Jihad Ekologi dari Balik Bilik Suara
Perlu ada gerakan dari masyarakat yang diistilahkan sebagai jihad ekologis untuk mengoreksi kebijakan pemerintah saat menyimpang dari misi manusia dalam pemeliharaan alam
14 Februari akan menjadi momentum penentuan kepemimpinan nasional dalam lima tahun ke depan. Sebagai konstituen terbesar Pemilu, umat Islam patut mencerna baik-baik mengenai siapa calon yang akan dipilih dari bilik suara. Salah satu faktor yang seharusnya menjadi pertimbangan dalam mengambil sikap untuk memilih yakni keberpihakan terhadap lingkungan. Mengapa lingkungan menjadi pertimbangan mendesak dalam memilih calon pemimpin?
Anggota Majelis Lingkungan Hidup (MLH) Muhammadiyah Hidayat Tri Sutardjo mengatakan, pemeliharaan alam (termasuk lingkungan) merupakan suatu misi manusia sebagai khalifah di bumi. Manusia memiliki peran sentral dalam memakmurkan bumi dan mencegahnya dari segala bentuk kerusakan. Peran ini sebenarnya diragukan oleh malaikat yang menganggap potensi manusia untuk merusak sebenarnya amat besar. Hanya saja, pertanyaan malaikat itu dijawab oleh Allah SWT dengan jawaban misterius.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS Al-Baqarah ayat 30: Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Keraguan malaikat memang relevan jika kita melihat data yang ada. Pada awal tahun ini, bencana akibat kerusakan lingkungan memang terbilang massif. Setidaknya, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat ada 194 bencana dengan berbagai ragam bentuknya dari banjir, tanah longsof hingga kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Sebagai perbandingan, pada 2023, total ada 5.400 bencana yang melanda Indonesia. Hampir separuhnya atau sebanyak 2.051 bencana merupakan kasus karhutla.
Kebijakan pemerintah punya andil dalam perusakan lingkungan. Cendikiawan muda Muhammadiyah Rijal Ramdani dalam artikelnya bertajuk Penyelamatan Lingkungan Sebagai Jihad Muhammadiyah di Abad Kedua: Tantangan dan Masa Depan MLH Muhammadiyah, mengungkapkan, kerusakan-kerusakan lingkungan yang sangat masif seperti banjir, kekeringan, longsor, kebakaran hutan, sampah, air sungai yang tercemar, abrasi, dan lain-lain juga merupakan bentuk kebijakan pemerintahan masa lalu yang memberikan konsesi besar-besaran atas izin penguasan lahan, hutan, tambang, dan perkebunan kepada perusahaan-perusahaan tertentu (McCarthy, 2010). Penyebab lainnya, ekspansi yang dilakukan oleh masyarakat terhadap sumber daya alam akibat dari tekanan kebutuhan ekonomi jangka pendek (Nesadurai, 2018).
Rijal menambahkan, ada isu substansial yang harus sama-sama kita renungkan atas konsitusi yang kita miliki. Di dalam UUD 1945 pasal 33 dikatakan, bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hal ini menegaskan, negara adalah satu-satunya aktor yang menguasai seluruh sumberdaya alam.
Untuk itu, perlu ada gerakan dari masyarakat yang diistilahkan sebagai jihad ekologis untuk mengoreksi kebijakan pemerintah saat menyimpang dari misi manusia dalam pemeliharaan alam. Menurut Rijal, gerakan Jihad ekologis ini pun diharapkan menjadi representasi dari suara kelompok ‘tercerahkan’ yang risau melihat betapa banyak kekayaan alam Indonesia dijarah habis oleh kepentingan korporasi global, untuk memenuhi kebutuhan pasar dunia dengan cara-cara yang ‘licik’ dengan memanipulasi undang-undang.
Kesadaran masyarakat Indonesia terhadap isu iklim pun semakin tumbuh. Dalam surveinya bertajuk 'Harapan Transisi Energi untuk Capres 2024', Center of Economics and Law Studies (Celios) menggambarkan jika secara umum, 81% masyarakat Indonesia setuju bahwa pemerintah perlu mendeklarasikan kondisi darurat iklim. Jika dilihat dari daerah tempat tinggalnya, masyarakat yang tinggal di lingkungan perkotaan (89%) dan pinggiran kota (88%) cenderung lebih setuju jika pemerintah mendeklarasikan kondisi darurat iklim dibandingkan dengan masyarakat di pedesaan (74%). Studi ini menemukan bahwa Generasi Z dan Millenial dengan rentang usia 15-34 tahun paling banyak berpersepsi bahwa krisis iklim adalah hal yang nyata. Hasil lain, sebanyak 5% responden dari rentang usia 45-54 tahun menjawab bahwa krisis iklim tidak nyata. Lebih lanjut, 60% masyarakat menilai pemerintah belum mampu merumuskan kebijakan yang dapat mencegah krisis iklim di Indonesia.
Kesadaran ini menjadi modal bagi umat Islam dalam konteks pemilu yang sudah ada di depan mata. Tidak bisa tidak, mereka punya tanggung jawab untuk memilih pemimpin yang tepat dalam rangka penerapan jihad ekologi tersebut. Terlebih, Majelis Ulama Indonesia (MUI), pernah mengeluarkan fatwa yang dimuat dalam Ijtima Alim Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia Tahun 2009. Saat itu, MUI menetapkan bahwa memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur, tepercaya, aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathanah) dan memperjuangkan kepentingan umat Islam hukumnya wajib.
Di sisi lain, MUI juga sudah mengeluarkan berbagai fatwa yang mendukung gerakan lingkungan. Semisal, Fatwa No 41 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Sampah untuk Mencegah Kerusakan Lingkungan, Fatwa No 30 Tahun 2016 tentang Hukum Pembakaran Hutan dan Lahan Serta Pengendaliannya, hingga Fatwa No.4 Tahun 2014 tentang Pelestarian Satwa Langka untuk Menjaga Keseimbangan Ekosistem.
Jika menyaksikan visi-misi pasangan calon presiden-wakil presiden dan lima debat capres/cawapres yang sudah dilalui, maka ada berbagai perspektif dari tiga paslon tersebut yang bisa dipahami mangenai lingkungan. Bahasan ketiga calon mengenai isu lingkungan terbilang beragam.
Pasangan nomor urut 1, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar memiliki delapan misi tentang lingkungan. Selain akan menerapkan tata kelola lingkungan, pasangan yang akrab disapa Amin ini mengedepankan penggunaan energi baru terbarukan.Selain itu, pasangan ingin menekan laju kerusakan hutan, konservasi intake forest, dan reforestasi/rehabilitasi untuk memaksimalkan peran hutan sebagai carbon sink.
Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka yang menjadi pasangan nomor urut 2 akan melakukan swasembada energi untuk mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil. Tujuannya menjadikan Indonesia sebagai raja energi hijau dunia (super power) dalam bidang energi baru terbarukan dan energi berbasis bahan baku nabati (bioenergy).
Sementara itu, pasangan nomor urut 3 yakni Ganjar Pranowo dan Mahfud MD mengusung tiga misi gerak cepat terkait lingkungan hidup, energi baru terbarukan serta keadilan ekologis. Pasangan ini pun menggaungkan program di akar rumput seperti Kampung Sadar Iklim dan desa mandiri dengan energi baru terbarukan. Pasangan ini juga mengusung ekonomi biru yang berkelanjutan.
Meski ketiga paslon mengklaim akan melakukan program pembangunan berkelanjutan, sudah selayaknya kita berpikir kritis dan mempertanyakan kembali tentang implementasi visi-misi ketiga paslon tersebut. Wabil khusus, bagaimana rekam jejak mereka dalam isu lingkungan saat menjadi pimpinan dalam berbagai level.