Memilih Wakaf untuk Membangun Hutan di Jantho
Hutan Wakaf Aceh berada di hamparan kebun sawit
Hiruplah dalam-dalam udara di hutan. Kekayaan oksigen di tengah puluhan jenis pepohonan menyegarkan tubuh yang sehari-hari sudah terkontaminasi karbon perkotaan. Saya mendapatkan pengalaman berharga tersebut saat menyambangi area hutan wakaf di Jantho, Aceh Besar, Aceh, pada Ahad (4/12) lalu yang berjarak 56 kilometer dari Banda Aceh. Bersama Afrizal Akmal, salah satu pendiri perkumpulan hutan wakaf, saya mengelilingi area yang sebelumnya hanyalah ilalang.
Kami menapak santai sambil mengenal beragam vegetasi hutan. Suara burung dan serangga menemani langkah kami. Semerbak bau kayu dan dedaunan yang membentuk humus menyegarkan suasana. Disana ada ragam jenis pohon besar seperti beringin dan jati, juga pepohonan buah semisal jengkol dan nangka. Tampak pula ragam pohon berkhasiat untuk mengobati beragam penyakit seperti laban, klayu hingga benalu. Baru sekira 50 meter berjalan, Akmal, sapaan akrabnya, berhenti sejenak. “Ini jalur persembunyian si belang membawa anaknya,”jelas lelaki berusia 48 tahun itu.
Akmal pun menunjukkan jejak cakar harimau di sebuah pohon yang kami lintasi. Masih tampak satu goresan tersisa. Dua lainnya, ujar Akmal, sudah hilang seiring regenerasi kulit pohon tersebut. Akmal mengungkapkan, ada seekor induk harimau yang kerap bersembunyi di hutan wakaf setelah melahirkan. Sambil membawa bayinya, dia mencari tempat yang aman dari sang jantan. Dia tak ingin pasangannya itu memakan anaknya yang masih seumur jagung.
Akmal mengaku belum pernah bertemu harimau yang disebutnya si belang. Dia tak mau mengganggu satwa buas yang sudah hampir punah itu. Akmal yakin harimau tak akan menyerang sejauh tidak merasa terganggu. Si belang pun akan kembali ke habitat aslinya di hutan lindung setelah anaknya bisa berjalan. “Saya cuma mencium baunya. Kalau sudah begitu saya balik kanan,”ujar dia.
Tak mau berlama-lama di jalur si belang, saya mengajak Akmal melanjutkan perjalanan. Jalur tanah yang menurun dan menanjak menguras tenaga. Terlebih, ada dua celah dalam yang harus kami lompati. Meski terbilang basah, kami beruntung hujan di Jantho sekadar rintik. Kami pun melanjutkan perjalanan.
Di area yang disebut sebagai puncak, kami melihat puluhan batu yang membentuk sebuah himpunan. Meski belum ada yang meneliti, Akmal menduga bebatuan tersebut merupakan tanda orang meninggal. “Mungkin saja disini ada bekas pertempuran. Pasukannya kemudian langsung dikuburkan disini,”ujar dia. Akmal juga menunjukkan sebuah kolam alami yang tidak pernah kering meski kemarau tiba. Kolam yang konon memiliki lumpur hisap itu menjadi oase bagi satwa yang hendak menuntaskan dahaga. Keberadaan oase tersebut pun, ujar Akmal, patut diteliti mengingat area hutan wakaf cukup tinggi, yakni berkisar 1.872 mdpl.
Akmal menyaksikan lahan yang ia rawat mulai beranjak menjadi hutan. Jika dahulu hanya ada ilalang sebagai tempat makan sapi dan kerbau, lahan seluas hampir lima hektare itu sudah ditumbuhi pohon-pohon tinggi menjulang. Mereka membentuk sebuah sistem penyerap karbon dan memproduksi oksigen. Tidak heran jika udara di hutan begitu sejuk. Menurut Akmal, kebanyakan vetasi di hutan wakaf masuk dalam kategori pohon pionir. Tanaman pertama yang mampu bertahan di lahan kritis.
Mereka tumbuh dari akar dan biji di tanah yang tersisa. Di hutan wakaf, benih mereka terbawa angin atau satwa yang berkunjung dari komunitas tetangga. Akmal menjelaskan, banyak dari satwa tersebut yang sudah menjadi penghuni hutan wakaf seperti serangga, burung ruak-ruak, musang dan kelelawar. Secara tidak langsung, mereka membantu proses pembenihan tanaman di hutan baik lewat penyerbukan atau pembenihan lewat kotoran. “Bisa dikatakan tumbuhan dari satwa itu 80 persen bisa bertahan dan tumbuh sebagai pohon pionir,”jelas Akmal.
Tanaman ini yang merintis pemulihan kembali hutan sehingga menjadi tempat organisme lain datang. Karena itu, Akmal enggan membabat semak belukar yang kerap tumbuh diantara pepohonan kecuali untuk keperluan membuka jalan. Bagi Akmal, hutan bukan sekadar deretan pepohonan yang tersusun rapi. Serasah dan rerumputan yang menjadi lantai hutan berperan penting karena menjadi sumber humus, lapisan teratas tanah yang subur. Disanalah serangga dan berbagai organisme lain hidup sambil mencari makan di dalamnya.
Sambil mendengarkan kisah suksesi pepohonan di hutan wakaf, kami beristirahat sejenak setelah lebih dari setengah jam berjalan. Di ufuk, terbentang hutan dan sungai menjelma bak lukisan yang memanjakan mata. Terlihat juga perkebunan sawit yang berjejer diantara sungai.
Memilih wakaf
Perkebunan kelapa sawit di Aceh terbilang luas. Catatan Walhi Aceh menunjukkan jika ada sekitar 540 ribu hektare perkebunan sawit yang tersebar di beberapa kabupaten. Direktur Walhi Aceh Ahmad Shalihin menjelaskan, 52 persen merupakan perkebunan rakyat sedangkan 48 persennya dikuasai korporasi.
Shalihin mengungkapkan, besarnya industri kelapa sawit secara tidak langsung mengundang bencana banjir dan tanah longsor. Daerah seperti Aceh Tamiang, Aceh Utara dan Aceh Barat yang memiliki lahan kelapa sawit terluas di Aceh kerap menjadi langganan banjir. “Sawit di Aceh Besar belum seluas di kabupaten lain,”ujar dia.
Tidak hanya itu, area sawit juga menurunkan kualitas air. Terlebih, pada saat pembukaan lahan dan pemupukan. Menurut Shalihin, sungai juga mengalami sedimentasi karena banyak pohon sawit yang jatuh ke dalam area sungai. Selain sawit, Shalihin mengungkapkan, pembukaan akses jalan Jantho-Lamno membuat perambahan hutan di daerah Jantho terus terjadi. Hal tersebut, ujar dia, juga akan mengganggu aliran sungai di hulu. “Sudah sebulan berjalan,”jelas dia.
Orang Aceh menyebut sungai sebagai Krueng. Di Jantho, Daerah Aliran Sungai (DAS) tersebut menjadi salah satu sumber air andalan warga bahkan sampai ke Banda Aceh. Hanya saja, banyak tanah adat yang kemudian dibeli untuk dijadikan perkebunan sawit, termasuk di Aceh Besar. Meski masih kalah luas dengan kabupaten lain, kebun sawit di kabupaten tersebut memiliki luas hingga 1.667 hektar termasuk untuk wilayah Jantho dan sekitarnya, berdasarkan Buku Statistik Perkebunan 2019-2021 terbitan Kementerian Pertanian.
Perluasan perkebunan sawit pun dinilai Akmal berbahaya bagi kualitas air sungai dan tanah.“Berbahaya kalau enggak ada campaign untuk pelestarian di hulu,”jelas dia. Bersama tiga temannya, Akmal secara bertahap membebaskan lahan di sekitar perkebunan sawit. Mereka memilih skema wakaf agar lahan yang dibebaskan tidak mudah beralih status. Jika sudah diwakafkan, lahan tersebut akan tetap menjadi hutan sampai kapanpun. “Di area ini, mungkin baru hutan wakaf ini yang sudah jelas statusnya,”jelas dia.
Empat sekawan itu membuka satu rekening bersama sebagai tabungan untuk membebaskan lahan. Pada 2017, tabungan mereka mencapai Rp 15 juta. Mereka pun membebaskan satu hektare pertama yang sekarang menjadi pintu masuk area hutan wakaf 1. Kisah tentang gerakan hutan wakaf disampaikan di warung kopi dan media sosial. Mereka juga mengundang mahasiswa setempat untuk rafting di sungai “Dari situlah orang mulai tanya rekening. Kami buka donasi lalu kami bebaskan lagi,”jelas Akmal.
Hingga kini, area hutan wakaf sudah memiliki dua lokasi. Pertama, tempat dimana hutan wakaf 1 berdiri, seluas 3,8 hektare sedangkan area berikutnya memiliki luas 9000 m2 yang berlokasi di sekitar sungai. Akmal juga mencatat ada sekitar 400 wakif — orang yang memberi wakaf — dari 2014 hingga kini. Mereka berdonasi dari Rp 50 ribu hingga jutaan rupiah demi pembebasan lahan kritis di sekitar Jantho. Akmal pun mengukir nama-nama mereka di prasasti yang dipasang di pintu masuk Hutan Wakaf 1. “Semoga hutan wakaf ini bisa diduplikasi dimanapun sesuai dengan kondisi masyarakatnya,”ujar Akmal.