Aceh Tengah Berpotensi Jadi Model Pengembangan Wakaf Hijau

Roadshow kali ini difokuskan pada kampanye ekoteologi dan workshop wakaf hutan.

May 10, 2025 - 05:58
May 10, 2025 - 05:59
Aceh Tengah Berpotensi Jadi Model Pengembangan Wakaf Hijau
Penandatanganan MoU saat roadshow Hutan Wakaf di Takengon, Aceh Tengah, Selasa (6/5/2025).

MOSAIC-INDONESIA.COM, TAKENGON – Muslim for Shared Actions on Climate Impact (MOSAIC) bekerjasama dengan Direktorat Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kementerian Agama Republik Indonesia (Dirzawa Kemenag RI) kembali menggelar Roadshow Hutan Wakaf. Kali ini, kegiatan dilaksanakan di Takengon, Aceh Tengah, Provinsi Aceh, Selasa (6/5/2025).

Kegiatan yang berlangsung di Aula PLHUT Kemenag Aceh Tengah, Paya Ilang, Takengon ini merupakan kelanjutan dari roadshow sebelumnya yang telah berjalan selama Ramadhan 1446 H/2025 di empat kota wakaf: Wajo (Sulawesi Selatan), Gunungkidul (Yogyakarta), Tasikmalaya (Jawa Barat), dan Padang (Sumatera Barat).

Roadshow kali ini difokuskan pada kampanye ekoteologi dan workshop wakaf hutan, sebagai bentuk edukasi dan penguatan literasi wakaf produktif untuk pelestarian lingkungan. Acara ini menghadirkan berbagai tokoh penting dari lintas lembaga, antara lain pendiri Yayasan Hutan Wakaf Bogor, Dr. Khalifah Muhammad Ali, dan perwakilan Inisiatif Konservasi Hutan Wakaf (IKHW), Firman Hadi, sebagai narasumber.

Dari unsur birokrasi turut hadir Wakil Bupati Aceh Tengah Muchis Hasan, MSP, Kakanwil Kemenag Aceh Drs. H. Azhari, M.Si, Kepala Subdit Bina Kelembagaan dan Kerja Sama Zakat dan Wakaf Kemenag RI Muhibbudin, S.Fil.I, ME, unsur Forkopimda, Rektor IAIN Takengon Prof. Dr. Ridwan Nurdin, MA, Kakankemenag Aceh Tengah H. Wahdi, MS, MA, serta para Kepala Seksi dan Penyelenggara Kemenag.

Sebanyak 100 peserta dari berbagai unsur turut terlibat aktif, mulai dari Kepala KUA Kecamatan selaku PPAIW, penyuluh agama Islam, operator wakaf kecamatan, perwakilan BWI Aceh Tengah, Baitul Mal Aceh Tengah, hingga sejumlah nazhir kampung.

Roadshow ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap potensi wakaf sebagai solusi pelestarian lingkungan melalui pendekatan ekoteologi, yakni sinergi antara nilai keagamaan dan tanggung jawab ekologis.

Dr. Khalifah Muhammad Ali, dalam paparannya, menjelaskan bahwa hutan wakaf merupakan bentuk wakaf produktif yang memanfaatkan tanah wakaf untuk pelestarian lingkungan dan pemberdayaan masyarakat.

“Wakaf yang dikenal selama ini hanya 3M: masjid, makam, dan madrasah. Padahal, hutan wakaf yang dikelola dengan baik bisa memberikan dampak ekologis dan sekaligus memberdayakan masyarakat di sekitarnya—yang kebanyakan masih hidup dalam kemiskinan, termasuk sekitar 18,46 juta jiwa di sekitar kawasan hutan,” ujar Khalifah.

Ia menegaskan bahwa tanah wakaf tidak boleh diperjualbelikan, diwariskan, atau dihibahkan, dan peruntukannya tidak boleh diubah. “Jika sebuah lahan telah diikrarkan sebagai hutan wakaf, maka selamanya harus dijaga dan dikelola sebagai hutan,” tambah dia.

Terkait konteks lokal, Khalifah menyoroti bahwa Aceh memiliki posisi yang istimewa dalam pengembangan wakaf di Indonesia.“Aceh adalah pelopor dalam gerakan Hutan Wakaf. Bahkan sebelum roadshow ini digelar, provinsi ini sudah lebih dulu melangkah dengan adanya Hutan Wakaf Jantho seluas 4,7 hektare,” ungkapnya. Dalam acara ini, pengelola Hutan Wakaf Jantho turut hadir sebagai narasumber untuk berbagi pengalaman langsung dalam pengelolaan hutan berbasis wakaf.

Lebih lanjut, Khalifah menyampaikan bahwa Aceh Tengah memiliki potensi luar biasa untuk menjadi model hutan wakaf berkelanjutan. “Selain sudah teridentifikasi beberapa lokasi tanah wakaf yang siap dikembangkan, daerah ini dianugerahi kekayaan alam yang luar biasa. Udara yang sejuk, lanskap pegunungan yang indah, serta keberadaan Danau Laut Tawar menjadikan Aceh Tengah sangat potensial untuk pengembangan ekowisata berbasis wakaf. Lebih dari itu, Aceh Tengah juga dikenal sebagai penghasil kopi Gayo—salah satu kopi terbaik dunia. Kombinasi potensi ekologi, ekonomi, dan wisata inilah yang menjadikan Aceh Tengah sangat ideal sebagai model hutan wakaf yang berkelanjutan,” jelas dia.

Ketua MOSAIC Nur Hasan Murtiaji  menambahkan bahwa kampanye Hutan Wakaf merupakan bagian dari dukungan terhadap program ekoteologi yang diinisiasi oleh Menteri Agama RI. Ia menyebut bahwa hingga saat ini, sudah terdapat delapan titik hutan wakaf di Indonesia—empat hasil roadshow dan empat lainnya sudah eksis sebelumnya, yakni di Aceh, Bogor, Gunung Sindur, dan Mojokerto.

“Dengan konsep hutan wakaf, pelestarian ekologi memiliki dampak ekonomi sekaligus kontribusi untuk edukasi umat. Ini adalah bentuk ibadah yang tidak hanya mendekatkan diri kepada Allah, tetapi juga menyelamatkan bumi,”ujar dia.

Menurut Hasan, Hutan Wakaf bukan sekadar konsep, melainkan sebuah *gerakan sinergis* antara nilai-nilai filantropi Islam dan tanggung jawab lingkungan. Dalam ajaran Islam, wakaf adalah instrumen abadi untuk kemaslahatan umat. Rasulullah SAW bersabda: 

“Jika seseorang meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim). 

Hutan Wakaf adalah manifestasi dari “sedekah jariyah” ini—sebuah langkah nyata menjaga bumi sebagai amanah Allah. Di tengah ancaman deforestasi, krisis iklim, dan hilangnya keanekaragaman hayati, inisiatif ini menjadi solusi inovatif yang menggabungkan konservasi alam dengan pemberdayaan sosial-ekonomi masyarakat. 

"Namun, tantangan tidaklah kecil. Mulai dari regulasi, pengelolaan berkelanjutan, hingga partisipasi masyarakat membutuhkan kolaborasi multidisiplin,"kata dia.