Riset: Gerakan 'Green Islam' Belum Dikenal Publik
Penelitian ini mengidentifikasi 142 organisasi atau komunitas Green Islam di Indonesia
JAKARTA — Hasil riset dari PPIM UIN Jakarta mengungkap jika mayoritas masyarakat Indonesia belum mengenal isu-isu Green Islam yang diinisiasi berbagai komunitas keislaman di tanah air. Dalam risetnya, PPIM menemukan kebanyakan responden tidak mengetahui isu terkait gerakan Islam dan lingkungan seperti pesantren ekologi (87,85 persen), fatwa MUI tentang lingkungan (69,62 persen), hingga fiqih penanggulangan sampah plastik (82,96 persen).
Kebanyakan responden juga belum familiar dengan organisasi otonom terkait lingkungan yang diinisiasi oleh Nahdlatul Ulama seperti Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (90,07 persen). Hal yang sama terjadi dimana mereka tidak mengetahui organisasi otonom ‘hijau’ Muhammadiyah seperti Kader Hijau Muhammadiyah (88,47 persen).
Testriono, Koordinator Riset Gerakan Green Islam di Indonesia mengungkapkan, gerakan Green Islam di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan yang membuat gerakan ini belum berkembang menjadi sebuah gerakan besar yang dikenal luas dan berdampak signifikan.
“Menurut temuan penelitian PPIM ini, ada beberapa faktor penyebabnya, seperti gerakan Green Islam yang masih terfragmentasi dan cenderung fokus pada isu-isu lokal di sekitar mereka. Selain itu, sebagian organisasi belum mampu mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki, sementara yang lain memang mengalami keterbatasan sumber daya,” ujar Testriono pada peluncuran hasil riset itu di Artotel Gelora Senayan, Jakarta, Selasa 27 Agustus 2024.
Selain itu, Testriono menambahkan, tantangan perkembangan Green Islam di Indonesia lainnya adalah terdapat kesenjangan pengetahuan antara aktivis dan konstituen, di mana pesan-pesan lingkungan yang disampaikan belum sepenuhnya dipahami atau diterima oleh masyarakat luas. Terakhir, pelibatan perempuan dalam gerakan Green Islam belum maksimal. Padahal, ujar dia, peran mereka sangat penting dalam memperluas jangkauan dan pengaruh gerakan Green Islam di Indonesia.
Penelitian ini mengidentifikasi 142 organisasi atau komunitas Green Islam di Indonesia, yang dikategorikan dalam tiga tipologi: konservasionis, pengkampanye kebijakan, dan mobilisator. Mayoritas kelompok Green Islam terafiliasi secara struktural di bawah dua organisasi massa Islam terbesar di Indonesia, yakni NU dan Muhammadiyah. Banyak dari mereka bekerja di basis lokal daripada nasional dan internasional, dan paling banyak berjenis ormas keagamaan, dibandingkan LSM, komunitas, dan koalisi.
Aktivisme Green Islam secara jelas menggunakan identitas agama dalam merancang strategi dan program kerjanya. Contohnya, Komunitas Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh (HAkA) memberdayakan ulama perempuan untuk menyebarkan pesan Green Islam melalui ceramah di masjid dan forum pengajian di masyarakat Aceh. Selain itu, Aisyiyah memberikan pendidikan lingkungan di sekolah-sekolah Muhammadiyah. Ada juga Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) yang berkolaborasi dengan komunitas lokal di Jawa Timur dalam mengadvokasi konflik agraria antara petani setempat dan perusahaan perkebunan. Yang lainnya, seperti AgriQuran, memanfaatkan media sosial untuk menjangkau khalayak yang lebih luas, khususnya anak muda, guna mempromosikan praktik Green Islam.
Menurut Direktur Eksekutif PPIM UIN Jakarta, Didin Syafruddin, riset ini dirancang untuk memberdayakan pemimpin agama dan aktivis lingkungan berbasis keagamaan, serta menyediakan platform bagi para pembuat kebijakan untuk bertukar pengalaman dan pembelajaran dalam upaya melindungi lingkungan dan mengatasi perubahan iklim. “Kami berharap program ini dapat menyebarluaskan makna gerakan Green Islam, yang merupakan salah satu upaya dalam menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang bahaya kerusakan lingkungan dan perubahan iklim serta menjadi langkah nyata menuju terciptanya Indonesia yang hijau dan berkelanjutan,” uyar Didin Syafruddin.
Berdasarkan penelitian ini, PPIM menawarkan beberapa rekomendasi . Pertama, perlunya memperluas kerja sama untuk pelestarian lingkungan. Dalam hal ini, institusi pemerintah seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian Agama dapat memainkan peran signifikan untuk menjadikan agenda Green Islam menjadi agenda publik. Kedua, perlunya memperkuat kemandirian. Dalam banyak kasus, faktor pendanaan merupakan salah satu kendala utama bagi gerakan Green Islam. Untuk mengatasi masalah ini, Green Islam dapat menggunakan wakaf sebagai dana abadi terhimpun (endowment fund) untuk mendukung inisiatif-inisiatif pelestarian lingkungan.
Ketiga, menguatkan peran perempuan dalam isu lingkungan. Penelitian ini menemukan pelibatan perempuan dalam gerakan Green Islam dapat memperluas jangkauan dan dampai aktivisme lingkungan kepada masyarakat. Sayangnya, belum banyak organisasi maupun komunitas Green Islam yang melibatkan perempuan dalam aktivismenya. Keempat, integrasi Green Islam dalam arah kebijakan Kementerian Agama. Dalam hal ini, Kemenag dapat menjadikan agenda Green Islam sebagai agenda prioritas baru dalam arah kebijakan Rencana Strategis Kemenag 2025-2029 dan mengadopsi strategi dan program kerja Green Islam dalam arah kebijakannya.