Fikih Energi Berkeadilan ala Muhammadiyah

Transisi energi dinilai hanya peralihan energi tanpa memperhatikan kondisi lingkungan sekitar.

Oct 7, 2024 - 23:26
Fikih Energi Berkeadilan ala Muhammadiyah
Penandatanganan Cover Buku Fikih Transisi Energi Berkeadilan oleh Sekjen Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Sahid Djunaidi

MOSAIC-INDONESIA.COM, JAKARTA -- Transisi energi dari fosil menjadi energi terbarukan masih harus dikejar.  Indonesia menetapkan target net zero emision atau emisi nol persen pada 2060, sekitar 36 tahun lagi dari sekarang, bukan langkah mudah. Sebagai gambaran, target terdekat Indonesia pada 2025 untuk bauran energi terbarukan yakni 23 persen. Realisasinya jika dilihat pada akhir 2023, baru mencapai sekitar 13 persen.

Beragam kendala terjadi dalam upaya transisi energi tersebut. Sebagai contoh, transisi energi lebih banyak fokus pada proyek-proyek besar sehingga proyek kecil dan lokal yang lebih terdesentralisasi sulit untuk berkembang. Proyek energi terbarukan juga kerap menimbulkan konflik sosial terutama terkait pengelolaan lahan dan keterlibatan masyarakat. Untuk itu, butuh pendekatan lebih inklusif untuk melibatkan masyarakat dalam mengambil keputusan.

Muhammadiyah pun menilai transisi energi sering dianggap sebatas peralihan sumber energi fosil ke sumber energi terbarukan, tanpa memperhatikan keadilan sosial dan lingkungan. Menurut Muhammadiyah, transisi tersebut harus mencakup keadilan ekonomi, sosial, gender dan ingkungan. Dengan demikian, semua kelompok masyarakat mendapatkan manfaat setara dari perubahan tersebut dan dilibatkan dalam pengambilan keputusan.

Dalam upaya berkontribusi terhadap transisi energi berkeadilan, Muhammadiyah bekerjasama dengan MOSAIC, Green Faith dan Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah merilis buku bertajuk Fikih Transisi Energi Berkeadilan yang softlaunchnya dilakukan di gedung PP Muhammadiyah, Senin (30/9/2024) lalu. Perjalanan buku yang terdiri dari enam bab ini dimulai dari berlangsungnya diskusi, membangun kerangka kerja hingga menyelesaikan proses penulisan berlangsung pada Desember 2023 hingga September 2024.

Salah satu penyusun buku tersebut, Ustadz Qaem Aulassyahied mengungkapkan, buku ini mengambil terma fikih karena merupakan istilah yang melekat di masyarakat, membumi dan cenderung tidak ‘garang’. “Fikih ala Muhammadiyah merupakan suat konsep pemahaman bahwa hukum islam itu dibangun oleh tiga norma berjenjang,”ujar Qaem.

Pertama, yakni nilai-nilai dasar (Al-Qiyam al-Asasiyyah); Kedua, prinsip-prinsip umum (Al-Ushul al Kulliyah); Terakhir, peraturan konkret seperti panduan dan pedoman (Al-ahkam al-far’iyyah). Dalam konteks Fikih Transisi Energi Terbarukan,  Ustadz Qaem menjelaskan, salah satu yang menjadi nilai dasar yakni konsep tauhid ekologis. Artinya, suatu keyakinan sebagaimana diciptakannya manusia, bumi tidak tercipta begitu saja secara alami. Dia menjelaskan, semesta ini diciptakan oleh Allah SWT.

Tauhid ekologis mengharuskan manusia memahami alam semesta, menjaga lingkungan, dan mengelola energi di dalamnya, sebagai salah satu wujud tauhid itu sendiri. Sementara itu, memandang rendah alam semesta sehingga merasa berhak untuk bertindak sewenang-wenang dengannya, juga termasuk sebagai kufur teologis,”jelas dia.

Setelah nilai dasar, ada prinsip umum yang menjadi acuan kaidah fikih energi, salah satunya yakni prinsip konservasi energi. Prinsip konservasi tersebut dibagi menjadi dua bagian, yakni efisiensi penggunaan energi dan pencarian juga pelestarian sumber energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan dan ramah sosial. Prinsip konservasi ini banyak dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Salah satunya, yakni dalam efesiensi pemanfaatan energi.

Pada tataran praktis, diharapkan ada penerapan fiqih transisi energi dari dari tingkatan global, negara, kemasyarakatan, swasta hingga tapak. Untuk tingkat global, negara maju dinilai harus mengedepankan keadilan dengan memulai transisi energi terbarukan terlebih dahulu tanpa membebani negara dunia ketiga. Pada tataran negara, pelibatan masyarakat lokal dan menghargai nilai-nilai dan norma masyarakat khususnya saat berhubungan dengan adat mesti dikedepankan. 

Untuk level ormas, maka harus ada upaya dukungan bagi solusi energi terbarukan termasuk pembiayaan lewat zakat, infak, sedekah dan wakaf (Ziswaf) sebagai model crowdfunding. Bagi swasta, dapat mengintegrasikan transisi energi dalam roadmap atau strategi environmental, social, governance (ESG). Sementara itu, tingkat tapak yakni mengembangkan solusi energi lokal sesuai kebutuhan dan sumber daya yang tersedia.

Ketua MLH PP Muhammadiyah M Azrul Tanjung mengatakan, MLH dengan dukungan Majelis Tarjih, merumuskan sebuah buku yang diharapkan menjadi pemicu untuk melakukan terobosan dalam energi terbarukan. Dia berharap, buku tersebut dapat membuka perspektif demi keselamatan anak cucu kita pada masa depan.

Dia mengatakan, Indonesia amat kaya akan sumber energi. Sebagai negeri yang berada di tengah bumi khatulistiwa, Indonesia memiliki sumber daya matahari yang bisa dimanfaatkan setiap saat. Begitu juga dengan laut yang amat luas dan sungai-sungai yang mengalir deras. "Kita mesti mulai mengajak teman-teman di kalangan kampus, pemerintahan, LSM, untuk bagaiamana ke depan harus hidup dengan energi terbarukan,"ujar dia.