Jarang Diketahui, Ini Enam Pemanfaatan Teknologi Nuklir untuk Lingkungan Versi IAEA
Dalam COP30 lalu, IAEA menyuguhkan bagaimana teknologi nuklir menjadi alat menjawab permasalahan lingkungan.
MOSAIC-INDONESIA.COM, JAKARTA -- Istilah nuklir di Indonesia masih terdengar horor dan menyeramkan. Lantaknya Hiroshima dan Nagasaki, kota yang berjarak hampir 6000 kilometer dari Jakarta, pada Perang Dunia ke-2, membuat nuklir masih menjadi sebuah istilah yang lebih dekat dengan energi pembunuh ketimbang teknologi yang bermanfaat bagi manusia.
Meski demikian, pemanfaatan nuklir ternyata tak melulu soal senjata dan militer. Nuklir bahkan diklaim bisa menyediakan energi bersih yang andal bagi bumi. Pada perhelatan iklim internasional, COP 30 yang berlangsung di Belem, Brasil, pada November lalu, Badan Energi Atom Internasional (IAEA) melalui pavilion Atom4Climate IAEA, menyuguhkan bagaimana teknologi nuklir bisa menjadi alat untuk menjawab beragam permasalahan lingkungan.
Di Brasil, teknologi sinar elektron (e-beam), mampu mentransformasi pengolahan air limbah industri. Di negara-negara Amerika Latin lainnya, mereka sudah menggunakan teknologi nuklir untuk mengendalikan hama, melindungi tanaman hingga bisa menjadi eksportir pangan.
Dilansir dari laman resmi IAEA, berikut enam pemanfaatan energi nuklir sebagai solusi iklim.
1. Pengolahan Sinar Elektron (E-beam) untuk pengolahan air limbah industri
Mengolah air limbah yang telah terkontaminasi oleh polutan industri menjadi tantangan utama bagi banyak negara. Untuk menanggulangi permasalahan tersebut, IAEA memberi dukungan lewat teknologi sinar elektron untuk membantu negara-negara mengembangkan solusi inovatif tanpa bahan kimia. E-beam diklaim mampu menguraikan kontaminan kompleks dan meningkatkan kualitas air.
IAEA bekerjasama dengan Badan Inovasi Brasil (FINEP), merilis sebuah unit bergerak yang dilengkapi dengan akselerator berkas elektron untuk dikerahkan di Brasil. Unit tersebut akan mengolah air limbah industri, meningkatkan kualitas air dan perlindungan lingkungan.
2. Melindungi samudra melalui ekosistem karbon biru
Teknologi nuklir dan isotop juga digunakan IAEA untuk membantu negara-negara menilai tingkat penyerapan karbon dan kesehatan ekosistem sehingga berkontribusi pada mitigasi iklim dan konservasi keanekaragaman hayati. Teknologi ini diterapkan di Laboratorium Lingkungan Laut IAEA di Monako yang mendukung Inisiatif karbon biru, sebuah program yang fokus pada hutan bakau, padang lamun, dan rawa garam — ekosistem pesisir yang menangkap dan menyimpan karbon organik.
Pada COP30, pekerjaan IAEA tentang karbon biru disorot pada sesi UN-Oceans “Hubungan Samudra-Iklim-Keanekaragaman Hayati: Memanfaatkan Sinergi di Berbagai Kerangka Kerja,” yang berfokus pada membangun kemitraan untuk solusi berbasis alam.
3. Teknik Serangga Steril (SIT) untuk pertanian cerdas iklim
Teknik serangga steril (SIT) adalah metode pengendalian hama ramah lingkungan yang digunakan untuk mengendalikan populasi lalat buah berbahaya di Brasil, Chili, dan Meksiko. Teknologi ini digadang-gadang mampu mengendalikan tingkat kelahiran serangga. SIT bekerja dengan melepaskan serangga jantan yang telah disterilkan menggunakan radiasi, yang kemudian kawin dengan serangga betina liar, sehingga dia tidak menghasilkan keturunan.
SIT mengurangi ketergantungan pada insektisida, melindungi tanaman, dan memungkinkan negara-negara untuk mendapatkan akses ke pasar internasional untuk ekspor pangan. Teknik ini dipamerkan di COP30 sebagai bagian dari upaya pertanian cerdas iklim menggunakan ilmu dan teknik nuklir.
4. Pemantauan gletser dan sumber daya air di daerah pegunungan
Fenomena menyusutnya gletser, bahkan menghilang, di banyak daerah pegunungan, mengancam pasokan air bagi jutaan orang. IAEA mendukung negara-negara seperti Bolivia dalam menggunakan teknik nuklir — seperti Sensor Neutron Sinar Kosmik dan hidrologi isotop — untuk memantau kelembaban tanah dan ketersediaan air di ekosistem dataran tinggi.
Alat-alat ini membantu para ilmuwan dan pengambil keputusan menilai dampak penyusutan gletser terhadap sumber daya air dan memandu pengelolaan lahan yang berkelanjutan. Di COP30, IAEA menyoroti pekerjaan ini dalam sesi “Ilmu Nuklir untuk Ketahanan Iklim”, yang selaras dengan Tahun Pelestarian Gletser PBB 2025. Sesi ini juga menunjukkan bagaimana aplikasi nuklir memberdayakan masyarakat lokal untuk beradaptasi dengan kondisi yang berubah.
5. Pembahasan Energi Fusi
Saat dunia mencari solusi baru untuk energi bersih, penelitian energi fusi semakin berkembang. Di COP30, IAEA mempresentasikan keadaan terkini penelitian dan pengembangan fusi, termasuk kemajuan pada proyek ITER internasional — eksperimen fusi terbesar di dunia yang berbasis di Prancis. Sesi ini, proyek tersebut memberikan gambaran umum tentang keadaan terkini dimana energi fusi masuk perkembangan di berbagai proyek internasional, nasional, dan swasta, serta wawasan dari IAEA World Fusion Outlook 2025.
6. Strategi pembiayaan untuk sumber energi rendah karbon
Berdasarkan hasil Global Stocktake pertama di COP28, IAEA mendukung negara-negara dalam mengidentifikasi jalur untuk mempercepat penerapan tenaga nuklir bersama dengan energi terbarukan serta teknologi pengurangan dan penghapusan emisi, khususnya di sektor-sektor yang sulit dikurangi emisinya dan memproduksi hidrogen rendah karbon.
Percepatan penerapan reaktor modular kecil (SMR) juga menjadi sorotan di COP. SMR juga menawarkan pilihan yang fleksibel dan hemat biaya untuk memasok daya ke jaringan energi kecil, sehingga cocok untuk industri yang intensif energi, pusat data, dan kapal komersial.