Akankah Banjir Nabi Nuh Kembali Terulang?
Lantas, kemana bahtera yang akan menyelamatkan kita seperti yang diupayakan oleh Nabi Nuh?
Bencana banjir terbesar pernah tercatat dialami manusia saat zaman Nabi Nuh pada 4000 tahun Sebelum Masehi (SM) silam. Sami bin Abdullah Al-Maghluts, dalam buku Atlas Sejarah Nabi dan Rasul, mengungkapkan, penelitian arkeologi di sekitar Timur Tengah menunjukkan bukti sedimen dan endapan lumpur tua, yang membuktikan memang pernah terjadi air bah luar biasa.
Pada masa itu, dua sungai besar Eufrat dan Tigris meluap. Nabi Nuh kemudian menyiapkan sebuah bahtera untuk menyelamatkan kaumnya. Dalam buku yang ditulis Ibnu Katsir berjudul “Sejarah Para Nabi” dijelaskan, Nabi Nuh diperintahkan Allah membangun kapal yang besar. Ada ulama yang berpendapat kapal tersebut berasal dari kayu jati sedangkan pendapat lainnya mengatakan kapal itu berasal dari pohon Sanobar.
Kapal itu dikatakan memiliki panjang 600 hasta dengan lebar 300 hasta. Tingginya berkisar 30 hasta. Kapal raksasa itu memiliki tiga lantai yakni lantai dasar untuk menampung berbagai jenis binatang, lantai tengah untuk penumpang manusia dan lantai ketiga untuk menampung burung-burung. Setelah kapal slap berlayar, Allah SWT pun menurunkan air bah.
Alquran menceritakan banjir terbesar sepanjang sejarah manusia itu mampu menenggelamkan semua peradaban manusia. Besarnya banjir Nabi Nuh dilukiskan sebagai tergenangnya permukaan bumi dan tenggelamnya gunung-gunung yang berlangsung dalam waktu yang lama, dengan air yang jatuh dari langit maupun yang memancar dari dalam bumi. "Lalu Kami bukakan pintu-pintu langit dengan (menurunkan) air yang tercurah, dan Kami jadikan bumi menyemburkan mata-mata air maka bertemulah (air-air) itu sehingga (meluap menimbulkan) keadaan (bencana) yang telah ditetapkan. Dan Kami angkut dia (Nuh) ke atas (kapal) yang terbuat dari papan dan pasak.” (QS al-Qamar ayat 11-13).
Allah SWT memerintahkan kepada Nabi Nuh alaihissalam untuk menaikkan ke atas kapal pasangan-pasangan dari setiap spesies, jantan dan betina, serta keluarganya. Seluruh manusia di daratan kemudian ditenggelamkan ke dalam air, termasuk anak laki-laki Nabi Nuh yang semula berpikir bahwa dia bisa selamat dengan mengungsi ke sebuah gunung yang dekat.
“Dia (anaknya) menjawab, “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat menghindarkan aku dari air bah!” (Nuh) berkata, “Tidak ada yang melindungi dari siksaan Allah pada hari ini selain Allah yang Maha Penyayang.” Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya, maka dia (anak itu) termasuk orang yang ditenggelamkan.” (QS Hud ayat 43).
Salah satu yang patut dicermati dalam kisah banjir Nabi Nuh yakni Allah SWT mempertemukan air dari langit (hujan) dan dari bumi. Apa gerangan air yang muncul dari bumi? Mengutip laman ABC News, seorang peneliti arkeologi bawah laut, Robert Ballard mencoba mencari jawaban dari misteri banjir yang juga diceritakan dalam Injil. Selama ini Ballard memiliki rekam jejak untuk berhasil menemukan hal-hal yang dianggap mustahil. Pada 1985, dengan menggunakan robot yang dilengkapi pengendali jarak jauh, Ballard dan timnya menelusuri sisa reruntuhan Titanic. Ballard pun menggunakan teknologi robotik yang lebih canggih untuk mencari jejak Nabi Nuh.
Menurut Ballard, dunia pada 12.000 tahun lalu terselimuti es. Namun, dia tetap berusaha mencari jejak Nabi Nuh. Ballard menjelaskan, Laut Hitam dulu merupakan danau air tawar yang dikelilingi kawasan pertanian. Gletser mencair pada saat temperatur Bumi semakin menghangat pada 5600 SM, yang mengakibatkan terbentuknya sejumlah lautan. Inilah yang mengakibatkan terjadinya banjir besar di sebagian besar kawasan dunia. Air itu kemudian mengalir melalui Selat Bosporus dari Turki, untuk kemudian menuju Laut Hitam. "Kami bicara tentang banjir di sejarah hidup manusia. Pertanyaannya adalah, apakah ada induk dari semua banjir yang terjadi saat itu?" tutur Ballard.
Jika salah satu sumber banjir Nabi Nuh berasal dari gletser, maka hal tersebut juga harus kita waspadai sekarang. Gletser dunia menyusut dan menghilang lebih cepat dari yang diperkirakan para ilmuwan. Setidaknya, dua pertiga dari gletser di bumi diprediksi akan mencair pada akhir abad ini yang menjadi bagian dari tren perubahan iklim saat ini, menurut sebuah studi.Sebagian besar gletser kecil sedang menuju kepunahan, kata peneliti. Penelitian yang dimuat dalam Jurnal Science tersebut mengamati sebanyak 215.000 gletser di daratan di dunia - dengan cara yang lebih komprehensif dibandingkan penelitian sebelumnya.
Para ilmuwan kemudian menggunakan simulasi komputer untuk menghitung dan menggunakan tingkat pemanasan yang berbeda. Mereka mencari jawaban berapa banyak gletser yang akan hilang? Berapa triliun ton es yang akan mencair? dan berapa banyak kontribusinya terhadap kenaikan permukaan laut? Mereka pun membuat simulasi video yang menunjukkan ketika permukaan laut naik ke level paling berbahaya maka akan menenggelamkan sebagian besar wilayah di dunia, termasuk Indonesia yang merupakan negara kepulauan.
Fenomena ini punya kaitan sebab akibat yang terbilang rumit. Jika lapisan es abadi atau gletser di bumi yang menutupi 10% lapisan tanah di Bumi lumer dengan sangat cepat, hal itu akan memicu efek berantai.Bayangkan, jika seluruh lumeran es abadi berupa air tawar itu masuk ke laut dan menurunkan kadar garam air laut, dampak apa yang akan terjadi? Keseimbangan Gulf Stream yang merupakan arus laut hangat di Atlantik Utara yang merupakan salah satu arus paling penting di dunia akan terganggu. Ini akan memicu fenomena iklim ekstrem, berupa badai tropis dan angin topan. Banjir dan kekeringan di kedua sisi Samudra Atlantik akan lebih sering terjadi. Ratusan juta penduduk bumi akan terdampak.
Banjir Nabi Nuh abad ini mungkin tidak menenggelamkan seluruh bumi seperti yang terjadi pada enam ribu tahun silam. Meski demikian, pencairan gletser memunculkan efek domino yang lebih dahsyat. Suhu di kutub utara akan naik dua kali lipat lebih cepat. Sistem penyejuk udara raksasa yang mengatur suhu planet Bumi akan macet. Suhu panas bukan hanya mencairkan lapisan es di kutub, tapi juga melemahkan arus udara di atmosfer yang disebut "jet stream". Gampangnya, cuaca buruk seperti yang kita rasakan akhir-akhir ini akan semakin sering terjadi.
Apa yang harus dilakukan dengan dampak perubahan iklim yang sudah kita rasakan sekarang? Dapatkah kita berharap atau hanya termangu menunggu keajaiban? Jawabannya ada pada kita. Sudah saatnya kita mengembalikan fitrah misi penciptaan manusia sebagai khalifah Allah di bumi. Tangan-tangan kita diciptakan bukan untuk merusak tetapi menjaga dan merawat alam yang diciptakan untuk mendampingi kita. Semoga belum terlambat!