Konservasi Harimau Sumatra Lewat Adat dan Agama

Harimau dinilai sekadar hewan buas, tetapi makhluk yang mengisi ruang sosial, budaya dan spiritual masyarakat

May 24, 2025 - 14:37
May 25, 2025 - 12:25
Konservasi Harimau Sumatra Lewat Adat dan Agama
Harimau Sumatra/internationaltigerproject

MOSAIC-INDONESIA.COM, JAKARTA — Eksistensi Harimau Sumatra dilaporkan masih terancam. Riset terakhir menunjukkan jumlah mereka hanya sekitar 400 ekor di seluruh hutan Sumatra. Meski populasi spesies bernama latin Panthera Tigris Sumatrae sudah tidak sebanyak dahulu, tetapi mereka masih bisa bertahan di tengah kepunahan spesies lainnya seperti Harimau Jawa dan Harimau Bali.

Bertahannya sang Raja Hutan dari kepunahan diyakini tidak lepas dari budaya yang dipeluk erat masyarakat Sumatra. Datuk Sibungsu Atilah Majidi, Budayawan asal Sumatra Barat mengungkapkan, kearifan lokal membuat harimau masih ada. “Kami menyebut harimau datuak, gelar kehormatan antara lelaki di Minang,”ujar Sibungsung saat berbicara dalam FGD bersama Pusat Pengajian Islam (PPI)  Universitas Nasional, beberapa waktu lalu. 

Dia menjelaskan, Datuak bertanggungjawab kepada keponakannya, kampung, desa atau nagarinya. Secara tradisional, seorang datuak bertanggungjawab menjaga harta pusaka agar anak dan keturunannya bisa tumbuh dan berkembang sehingga tidak sengsara. “Harimau selain dikenal sebagai raja hutan, dia merupakan wujud dari datuak yang harus dihargai. Dia adalah orang yang dituakan selangkah, menjaga anak kemenakan,”kata Datuk Sibungsu. 

Rheno Julianto, mahasiswa S2 Universitas Nasional yang meneliti Harimau Sumatra mengungkapkan, harimau bukan sekadar hewan buas, tetapi makhluk yang mengisi ruang sosial, budaya dan spiritual masyarakat. Rheno yang mewawancarai beberapa tokoh adat dan agama seperti datuk, hulubalang dan tokoh pemuda dari Nagari Sriak Alahan Tigo di Sumatra Barat, mengungkapkan,  harimau tidak hanya dilihat sebagai predator atau ancaman biologis. Menurut dia, warga setempat memandang harimau sebagai makhluk simbolik, spiritual bahkan sosial. 

Beberapa anggapan mengenai harimau yakni sebagai inyiak (leluhur), manusia harimau, hewan buas, peliharaan pawang, jelmaan leluhur sampai harimau sebagai makhluk jadi-jadian. Menariknya, ujar Rheno, dari 42 orang informan yang diwawancarai, semuanya menganggap bahwa harimau merupakan inyiak alias leluhur mereka. “Tidak seperti hewan lain seperti beruang atau ular,”kata dia. 

Karena itu, Rheno mengungkapkan, masyarakat Sari Alam Tigo tidak akan mengganggu harimau. Mereka bahkan memiliki 26 pantangan yang berkutat seputar hewan yang dilindungi tersebut. Diantaranya, tidak boleh menancapkan pasak ke tunggul kayu, tidak boleh meneriaki harimau saat melihatnya, diam tidak boleh mengolok-olok harimau, tidak boleh membuat pndokan atau tenda di tulang bukit yang menjadi jalur dari harimau. 

Peneliti dari Badan Riset Indonesia Nasional (BRIN) Dr Fathi Royani mengungkapkan, perspektif bilogis menunjukkan jika Harimau Sumatra merupakan satu-satunya spesies yang tersisa di habitatnya. Bertahannya Harimau Sumatra berbeda dengan Harimau Jawa dan Bali yang saat ini hanya bisa disaksikan di museum meski memang lembaga konservasi internasional sudah mengategorikan Harimau Sumatra sebagai hewan terancam punah atau dalam kategori merah.

 Di samping mendapat penghormatan secara budaya, Harimau Sumatra juga menjadi inspirasi dari dasar gerakan Silat Minang yang kerap disebut sebagai silek.  Menurut Fathi, Suku Minangkabau secara umum menamakan silat mereka dengan nama Silek Minang. Dia menjelaskan,  Silat Minang dikembangkan oleh salah seorang penasehat Sultan Sri Maharaja diraja yangbernama Datuk Suri Dirajo diperkirakan berdiri pada tahun 1119 Masehi di daerah Pariangan, Padangpanjang, Sumatera Barat. Asal usul silat minangkabau terbentuk dan berkedudukan di Pariangan yakni di lereng tenggara gunung merapi. 

Menurut Royani, ini menjadi bukti bahwa manusia masuk ke dalam sistem alam harimau melalui pencak silat demi mengenali apa itu harimau. 

Selain budaya, harimau juga dilindungi dengan modal agama. Royani menyebut beberapa tarekat tasawuf yang ada di Sumatra Barat mengungkapkan ajaran harmoni dengan alam sebagai manifestasi ibadah. Terlebih, ujar dia, keberadaan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No 4 Tahun 2014 tentang Pelestarian Satwa Langka memuat larangan perburuan hewan-hewan yang dilindungi. Harimau salah satunya. 

Satwa karismatik

Ketua Pusat Pengajian Islam (PPI) Universitas Nasional, Dr Fachruddin Mangunjaya, mengungkapkan, harimau yang hidup di Sumatra Barat merupakan satwa karismatik yang mengalami tantangan dalam hal konservasi. Dia menjelaskan, habitat satwa tersebut semakin menyusut dan tempat hidup semakin terbatas.

Sempitnya kawasan lindung dan area konservasi menyebabkan habitat harimau sangat terbatas. Ironisnya, ada 70% habitat harimau berada di luar kawasan konservasi (taman nasional dan hutan lindung)."Untuk mencegah konflik meluas, harus diadakan mitigasi diantaranya dengan meningkatkan toleransi terhadap keberadaan harimau,"ujar dia.

Dia menjelaskan, focus group discussion (FGD) tersebut merupakan bagian penelitian yang dilakukan untuk mengetahui hubungan antara harimau, budaya, dan spiritualitas masyarakat Sumatra Barat yang dikaitkan dengan tujuan konservasi. Hal ini penting sebagai bagian dari strategi konservasi, tidak hanya untuk spesies penting tetapi juga untuk habitat spesies yang dilindungi.

Di antara hubungan erat antara manusia dengan Harimau Sumatra, ujar dia, adalah dengan menjadikan harimau sebagai bagian dari mereka. Dia mengatakan, masyarakat Sumatera pada umumnya dan Sumatra Barat pada khususnya memberikan sebutan yang menghargai dan menghormati harimau.

"Masyarakat menyebut harimau dengan sebutan Datuk, Angku, Inyiak, dan Orang Tuo. Bagi masyarakat, harimau merupakan bagian dari leluhur yang harus dihormati,"kata dia.

Gelar-gelar tersebut juga dapat diartikan sebagai upaya masyarakat untuk memasukkan harimau sebagai bagian dari keluarga mereka. Dalam sistem kekeluargaan di Sumatera Barat, Datuk, Angku, Inyiak, dan Orang Tuo merupakan sebutan untuk yang dituakan. 

Dalam perkembangannya, kata akademisi yang berkutat pada bidang biologi tersebut, masyarakat juga menerima ide, pandangan, dan semangat dari Islam yang telah lama masuk dan berkembang di Sumatera Barat. Ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits tersebut bersinggungan dengan budaya dan adat istiadat masyarakat yang bersumber dari pengalaman interaksi dengan lingkungannya.