Kisah 17 Tahun 'Penjaga Lemongan' Menghidupkan Kembali Ribuan Hektare Hutan yang Hampir Punah
A'ak bersama Laskar Hijau memimpin perang terhadap deforestasi.
MOSAIC-INDONESIA.COM, Di Indonesia, permasalahan perubahan iklim sudah begitu nyata. Banjir, kekeringan hingga siklon tropis kerap menimpa Nusantara. Bencana yang belakangan ini melanda Sumatera menahbiskan hipotesa tersebut.
Dari Aceh, Sumatera Utara hingga Sumatera Barat, rakyat disuguhi banjir bandang dan tanah longsor. Hampir seribu nyawa menjadi korban. Sementara, kayu-kayu gelondongan yang ditebang secara ilegal yang hanyut menjadi limbah. Pemandangan kayu-kayu bernomor itu tak pelak menjadi bukti akan maraknya penebangan hutan di tanah Sumatera.
Sekitar 3000 kilometer dari Aceh, di dataran tinggi Jawa Timur, berdiri gunung Lemongan. Gunung api setinggi 1.600 mdpl itu sebenarnya dikelilingi oleh hutan tropis. Hanya saja, hutan-hutan tersebut hampir punah akibat penebangan pada masa reformasi.
Kala itu, Presiden ke-4 RI KH Abdurahman Wahid memiliki kebijakan untuk membebaskan hutan-hutan yang dindustrialisasi para kroni Orde Baru. Dalam salah satu pidatonya, Gus Dur mengungkapkan, semua hutan tersebut harus dikembalikan kepada rakyat, maka lahirlah kebijakan Hutan Rakyat.
Apa yang dikatakan Gus Dur ternyata diplintir oleh para oknum di lapangan. Mereka mengatakan kepada masyarakat yang tinggal di dekat hutan jika semua hutan tersebut sudah dikembalikan kepada negara. Akhirnya, masyarakat pinggir hutan yang sejak lama dimiskinkan oleh Orde Baru berbondong-bondong melakukan pembalakan. Mereka melakukannya seakan perintah Presiden.
Pendiri Laskar Hijau, A'ak Abdullah Kudus, mengungkapkan, itulah awal mula penggundulan hutan yang terjadi di hutan jawa dari Ujung Kulon hingga Banyuwangi secara massif dan terstruktur sejak 1998-2002, tidak terkecuali hutan di Gunung Lemongan.
A'ak bersama Laskar Hijau memimpin perang terhadap deforestasi. Mereka menyebut dirinya sebagai Khalifah Lingkungan, Penjaga Bumi. Gus A’ak demikian nama lelaki berambut gondrong itu disapa, memimpin mereka. Gus A’ak dikenal sebagai santri dan petani. Dia menjadi pionir dari Islam hijau. Setiap pekan, Gus Aa’ak mengumpulkan belasan relawan untuk menghijaukan kembali Hutan Gunung Lemongan.
Bersenjatakan bambu dan bibit pohon alpukat, mereka menumbuhkan untuk menanam hutan tropis. Sesekali, terdengar lagu 'Naik-Naik ke Puncak Gunung' menjadi pengobat lelah rombongan pimpinan Gus A'ak. Selama 17 tahun, Gus Aak telah membantu merestorasi hampir 400 hektare hutan dari 2000 hektare yang sudah dibabat habis akibat pembalakan liar.
Gus Aak menanam banyak bambu yang mempunyai kapasitas sebagai penyimpan air yang baik, Dia berharap, keberadaan bambu akan menghasilkan sumber mata air yang baik. Dengan mengucap basmalah dan shalawat, pohon itu kemudian ditanam. Sejak 2008, inisiatif Gus Aak telah berhasil menanam dua juta pohon di daerah tersebut.
Aak juga membuat Maulid Hijau yang bertepatan pada Rabiul Awal. Sebuah bulan yang secara rutin dijadikan perayaan atas hari lahir Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada tanggal ke-12. Lewat Maulid Hijau, Aak berupaya menanamkan betapa dekat Islam dengan lingkungan. "Saat nabi lahir itu pohon yang tidak berbuah menjadi berbuah,"kata Aak.
Tidak hanya itu, Nabi pun memiliki hubungan emosional dengan Uhud. Sampai-sampai, Rasulullah SAW pernah menoleh pada Gunung Uhud dan berkata, "Wahai Gunung Uhud, engkau tumpahkan kecintaanmu kepadaku, begitu juga aku." Nabi juga mengajarkan agar kita menanam pohon karena apa yang dimanfaatkan dari pohon tersebut akan bernilai sedekah hingga hari kiamat.
“Dari sahabat Jabir ra, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, ‘Tiada seorang muslim yang menanam pohon kecuali apa yang dimakan bernilai sedekah, apa yang dicuri juga bernilai sedekah. Tiada pula seseorang yang mengurangi buah (dari pohon-)nya melainkan akan bernilai sedekah bagi penanamnya sampai hari Kiamat,’”
Meski demikian, upaya Aak untuk membuat gebrakan lewat Maulid Hijau ditentang tokoh agama setempat. Istilah Maulid Hijau bahkan dianggap sesat. Meski demikian, berkat campur tangan Gus Dur, Aak terus melangkah. Laskar Hijau pun bisa melanjutkan maulid bertema konservasi tersebut hingga tahun-tahun berikutnya.
Belakangan, para ulama menyadari jika upaya konservasi ternyata selaras dengan nilai-nilai agama. Majelis Ulama Indonesia (MUI) secara rutin menerbitkan fatwa pro lingkungan sejak 2014. MUI mengeluarkan Fatwa No 41 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Sampah, Fatwa No 30 Tahun 2016 tentang Pembakaran Hutan, Fatwa No 86 Tahun 2003 tentang Hukum Pengendalian Perubahan Iklim Global.
Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam (LPLHSDA) MUI Dr Hayu S Prabowo mengungkapkan, hadirnya fatwa-fatwa tersebut bukan bertujuan untuk menargetkan perusahaan-perusahaan yang melanggar lingkungan."Kami ingin menguatkan komunitas dengan pengetahuan yang lebih baik dan perspektif yang lebih baik dari permasalahan yang ada,"kata dia.