Greta Thunberg: Pegiat Iklim yang Lantang Bersuara tentang Palestina
Genosida di Gaza dinilai telah meningkatkan terjadinya polusi udara, tanah dan air hingga berlipat ganda
MOSAIC-INDONESIA.COM,JAKARTA -- Aktivis muda asal Swedia, Greta Thunberg dikenal sebagai sosok pemberani yang kerap menyuarakan kepeduliannya terhadap perubahan iklim di dunia. Belakangan, Greta juga mewarnai aksi-aksi iklimnya dengan dukungan bagi rakyat Palestina.
Greta tampak bergabung dengan pawai perubahan iklim dan pro-Palestina di Milan, Italia, pada Jumat (11/10/2024) lalu. Aktivis berusia 21 tahun tersebut ke kota mode itu setelah dicap berbahaya oleh otoritas Jerman hanya karena mengkritik Israel.
Gerakan perubahan iklim yang diprakarsai Thunberg, Fridays For Future, mengorganisir pawai damai di kota di Italia utara yang menarik lebih dari seribu peserta. Banyak di antaranya adalah remaja. “Anda tidak bisa menyebut diri Anda sebagai aktivis iklim jika Anda tidak berjuang untuk Palestina yang merdeka dan mengakhiri kolonialisme dan penindasan di seluruh dunia,” kata Thunberg. “Diam berarti terlibat! Anda tidak bisa bersikap netral dalam sebuah genosida.”
Dalam pidatonya, perempuan berusia 21 tahun itu menjelaskan, warga Palestina telah hidup di bawah penindasan yang mencekik selama beberapa dekade oleh rezim apartheid. Mereka harus menerima genosida selama setahun terakhir yang disiarkan secara langsung oleh Israel. "Dunia sekali lagi meninggalkan Palestina!"kata dia.
Ketika para demonstran lainnya mengibarkan bendera, membawa plakat, dan menari diiringi musik, Greta berbaris di dekat kepala parade sambil mengenakan kaffiyeh, syal tradisional yang mewakili perjuangan pembebasan Palestina.
Belakangan ini, Greta memang tampak semakin aktif mendukung Palestina. Pada Mei, ia menyatakan bahwa aksi-aksi seperti ini seharusnya ada di mana-mana. Konsekuensinya, Greta harus menghadapi represifitas aparat. Awal bulan lalu, Greta ditangkap di Kopenhagen oleh polisi Denmark dalam sebuah protes menentang perang di Gaza, demikian laporan juru bicara kelompok mahasiswa yang mengorganisir demonstrasi tersebut.
Greta sebelumnya menuduh polisi Jerman yang telah mengancam dan membungkam para aktivis pro-Palestina. Tuduhan itu dilontarkan sehari setelah polisi di Dortmund menutup sebuah kamp protes yang telah berlangsung selama empat bulan dimana aktivis berusia 21 tahun itu diundang untuk bergabung.
“Polisi mengatakan bahwa mereka akan menangkap saya jika saya pergi ke sana,” cuit Thunberg di akun X-nya. ”Semua ini terjadi hanya karena para mahasiswa mengundang saya untuk berbicara di acara mereka, dan saya telah menghadiri sebuah protes [pro-Palestina] di Berlin sehari sebelumnya yang kemudian dibubarkan oleh polisi. Jerman mengancam dan membungkam para aktivis yang berbicara menentang genosida dan pendudukan."
Polisi Jerman menyatakan pada Selasa malam, “Kejadian-kejadian terbaru yang terkait dengan Thunberg telah membuatnya dinilai sebagai partisipan yang bersedia melakukan kekerasan.” Pernyataan ini kemudian ditarik kembali oleh polisi, yang menyatakan bahwa hal itu merupakan “kesalahan internal”, seperti dikutip dari Anadolu Ajansi. Greta telah berulang kali menyatakan solidaritasnya terhadap Palestina dan menuduh Israel melakukan genosida.
Iklim dan konflik
Dikutip dari greeneuropeanjournal, para aktivis merujuk pada sistem kapitalis, kolonialis, atau ekstraktif sebagai isu mendasar perubahan iklim. Hubungan antara perang dan perubahan iklim dalam konteks Gaza, dinilai beragam bagi banyak orang. Beberapa orang menunjukkan fakta bahwa perlakuan historis Israel terhadap warga Palestina memperburuk risiko iklim yang dihadapi penduduk dengan, misalnya, mengorbankan akses terhadap air.
Israel juga dituduh melakukan greenwashing kolonialisme ketika melegitimasi perampasan tanah warga Palestina atas nama mengatasi perubahan iklim. Sementara itu, salah satu kelompok kampanye iklim, 350.org telah memberikan narasi yang menghubungkan keduanya tanpa membuat klaim kausal, dengan menyatakan bahwa "Tidak akan ada keadilan iklim tanpa perdamaian, dan dalam menyerukan perdamaian, kami sangat jelas tentang perdamaian di kedua belah pihak."
Dimasukkannya anti-militerisme dalam perjuangan perubahan iklim, sebagaimana diungkapkan melalui dukungannya terhadap Palestina, tidak dapat diabaikan sebagai pengalih perhatian dari apa yang "sebenarnya" dipertaruhkan dalam perjuangan iklim.
Perdebatan yang lebih luas tentang peran yang dimainkan oleh perubahan iklim dalam mengintensifkan konflik di Timur Tengah sudah berlangsung lama. Begitu pula penggambaran militerisme sebagai pilar penting dari sistem penindasan ekstraktif. Hal ini memfasilitasi perubahan iklim sekaligus memastikan keberlanjutan sistem dalam menghadapi pertentangan.
Sejak dimulai pada tahun 1970-an, gerakan lingkungan modern telah menganut pasifisme sebagai prinsip inti, dan ada hubungan historis yang kuat antara gerakan perdamaian dan sayap anti-nuklir dari gerakan lingkungan. Dimasukkannya anti-militerisme dalam perjuangan perubahan iklim, sebagaimana diungkapkan melalui dukungannya terhadap Palestina, secara historis tidak mengejutkan.
Dampak nyata isu iklim dengan genosida di Gaza dinyatakan dengan gamblang oleh Badan Amal untuk Ekologi dan Lingkungan (IFEES/EcoIslam), sebuah organisasi amal asal Inggris yang fokus pada isu lingkungan. IFEES mengungkapkan, aksi tersebut telah meningkatkan terjadinya polusi udara, tanah dan air hingga berlipat ganda.
Kampanye pengeboman Israel di Gaza dinilai merupakan serangan paling mematikan dalam sejarah peperangan modern. IFEES menulis, skala dampak perang ini terhadap iklim telah menghasilkan lebih banyak gas yang menyebabkan pemanasan global dibandingkan dengan emisi tahunan yang dihasilkan oleh 20 negara yang rentan terhadap perubahan iklim, menurut sebuah penelitian baru-baru ini. Studi tersebut memperkirakan bahwa pengeboman udara dan respons militer Israel menyumbang lebih dari 99% dari 281 ribu ton karbondioksida yang dihasilkan dalam 60 hari pertama konflik. Jumlah ini setara dengan membakar sedikitnya 150 ribu ton batu bara.
Roket Hamas yang ditembakkan ke Israel pada periode yang sama diperkirakan menghasilkan 713 ton atau setara dengan pembakaran 300 ton batu bara. Mengingat besarnya kerusakan akibat perang ini, semua indikasi menunjukkan bahwa dampak iklim dari rekonstruksi pasca-konflik akan sangat besar. Menurut IFEES, hanya dalam waktu dua bulan, kerusakan akibat kampanye pengeboman Israel terhadap kawasan pemukiman padat penduduk tersebut telah melebihi kerusakan yang ditimbulkan oleh pengeboman sekutu di Cologne dan Dresden selama perang dunia kedua.