalam isu lingkungan.
Dalam beberapa tahun terakhir, konsep ekonomi Islam bahkan dinilai telah berkembang melampaui batasan halal (diperbolehkan) dan haram (dilarang) hingga menuju pendekatan yang lebih holistik dan berkelanjutan.
Halalan-Thayyiban tidak hanya memastikan bahwa suatu produk atau layanan halal, tetapi juga thayyib, yaitu murni, baik, dan memberikan manfaat bagi individu, masyarakat, dan lingkungan.
Dalam diskusi bertajuk Sustainable Islamic Finance Summit di Jakarta pada Kamis (13/2/2025), berbagai ahli menegaskan potensi besar keuangan Islam yang kental dengan nilai-nilai halalan thayyiban mampu mendukung proyek-proyek berkelanjutan.
Dr. Hayu Prabowo, Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Majelis Ulama Indonesia, menjelaskan bahwa ekonomi dan keuangan syariah berkelanjutan tidak hanya berfokus pada keuntungan finansial yang halal, tetapi juga memberikan manfaat sosial dan lingkungan yang positif (thayyiban). Konsep tersebut sejalan dengan prinsip Islam rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam).
Keuangan syariah berkelanjutan menawarkan solusi untuk membangun sistem ekonomi yang berkelanjutan dengan memadukan nilai-nilai Islam dan keberlanjutan lingkungan.
Realisasinya meliputi pengembangan supply side (inovasi produk dan layanan keuangan berkelanjutan) dan demand side (peningkatan permintaan pasar terhadap produk keuangan berkelanjutan), serta integrasi prinsip ekonomi hijau, ekonomi sirkular, dan bioekonomi untuk mencapai keseimbangan ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Menurut Tariq Al Olaimy, ahli keuangan Islam dan penasihat Ummah for Earth, pasar keuangan Islam diprediksi akan melampaui 8 triliun dolar AS pada 2030. Aset yang tersedia untuk pendanaan iklim sebesar 5% yakni 400 miliar dolar AS, ujar dia lewat keterangan tertulis.
Salah satu instrumen keuangan Islam yang telah menunjukkan potensi besar adalah sukuk berkelanjutan (green sukuk). Pada paruh pertama tahun 2024, pasar sukuk ESG (Environmental, Social, and Governance) telah mencapai 9,9 miliar dolar AS, dengan sukuk berkelanjutan mencakup 63% dari total penerbitan.
Contoh nyata dari dampak positif ini dapat dilihat pada proyek Saudi Electricity Company dan Green Sukuk Indonesia, yang telah berkontribusi pada pengurangan emisi karbon.
Dr. Deden Hendarsyah dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membahas kerangka regulasi dan kebijakan untuk keuangan syariah berkelanjutan di Indonesia. OJK telah mengeluarkan beberapa regulasi penting, seperti POJK Nomor 51/2017 tentang Keuangan Berkelanjutan dan POJK Nomor 18/2023 tentang Sukuk Berkelanjutan.
Selain itu, OJK juga mengembangkan Taksonomi Hijau Indonesia dan panduan manajemen risiko iklim (CRMS). Perbankan syariah didorong untuk meningkatkan dampak sosial-ekonomi melalui instrumen ZISWAF (Zakat, Infaq, Shadaqah, dan Wakaf) serta mendukung pembiayaan sektor berkelanjutan, yang saat ini mencapai 14% dari total pembiayaan.
Dr. Rifki Ismal, Direktur Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah Bank Indonesia (BI), menjelaskan bahwa BI telah mengembangkan kebijakan ekonomi dan keuangan syariah yang mendukung keuangan hijau.
Inisiatif ini dimulai sejak tahun 2010, termasuk green banking, green lending, dan green bonds. BI juga menerbitkan Sukuk Inklusif (SukBI) dan memberikan insentif makroprudensial untuk pembiayaan hijau. Program strategis BI mencakup penguatan ekosistem halal, literasi keuangan syariah, dan pengembangan ekonomi berkelanjutan.
Urip Budiarto dari Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) menjelaskan peran KNEKS dalam membangun ekosistem keuangan syariah berkelanjutan di Indonesia. Keuangan syariah berkontribusi pada pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dengan prinsip ekonomi, sosial, dan lingkungan yang seimbang.
Implementasi dilakukan melalui program seperti Green Sukuk, wakaf produktif, dan integrasi ESG dalam keuangan syariah. KNEKS juga mendukung proyek infrastruktur dengan skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) berbasis syariah.
Roadmap 2025-2029 menargetkan peningkatan ekonomi syariah nasional dan daya saing industri halal. Kolaborasi lintas sektor diperlukan untuk memperkuat regulasi dan mendorong investasi hijau serta inovasi keuangan berkelanjutan. Keanggotaan KNEKS meliputi 3 Menteri Koordinator, 7 Menteri, 3 Ketua Lembaga, serta Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia dan Kamar Dagang Indonesia.
Tantangan dan Strategi ke Depan
Meskipun potensi keuangan syariah berkelanjutan sangat besar, tantangan utama masih ada. Dr. Siti Ma’rifah, Ketua Dewan Eksekutif Harian Dewan Syariah Nasional MUI, menekankan pentingnya membangun landasan syariah yang kokoh untuk keuangan berkelanjutan.
Tantangan termasuk mempertahankan keberlanjutan di masa depan, meningkatkan literasi keuangan syariah, dan mengatasi keterbatasan regulasi serta infrastruktur.
Dr. Risna Triandhari dari PEBS FEB UI menambahkan, strategi yang diperlukan mencakup penguatan regulasi, insentif, inovasi, serta peningkatan kolaborasi dan literasi keuangan berkelanjutan.
Ekonomi Islam Halalan-Thayyiban menawarkan pendekatan yang holistik dan beretika untuk mencapai keberlanjutan.
Dengan memadukan prinsip-prinsip Islam dan nilai-nilai keberlanjutan, keuangan syariah berkelanjutan dapat menjadi alat yang efektif untuk mengatasi tantangan global seperti perubahan iklim, ketimpangan sosial, dan kerusakan lingkungan.
Namun, untuk mewujudkan potensi ini, diperlukan kolaborasi antara pemerintah, lembaga keuangan, ulama, dan masyarakat sipil.
Regulasi yang kuat, inovasi produk keuangan, dan peningkatan literasi keuangan syariah adalah kunci untuk memastikan bahwa ekonomi Islam Halalan-Thayyiban dapat berkontribusi secara signifikan dalam membangun masa depan yang lebih berkelanjutan dan adil.