Lampu Kuning Konsesi Tambang untuk Ormas Keagamaan

Pemberian WIUP secara langsung tanpa melalui proses lelang merupakan pelanggaran terhadap UU Minerba

Jun 12, 2024 - 10:38
Lampu Kuning Konsesi Tambang untuk Ormas Keagamaan
Tambang batu bara (Ilustrasi)

Ormas keagamaan di Indonesia akan mendapat konsesi lahan tambang setelah Presiden Joko Widodo pada Kamis (30/5) meneken Peraturan Pemerintah (PP) 25/2024 tentang perubahan atas PP 96/2021 soal pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu bara (minerba). Dalam pasal 83A PP 25/2024 menyebutkan bahwa regulasi baru itu mengizinkan organisasi masyarakat (ormas) keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah bisa mengelola wilayah izin pertambangan khusus (WIUPK). 

Gayung pun bersambut. Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) mengatakan pemberian izin tambang untuk ormas merupakan langkah berani dari Presiden Joko Widodo untuk memperluas pemanfaatan sumber daya alam bagi kemaslahatan rakyat.

"Kebijakan ini merupakan langkah berani yang menjadi terobosan penting untuk memperluas pemanfaatan sumber daya-sumber daya alam yang dikuasai negara untuk kemaslahatan rakyat secara lebih langsung," kata Gus Yahya dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Senin.

Oleh karena itu, PBNU menyampaikan terima kasih kepada Presiden Jokowi atas langkah perluasan pemberian izin tambang ke ormas.“PBNU berterima kasih dengan apresiasi yang tinggi kepada Presiden Joko Widodo atas kebijakan afirmasinya untuk memberikan konsesi dan izin usaha pertambangan kepada ormas-ormas keagamaan, termasuk Nahdlatul Ulama,” kata Gus Yahya.

Dalam waktu dekat, PBNU akan menjadi ormas keagamaan pertama yang mengelola lahan tambang. Sementara itu, PP Muhammadiyah masih melakukan kajan atas tawaran pemerintah tersebut. Dua ormas keagamaan Nasrani, yakni Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) bersikap untuk mentlak tawaran tersebut.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif mengungkapkan, pemerintah  menyiapkan enam lahan eks Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) untuk diberikan ke beberapa ormas keagamaan.  Dari Islam ada dua yakni, NU dan Muhammadiyah. Sementara itu, untuk Katolik, Protestan, Hindu, Buddha. Sejauh ini, baru NU yang berproses. Beberapa lainnya masih menunjukkan sikap menolak.

"Ini upaya pemerintah untuk bisa memberikan kesempatan kepada ormas keagamaan yang selama ini nonprofit. Mereka ada sumber yang mendukung kegiatan-kegiatan keagamaan, ibadah, pendidikan, kesehatan, kata Arifin, di kantor Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Ditjen Migas), Jakarta, Jumat (7/6/2024).

Seperti sudah disinggung di atas, lahan tambang yang bakal dikelola bekas PKP2B yang telah diciutkan.  Di mana saja bekas lahan tambang tersebut?  Daftarnya antara lain PT Kaltim Prima Coal, PT Arutmin Indonesia, PT Kendilo Coal Indonesia, PT Multi Harapan Utama, PT Adaro Energy Tbk, PT Kideco Jaya Agung.

NU mulai melakukan tahapan demi tahapan, termasuk mengurus perizinan. Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menyebut PBNU akan mendapatkan eks  PKB2B PT Kaltim Prima Coal  (KPC). Itu salah satu anak usaha PT BUMI Resources Tbk (BUMI) juga Grup Bakrie.Lalu bagaimana jika masih adaa yang menolak? Menurut Arifin, lahan tambang akan dikembalikan ke pemerintah."Kembali ke negara, kita berlakukan sebagaimana aturan induknya. Dilelang kalau gak mau diambil," ujar tokoh berusia 70 tahun ini.

Lampu kuning dari Majelis Hukum dan HAM Muhammadiyah

Di tengah pergulatan hak konsesi lahan tambang bagi ormas tersebut, Majelis Hukum dan HAM Muhammadiyah memberi lampu kuning. Majelis tersebut memberikan legal opinion kepada pengurus pusat (PP) Muhammadiyah yang memang sedang melakukan kajian atas konsesi tersebut. Meski demikian, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Prof Abdul Muti dalam keterangan tertulisnya menyatakan, pihaknya masih mengkaji tawaran pemerintah untuk mengambil konsesi lahan tambang.

Dalam surat tertanggal 11 Mei 2024 yang ditujukan kepada PP Muhammadiyah dan diperlihatkan kepada MOSAIC, Majelis Hukum dan HAM menyimpulkan jika Menteri Investasi/Kepala BKPM tidak mempunyai kewenangan melakukan penawaran dan pemberian  WIUP kepada pelaku usaha termasuk badan usaha yang dimiliki oleh Ormas.

WIUP merupakan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) yang diberikan pemerintah kepada pelaku usaha termasuk badan usaha yang dimiliki ormas dan diatur dalam Peraturan Presiden No 70 Tahun 2023. Pasal 5 ayat (1) dalam Perpres tersebut menyatakan bahwa “Menteri Pembina Sektor (Menteri ESDM) mendelegasikan wewenang penetapan, penawaran, dan pemberian WIUP kepada menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi/koordinasi penanaman modal selaku ketua Satuan Tugas”.

Dengan ketentuan ini, Menteri Investasi/Kepala BKPM mempunyai wewenang dan dapat mengambil kebijakan dan melakukan penetapan, penawaran, dan pemberian WIUP kepada pelaku usaha meliputi BUM Desa, BUMD, Badan usaha yang dimiliki oleh Ormas, koperasi, badan usaha yang dimiliki oleh usaha kecil dan menengah.

“Ketentuan pemberian wewenang melalui delegasi dari Menteri ESDM kepada Menteri Investasi/Kepala BKPM melanggar ketentuan dalam Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan sebagaimana telah diubah dengan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (UU Administrasi Pemerintahan),”tulis surat yang ditandatangani Ketua Trisno Raharjo dan Sekretaris Muhammad Alfian tersebut.

Pasal 1 Nomor 23 UU Administrasi Pemerintahan menyatakan “Delegasi adalah pelimpahan Kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat beralih sepenuhnya kepada penerima delegasi”.

Menurut surat tersebut, ketentuan ini mengandung unsur bahwa delegasi dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah. Dengan demikian, delegasi wewenang tidak dapat dilakukan dari Menteri ESDM kepada Menteri Investasi/Kepala BKPM karena kedudukan Menteri ESDM dan Menteri Investasi/Kepala BKPM adalah setara/sejajar sesama menteri dan anggota kabinet. Oleh karena itu wewenang Menteri Investasi/Kepala BKPM memberikan WIUP kepada pelaku usaha termasuk badan usaha yang dimiliki oleh Ormas tidak berdasar menurut hukum.  

Kesimpulan lainnya yakni pemberian WIUP mineral logam dan batu bara secara langsung tanpa melalui proses lelang merupakan pelanggaran terhadap UU Minerba. Pemberian WIUP tersebut juga dinilai merupakan penyalahgunaan kewenangan yang dapat berpotensi menjadi tindak pidana korupsi.

Pada Pasal 5 ayat (3) menyatakan bahwa “...Satuan Tugas (Menteri Investasi/Kepala BKPM) melakukan penawaran dan pemberian WIUP kepada pelaku usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (5) huruf a sampai dengan huruf e (BUM Desa, BUMD, Badan usaha yang dimiliki oleh Ormas, koperasi, badan usaha yang dimiliki oleh usaha kecil dan menengah)”.

Dengan ketentuan ini, maka Menteri Investasi/Kepala BKPM melakukan penawaran dan pemberian WIUP kepada pelaku usaha termasuk badan usaha yang dimiliki oleh Ormas.

Menurut surat dari Majelis Hukum dan HAM, ketentuan tentang pemberian WIUP ini melanggar UU No 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Pasal 51 ayat (1) UU Minerba menyatakan “WIUP Mineral logam diberikan kepada Badan Usaha, koperasi, atau perusahaan perseorangan dengan cara lelang”, lebih lanjut dalam Pasal 60 ayat (1) menyatakan “WIUP Batubara diberikan kepada Badan Usaha, koperasi, atau perusahaan perseorangan dengan cara lelang”.

“Ketentuan ini mengandung makna bahwa pemberian WIUP mineral logam dan batubara harus diberikan dengan cara lelang, tidak bisa diberikan (dibagi- bagi) dan langsung ditetapkan atau langsung mendapatkan IUP. Lelang WIUP sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (2) dilakukan dengan mempertimbangkan kemampuan pelaku usaha terkait dengan administratif/manajemen, kemampuan teknis dan pengelolaan lingkungan, dan kemampuan finansial,”kutip surat tersebut.

Untuk itu, dalam kesimpulan selanjutnya, Majelis Hukum dan HAM meminta agar PP Muhammadiyah perlu mempertimbangkan dengan hati-hati berkenaan dengan tawaran pengelolaan tambang mengingat Perpres 70 TAhun 2023 bertentangan dengan UU Minerba dan UU Administrasi Pemerintahan. “Apabila kebijakan Pimpinan Pusat secara legalitas formil menganggap sepanjang belum dibatalakan maka ketentuan Perpres 70 Tahun 2023 tetap berlaku maka kami memandang Pimpinan Pusat wajib memiliki aturan tata Kelola yang baik agar siap dan mampu mengantisipasi dampak yang ditimbulkan terkait kegiatan pertambangan yang meliputi kerusakan lingkungan dan konflik sosial,”ujar surat tersebut.