Belajar Menjadi 'Responsible Ummah' dari Finlandia
Rijal yakin jika konsep Responsible Citizens bisa dilakukan untuk umat Islam di Indonesia dengan konsep Responsible Ummah
MOSAIC-INDONESIA.COM, JAKARTA -- Layaknya intelektual muda Muhammadiyah lainnya, Rijal Ramdani punya keinginan menggebu untuk kuliah di luar negeri. Jebolan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) dan Universitas Gadjah Mada (UGM) ini berkeyakinan jika perjalanannya untuk menuntut ilmu penting dilakukan demi menafsirkan kembali nilai-nilai keislaman yang kompatibel dengan arus zaman. Terlebih, bidang yang digelutinya adalah kebijakan lingkungan. Suatu bidang keilmuan yang diharapkan mampu menjawab persoalan perubahan iklim yang tengah dihadapi masyarakat dunia saat ini.
Takdir membawa Rijal ke University of Eastern Finland, Finlandia. Lewat studi Enviromental Policy, Rijal harus menyelesaikan program doktoralnya selama 5,5 tahun. Selama tinggal di negeri yang dikenal sebagai negara terbahagia di dunia itu, Rijal yang lulus pada Desember 2023 sebagai doktor dengan predikat memuaskan tersebut menyaksikan betapa masyarakat setempat menyatu dengan alam. Kesadaran dan tanggung jawab mereka akan pelestarian lingkungan pun amat tinggi sehingga disebut sebagai Responsible Citizen.
Rijal yang kini menjabat sebagai Direktur International Program of Government Affairs and Administration (IGOV) UMY ini menjelaskan, masyarakat Finlandia berperilaku dan berinteraksi dengan alam. Secara sadar, mereka juga mengurangi aktivitas sehari-hari yang menghasilkan jejak karbon alias carbon footprint. “Paradigma orang Finlandia itu cocok digambarkan sebagai Responsible Citizens,”ujar dia kepada tim redaksi MOSAIC belum lama ini.
Rijal menjelaskan, kehidupan orang Finlandia menyatu dengan alam. Hutan, sungai, dan danau sangat terpelihara dengan baik. Di dalam hutan, ada burung berkicau riang, tupai dan kelinci liar yang berlarian. Keanekaragaman hayati hutan amat terjaga. Demikian dengan sungai dan danau dengan kejernihan airnya.
Mereka merasa bertanggung jawab dan memiliki kesadaran untuk menjaga alam. Rijal memisalkan, jika mereka memancing ikan di danau atau sungai, mereka hanya mengambil untuk satu kali makan sekeluarga, tidak lebih. Jika mengambil terlalu banyak, mereka merasa jumlah ikan akan berkurang.
Tanggung jawab mereka dalam merawat hutan pun amat tinggi. Rijal menjelaskan, mayoritas hutan di Finlandia dimiliki keluarga secara turun temurun. Satu keluarga bisa memiliki puluhan bahkan ratusan hektar lahan hutan. “Dan kepemilikan hutan yang luas seperti itu adalah biasa. Mereka menganut sistem private property rights, bukan state property rights seperti di kita dimana hutan kita itu semuanya diklaim milik negara,”kata dia.
Hutan yang dimiliki pun tak dieksploitasi. Menurut Rijal, tidak sedikit dari masyarakat Finlandia yang justru memiliki komitmen untuk tidak menebang kayunya kecuali untuk kebutuhan menghangatkan sauna dan perapian rumah di musim dingin. Mereka mendedikasikan hutannya itu untuk konservasi, tempat dimana beruang, “Moose” (rusa besar) dan binatang-binatang lainnya berada.
Begitu pula perilaku mereka dalam mengurangi jejak karbon. Menurut dia, kebanyakan warga Finlandia berjalan kaki. Sepeda menjadi alat transportasi utama. “Jadi jalan kaki empat kilometer itu biasa, bersepeda sembilan kilometer biasa ke tempat belanja, kantor, dan lain-lain,”kata dia.
Menurut Rijal, mereka bisa menikmati berjalan kaki dan bersepeda dengan leluasa karena fasilitasnya terbilang baik. Jalan untuk mereka dipisahkan dengan kendaraan. Tak hanya itu, parkiran sepeda juga tersedia di kampus, perkantoran, dan di tempat-tempat umum yang selalu penuh dengan sepeda.
Pengurangan jejak karbon lainnya ada pada efisiensi energi. Hampir semua lampu di kampus, perkantoran, dan fasilitas umum di Finlandia berfungsi secara otomatis. Lampu hanya akan menyala saat ada ada orang. Jika tidak, maka akan mati otomatis.
Selain itu, penggunaan kantong plastik amat jarang ditemukan. Menurut Rijal, warga yang hendak berbelanja sudah bawa kantong masing-masing dari rumah. Kalaupun terpaksa menggunakan plastik, mereka harus membelinya dengan harga yang mahal.
Untuk pengelolaan sampah, warga mulai memilah sampah dari rumah. Benda seperti botol plastik dan kaleng bisa ditukarkan dengan uang melalui mesin atau mendapatkan potongan belanja. Rijal pun merekam kisah mereka lewat buku bertajuk “Belajar dari Kehidupan di Finlandia”. “Buku ini murni didasarkan pada hasil pengamatan dan pengalaman saya saat interaksi dengan masyarakat,”kata dia.
Menurut Rijal, ada tiga justifikasi masyarakat Finlandia dalam kaitannya dengan pelestarian alam yaitu logic, empiric, dan insting. Maksud dari Logic adalah tindakan atau aktivitas kehidupan didasarkan pada pertimbangan akal, khususnya cost and benefit atau untung dan rugi. Dia menjelaskan, Logic menjadi justifikasi moral yang utama. Dia mencontohkan, warga Finlandia tidak membuang sampah sembarangan, apalagi buang sampah plastik di hutan. Menurut Rijal, pertimbangan mereka adalah untung dan rugi. "Kalau buang sampah sembarangan, akal kita itu akan mengatakan lingkungan menjadi kotor, maka akan menjadi beban bagi kehidupan dan lingkungan, itulah rugi,"kata dia.
Justifikasi kedua yakni Empiris. Artinya, mereka belajar dari kehidupan yang telah dan sedang dialami. Empiris merupakan kelanjutan dari logic. "Mungkin anda pernah mendengar istilah social learning, ini penting dalam masyarakat Finlandia, dan itulah proses belajar secara terus-menerus dari kehidupan dan lingkungan sekitar. Belajar dari kesalahan, kegagalan, keberhasilan, dan kehidupan secara umum,"jelas Rijal.
Dia memisalkan, jika musim panas, warga Finlandia kerap merayakan mid-summer dengan membuat api unggun. Hanya saja, jika suhu udara tinggi, seperti di atas 26 ˚C, maka api unggun ditiadakan. Mereka khawatir terjadi kebakaran hutan karena punya pengalaman dari masa lalu.
Konsep ketiga yakni insting atau suara hati manusia yang sifatnya universal dalam menentukan benar dan salah atas suatu tindakan. Menurut dia, suara hati manusia pasti berisi kebaikan. Bisikan untuk tidak buang sampah, tidak menangkap burung lalu memasukkannya ke sangkar, dan tidak menyia-nyiakan air secara serampangan, berasal dari suara hati. Karena itu, masyarakat dan individu di Finlandia memiliki kesadaran untuk mengonsumsi apa-apa yang dihasilkan dari dan diperbaharui oleh alam, menggunakan energi terbarukan, dan menggunakannya dengan seefisien mungkin.
Rijal pun membandingkan dengan masyarakat Muslim di Indonesia yang membentuk paradigma dan perilaku dengan nilai-nilai agama. Meski amat banyak justifikasi agama yang seharusnya menjadi landasan umat Islam dalam menjaga alam, nilai-nilai itu hanya sampai di dalam ceramah lewat ayat Alquran dan hadis nabi. Justifikasi itu belum menjadi perilaku dan akhlak yang dilakukan secara berulang-ulang dan menjadi keseharian.
"Maka pekerjaan rumahnya adalah bagaimana nilai-nilai suci agama itu bisa menjadi perilaku, bisa menjadi akhlak. Dan itu salah satunya yang terus diperjuangkan oleh Majelis Lingkungan Hidup PP. Muhammadiyah untuk membumikan nilai-nilai agama yang berhubungan dengan pelestarian alam dalam perilaku kehidupan sehari-hari kaum Muslimin di Indonesia,"kata Rijal yang juga merupakan pengurus MLH PP Muhammadiyah.
Rijal yakin jika konsep Responsible Citizens bisa dilakukan untuk umat Islam di Indonesia dengan konsep Responsible Ummah. Menurut Rijal, Responsible Ummah adalah kaum Muslimin yang memiliki kepedulian terhadap alam dan perubahan iklim dengan mendasarkan kepedulian pada nilai-nilai agama.
"Jadi agama menjadi justifikasi utama dalam perilaku baik kita untuk mengurangi carbon footprint dan juga pelestarian alam. Hadis-hadis nabi sudah sangat jelas bagaimana nabi menganjurkan kita menanam pohon, tidak boleh mengotori air sungai, dan menyia-nyiakan air sebagai perilaku mubazir. Itu nilai-nilai Islam,"kata dia.
Menurut Rijal, ummah itu adalah agen yang bentuknya bisa NGOs atau ormas keagamaan seperti Muhammadiyah dan NU. Ummah juga bisa berupa media seperti Republika hingga kategori Individu.
Lebih jauh, Rijal mencontohkan praktik Responsible Ummah di Muhammadiyah. Di MLH Muhammadiyah, ujar dia, ada bagian yang disebut dengan ALIMM (Audit Lingkungan Mandiri Muhammadiyah). Tujuannya ingin memastikan bahwa gedung-gedung perkantoran Muhammadiyah, Amal Usaha Muhammadiyah seperti perguruan tinggi, sekolah dan rumah sakit Muhammadiyah ramah terhadap lingkungan.
Mereka pun mengaudit lembaga-lembaga tersebut berdasarkan kriteria tertentu seperti apakah pencahayaan dan udaranya di siang hari menggunakan pencahayaan alami? Apakah penggunaan air di toilet dan kamar mandinya sudah sehemat mungkin?
"Nah, audit ALIMM ini tidak harus dilakukan oleh tim auditor dari MLH tapi bisa secara langsung dilakukan auditnya oleh pengelola gedung dan AUM tersebut. Makanya kita menyebutnya sebagai Audit Mandiri. MLH hanya memberikan pelatihan dan menyediakan form untuk masing-masing warga Muhammadiyah bisa melakukan audit sendiri. Itulah gambaran dari Responsible Ummah,"kata dia.