Membangunkan Potensi Raksasa Filantropi Islam dengan Program Hijau

Program pemberdayaan dalam filantropi Islam dinilai sangat dimungkinkan menggunakan perspektif lingkungan.

Aug 22, 2025 - 21:46
Sep 10, 2025 - 15:00
Membangunkan Potensi Raksasa Filantropi Islam dengan Program Hijau

MOSAIC-INDONESIA.COM, BOGOR — Potensi instrumen filantropi  Islam di Indonesia terbilang raksasa. Data Kementerian Agama (Kemenag) mengungkapkan, setidaknya ada Rp 327 Triliun potensi dana zakat infak sedekah dan wakaf (Ziswaf). Meski tak sebesar potensi, nilai realisasi perolehan zakat dan wakaf terbilang mengalami kenaikan. Dana Ziswaf dan Dana Sosial Keagamaan Lainnya (DSKL) pada 2024 berkisar Rp 26 Triliun. 

Deputi bidang Pengumpulan Baznas M Arifin Purwakananta mengatakan,  dana sebanyak itu belum didistribusikan ke program-program hijau. “Paling besar dana yang disalurkan ke sosial keagamaan,”jelas Arifin dalam talkshow bertajuk di IPB University, Bogor, belum lama ini.

Menurut Arifin, inovasi yang ditawarkan ke publik masih kurang ketimbang filantropi yang sudah tersedia selama ini di masyarakat.  Arifin pun mendorong agar mahasiswa menulis inisiatif dan gagasan zakat hijau sehingga semakin banyak opsi bagi lembaga filantropi untuk merealisasikan program hijau.

Arifin menilai, program pemberdayaan dalam filantropi Islam sebenarnya sangat dimungkinkan untuk menggunakan perspektif lingkungan. Dia mencontohkan, bagaimana program Green Zakat yang diusung berkat kolaborasi Baznas, UNDP, Bank Jambi hingga pemerintah setempat berjalan di Desa agrowisata Lubuk Bangkar, Sorolangun, Jambi.

Program tersebut diwujudkan dalam pembangunan satu unit Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) berkapasitas 60 KW yang dinikmati manfaatnya oleh 2.000 warga. Dengan tersedianya listrik di desa tersebut, Baznas kemudian mendorong produktivitas masyarakat dengan mengembangkan program di bidang pertanian, perikanan, UMKM dan pengolahan kopi.

“Ada kegiatan hijau dalam dua isu itu (pemberdayaan dan lingkungan). Jadi butuh inovasi, bagaimana caranya menyederhanakan satu buku besar ke dalam satu brosur kecil,”ujar dia.

Di sisi lain, IPB University tengah menyiapkan Green Zakat Framework, kerangka zakat ramah lingkungan yang memperluas makna syariah menjadi halal sekaligus thoyyib, yakni ramah alam. Dekan Fakultas Manajemen dan Ekonomi IPB, Prof Irfan Syauqi Beik, menjelaskan kerangka ini menekankan aspek lingkungan baik dalam penghimpunan maupun penyaluran zakat.

“Kalau kita memberdayakan mustahik di bidang kuliner, pengelolaan sampah plastiknya juga harus diperhatikan. Jadi bukan hanya soal halal, tapi juga dampak ekologisnya,” kata Irfan.

Menurut Irfan, integrasi zakat dengan keberlanjutan butuh ekosistem kolaboratif, melibatkan lembaga zakat, pemerintah, hingga lembaga internasional. Ia merujuk pengalamannya dengan UNDP pada 2017 dalam proyek zakat untuk mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Ketiga inisiatif ini, yaitu sedekah energi, hutan wakaf, dan zakat hijau, menunjukkan bahwa keuangan sosial Islam memiliki potensi besar sebagai mekanisme pembiayaan iklim alternatif. Jika terintegrasi, kontribusinya bisa melampaui skala lokal dan memberi dampak global.

Muslims for Shared Action on Climate Impact (MOSAIC) mendorong umat memanfaatkan sedekah energi sebagai pintu masuk kolaborasi lebih luas antara masyarakat, lembaga zakat, hingga sektor digital. Ketua Dewan Pengurus Mosaic, Nur Hasan Murtiaji, mengatakan program ini sudah menyalurkan panel surya untuk lima masjid melalui crowdfunding di kitabisa.com, tersebar dari Nusa Tenggara Barat, Yogyakarta, Jawa Barat, hingga Sumatera Barat.

“Dari lima masjid itu, emisi yang berhasil ditekan sekitar 13,9 ton. Skala masih kecil, padahal kita punya lebih dari 800 ribu masjid di Indonesia. Potensinya luar biasa,” kata Hasan dalam Islamic Social Finance for Climate Action Forum di IPB University, Kamis (21/8/2025).

Hasan menilai skema ini bisa lebih masif jika diadopsi lembaga zakat atau nazir wakaf yang punya jaringan akar rumput. Mosaic juga membuka peluang kolaborasi dengan sektor digital, termasuk fitur infak di aplikasi e-commerce atau perbankan syariah, yang selama ini masih berfokus pada bantuan sosial umum, belum diarahkan pada aksi iklim.

Selain sedekah energi, gagasan wakaf juga melahirkan gerakan hutan wakaf yang kini berkembang lintas negara. Ketua Yayasan Hutan Wakaf Bogor, Khalifah Muhammad Ali, menceritakan program ini bermula dari disertasi tentang hutan wakaf yang kemudian diwujudkan di Desa Cibunian, Bogor, pada 2018. Sejak itu, luas hutan wakaf di Indonesia berkembang dari 12 hektare menjadi 58 hektare, atau tumbuh 380 persen, berkat partisipasi publik dan roadshow ke sejumlah daerah.

“Dengan Rp 1 miliar saja bisa membebaskan empat hektare lahan. Hutan wakaf terbukti mampu menyerap hingga seribu ton karbon per hektare ketika sudah rimbun,” kata Khalifah.

Konsep hutan wakaf kini menarik perhatian internasional. IPB bersama mitra sudah memberi pelatihan ke empat negara Afrika, sementara universitas di Eropa, termasuk Amsterdam dan Nottingham, mulai meneliti model ini.“Dari Bogor, ide ini sudah menjalar ke Afrika dan Eropa. Bukan sekadar gerakan lokal, tapi sudah jadi gerakan global,” ujar dia.