Survei: Muslim Bilang Perubahan Iklim Disebabkan Tambang tetapi Butuh Usaha Tambang

Survei ini menunjukkan hampir 70 persen Muslim setuju perubahan iklim disebabkan oleh tambang dan kelapa sawit, tetapi mereka juga setuju ormas atau pesantren butuh usaha tambang.

Jul 25, 2024 - 12:10
Survei: Muslim Bilang Perubahan Iklim Disebabkan Tambang tetapi Butuh Usaha Tambang

JAKARTA —  Hasil survei nasional Religious Environmentalism Actions (REACT) tentang pengetahuan sikap dan perilaku Muslim Indonesia terhadap lingkungan dan perubahan iklim menunjukkan adaya dualitas peran agama, khususnya menyikapi isu tambang. Survei yang dirilis Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (UIN Jakarta) tersebut mengungkapkan, meski mayoritas responden Muslim tahu dan yakin akan terjadinya perubahan iklim dan dampak negatif dari aktivitas ekonomi seperti pertambangan, sebagian besar orang Islam ternyata masih melihat usaha tambang sebagai peluang ekonomi yang penting.

“Temuan ini menunjukkan sikap umat yang mendua. Di satu sisi, banyak yang setuju kalau kerusakan lingkungan itu disebabkan oleh aktivitas ekonomi seperti tambang, tetapi di sisi lain masyarakat Muslim di Indonesia cenderung setuju pesantren atau ormas memiliki bisnis tambang untuk peningkatan kesejahteraan ekonomi,” jelas Iim Halimatusa’diyah, Koordinator Survei Nasional REACT – PPIM UIN Jakarta pada Peluncuran Survei Nasional REACT di Ashley Wahid Hasyim, Jakarta, Rabu (24/7/2024).

Survei ini mewawancarai 3,397 responden berusia 15 tahun ke atas dari seluruh provinsi di Indonesia. Survei ini menemukan, hampir 70 persen Muslim Indonesia sangat setuju dan setuju bahwa perubahan iklim disebabkan oleh kegiatan ekonomi seperti perkebunan sawit dan pertambangan. Meski demikian, 63.83% Muslim juga setuju jika pesantren/ormas memiliki usaha pertambangan atau perkebunan sawit untuk meningkatkan kondisi ekonomi.

Dilihat dari afiliasi ormas Islam, Muslim yang berafiliasi dengan Muhammadiyah paling setuju (69.91%) bahwa perubahan iklim terjadi karena aktivitas ekonomi seperti pertambangan dan perkebunan sawit. Sementara itu, meskipun secara umum semua Muslim dari berbagai afiliasi ormas setuju dengan kepemilikan pertambangan, Muslim yang berafiliasi dengan NU paling tidak setuju (29,88%) pesantren/ormas memiliki usaha pertambangan atau perkebunan sawit untuk meningkatkan kondisi ekonomi.

Iim merespon temuan di atas melalui dua pertanyaan penting untuk didiskusikan. “Pertama, adakah tambang yang ramah lingkungan? Lalu kedua, apakah pesantren atau ormas bisa mengelola tambang yang ramah lingkungan sekaligus mensejahterakan umat?,” ujar Iim. Menurut Iim, fakta ini menunjukkan, betapa dilematisnya persoalan ramah lingkungan dan kepentingan ekonomi.

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ulil Abshar Abdalla mengungkap dua penafsiran tentang Green Islam. Menurut dia, umat Muslim Indonesia perlu secara cermat memahami Green Islam sebagai “habitat kecil” atau small habitat (al-bi’ah al-sughra) dan “habitat besar” atau big habitat (al-bi’ah al-kubra).

Ulil menyatakan tidak mempersoalkan bila umat Muslim turut terlibat dalam aktivisme lingkungan al-bi’ah al-sughra. “Pada level ini, saya tidak punya keberatan apa pun. Seperti yang ditujukan survei PPIM, umat Muslim memang harus terlibat pada persoalan sampah, polusi, hancurnya biodiversitas, sampai isu kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh industri ekstraktif,” ujar dia.

Sementara, Ulil mengingatkan umat Muslim Indonesia untuk hati-hati terlibat dalam isu lingkungan pada kategori al-bi’ah al-kubra. Ulil mencontohkan al-bi’ah al-kubra sebagai perdebatan global isu lingkungan, terutama isu perubahan iklim, seperti yang terjadi di belahan Amerika bagian utara.

Dia mengungkapkan, umat harus kritis terhadap diskursus isu lingkungan pada level tersebut jika tidak menginginkan Islam pada posisi pinggiran atau periferal dan hanya justifikasi untuk isu lingkungan. Menurut dia, isu lingkungan pada level ini seringkali menimbulkan polarisasi, seperti yang terjadi pada negara-negara di Amerika bagian utara, Amerika Serikat, Kanada, atau Australia. "Yang bisa menyebabkan target-target emisi yang disepakati di Paris Agreement mundur,” jelas Ulil.

Direktur Eksekutif Muhammadiyah Climate Center Dr Agus Sulaiman Djamil menegaskan, umat semestinya proaktif dan bersinergi dalam memuliakan bumi dan bertindak karena kewajiban agama, bukan sebatas karena komitmen banyak pihak.

Djamil menyoroti temuan survei PPIM UIN Jakarta, hampir 70% Muslim Indonesia sangat setuju bahwa perubahan iklim disebabkan oleh kegiatan ekonomi seperti perkebunan sawit dan pertambangan. Kondisi ini menurut Jamil perlu mendapat perhatian, meski banyak komunitas keagamaan telah aktif bergerak di isu lingkungan, namun permasalahan lingkungan terus terjadi.“Indonesia dalam situasi dan posisi sangat istimewa sekaligus kritis dalam masalah iklim dunia ini” ujar Djamil, Wakil Ketua Majelis Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah

Selain pertambangan dan sawit, menurut Djamil, penulis buku Islam dan Lautan ini, menjelaskan penyebab kerusakan lingkungan lainnya yaitu karbon.“Terkait penyebab perubahan iklim, selain petambangan juga disebabkan karena karbon”, ucap Djamil

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo pada Kamis (30/5/2024) meneken Peraturan Pemerintah (PP) 25/2024 tentang perubahan atas PP 96/2021 soal pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu bara (minerba). Dalam pasal 83A PP 25/2024 menyebutkan bahwa regulasi baru itu mengizinkan organisasi masyarakat (ormas) keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah bisa mengelola wilayah izin pertambangan khusus (WIUPK). 

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif mengungkapkan, pemerintah  menyiapkan enam lahan eks Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) untuk diberikan ke beberapa ormas keagamaan.  Dari Islam ada dua organiskas yakni, NU dan Muhammadiyah. Sementara itu, untuk Katolik, Protestan, Hindu, Buddha. Sejauh ini, baru NU yang berproses. Beberapa lainnya masih menunjukkan sikap menolak.

"Ini upaya pemerintah untuk bisa memberikan kesempatan kepada ormas keagamaan yang selama ini nonprofit. Mereka ada sumber yang mendukung kegiatan-kegiatan keagamaan, ibadah, pendidikan, kesehatan, kata Arifin, di kantor Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Ditjen Migas), Jakarta, Jumat (7/6/2024).