Tak Ada 'Iklim' dalam Delapan Asnaf, Bolehkah Mendapat Dana Zakat?
Salah satu sumber daya yang bisa dioptimalkan untuk pembiayaan iklim yakni dana sosial keagamaan dari masyarakat, yakni zakat
Pertemuan Puncak Iklim Internasional atau Conference of Parties (COP) ke-28 yang berlangsung di Dubai, Uni Emirat Arab, baru saja berakhir. Konferensi yang mempertemukan para pemimpin dunia tersebut berupaya untuk mencegah dampak perubahan iklim yang kian terasa di berbagai negara dari pendidihan global hingga bencana hidrometeorologi.
Salah satu isu yang mengemuka dalam COP-28 adalah rendahnya komitmen bantuan negara-negara maju untuk pembiayaan iklim negara-negara berkembang. Macetnya pencairan dana tersebut akan menyulitkan negara-negara berkembang memenuhi komitmen iklim mereka dan berpotensi memperburuk masalah perubahan iklim dan pemanasan global.
Absennya kontribusi negara maju tersebut jangan sampai menjadi dalih bagi bangsa kita untuk abai terhadap program perubahan iklim. Jika telat bertindak, maka bencana akan menanti kita. Indonesia yang menyandang predikat sebagai bangsa terdermawan di dunia, memiliki kapasitas filantropi yang mumpuni. Sumber daya tersebut terinspirasi dari nilai-nilai Islam yang dianut oleh mayoritas penduduk negeri ini.
Salah satu sumber daya yang bisa dioptimalkan untuk pembiayaan iklim yakni dana sosial keagamaan dari masyarakat, yakni zakat. Zakat merupakan amalan ibadah penyuci harta yang wajib dilakukan setiap Muslim. Di dalam Alquran, perintah zakat kerap disandingkan dengan perintah shalat. Besarnya realisasi zakat membuat ibadah ini menjadi penyokong dana sosial hingga penggerak ekonomi umat. Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) mencatat, pada 2022, dana zakat, infak, sedekah dan dana sosial keagamaan lainnya mencapai Rp 22,43 triliun. Dari total pengumpulan tersebut, zakat harta berkontribusi sebesar Rp 3,78 triliun.
Bila dibandingkan dengan potensinya, realisasi zakat sungguh belum seberapa. Kementerian Agama mencatat, jika semua Muslim yang sudah mencapai nishab (standar membayar zakat) memenuhi kewajibannya, maka zakat yang terkumpul akan mencapai Rp 327 triliun. Nilai tersebut hampir hampir menyamai anggaran pemerintah untuk perlindungan sosial 2022 yang mencapai Rp 431,5 triliun.
Ada delapan golongan atau asnaf yang menerima zakat. Fakir, miskin, amil (pengelola zakat), mualaf (orang yang baru masuk Islam), riqab (hamba sahaya), gharim (terjerat utang), fi sabilillah (mereka yang berjuang di jalan Allah), hingga ibnu sabil (orang yang dalam perjalanan dengan tujuan ketaatan kemudian kehabisan biaya).
Terbatasnya golongan penerima zakat membuat banyak lembaga amil zakat yang menyalurkan bantuan untuk program jangka pendek. Program kemanusiaan, kesehatan, tanggap bencana dan pemberdayaan ekonomi mendominasi bidang penyaluran zakat. Meski program tersebut penting dilaksanakan, pemanfaatan dana zakat untuk pembiayaan iklim akan menjadi solusi jangka panjang.
Sekretaris Jenderal Liga Muslim Dunia-Muslim World League (MWL), Muhammad bin Abdul Karim Issa pernah mengungkapkan pendapatnya terkait dana zkat untuk mengatasi perubahan iklim. Hal ini dia sampaikan dalam kolom opini di laman The Star. “Gagasan inti untuk semua Muslim adalah zakat, pajak amal wajib di mana 2,5 persen dari kekayaan tahunan seseorang diberikan kepada yang kurang beruntung," kata Muhammad, dilansir dari The Star pada Senin (15/11).
"Zakat menghasilkan sekitar satu triliun dolar per tahun cukup untuk membantu PBB memenuhi 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Atau lebih dari lima puluh kali lipat dari 19 miliar dolar COP26 (Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa 2021), yang berkomitmen untuk mengatasi deforestasi," tulis dia.
Menurut Issa, sebagian besar dana zakat digunakan untuk mengentaskan kemiskinan dengan cara yang sangat langsung dalam bentuk bantuan kemanusiaan jangka pendek. Dia mengatakan, hal tersebut tentu saja penting. Akan tetapi tidak bisa menjadi jawaban terhadap tantangan jangka panjang.
"Zakat harus memenuhi tujuannya yang lebih luas untuk mengatasi ketidaksetaraan, kriteria inti dari distribusi zakat. Dan perubahan iklim tidak diragukan lagi akan menjadi pendorong ketidaksetaraan terbesar di dunia di tahun-tahun mendatang," kata Isa.
Dia melanjutkan, Timur Tengah sudah memanas dengan kecepatan dua kali lipat dari bagian dunia lainnya, dengan sebagian besar berisiko menjadi tidak dapat dihuni. Keadaan ekstrem seperti itu mengharuskan zakat diterapkan secara holistik seperti yang semula dimaksudkan, dengan mencegah krisis daripada hanya merawat para penyintas bencana."Ada preseden agama untuk melakukannya. Bagaimanapun, mengatasi ketidaksetaraan kesempatan dan memberantas pendorong kemiskinan di masa depan adalah alasan mengapa zakat digunakan untuk program pendidikan," kata dia.
Wakil Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Abdul Muiz Ali, mengatakan, perubahan iklim yang ekstrem harus dicegah bahkan dihilangkan karena masuk dalam bahaya atau sesuatu yang dapat menimbulkan bahaya. Hal tersebut masuk dalam kaidah fikih yang menyebutkan addararu yuzaalu yang artınya: ‘Bahaya itu harus dihilangkan’. Untuk itu, dia berpendapat jika pemerintah dan masyarakat harus terlibat aktif untuk mewujudkan iklim yang baik.
Menurut Kiai Muiz, pada dasarnya harta zakat harus didistribusikan kepada delapan golongan sebagaimana dijelaskan dalam Alquran surat At Taubah ayat 60:
Artinya: Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Meski begitu, Kiai Ali mengatakan para ulama memperbolehkan harta zakat didistribusikan untuk kemaslahatan dan kesehatan yang mengancam masyarakat seperti untuk program penanganan perubahan iklim yang dampaknya dapat membahayakan masyarakat bila tidak segera diatasi.
“Sebagian ulama memperbolehkan mendistribusikan harta zakat untuk kemaslahatan yang kembali pada masyarakat. Termasuk kemaslahatan dimaksud adalah untuk kepentingan keselamatan dan kesehatan yang mengancam masyarakat. Bolehnya mentasarufkan harta zakat untuk kemaslahatan umat merujuk pada cakupan makna Sabilillah dalam Alquran surat At Taubah ayat 60,” kata dia.
Menurut Kiai Muiz, mayoritas ulama memaknai arti sabillah pada ayat 60 surat At Taubah tersebut sebagai sukarelawan perang. Namun sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa kata sabilillah pada makna ayat tersebut dapat diartikan jami'u wujuhil khoir (setiap kebaikan) yang kembali untuk kemaslahatan umat atau masyarakat. Hal tersebut sebagaimana dikutip oleh Imam Abu Bakar Muhammad bin Ali Al-Qaffal Al-Kabir As-Syasyi (291-365 H/904-976 M) mengatakan sabilillah mencakup seluruh sektor sosial.
Pendapat yang menyatakan sabilillah mencakup seluruh sektor sosial juga diakomodir dalam Keputusan Munas Alim Ulama NU di Yogyakarta pada 30 Agustus 1981 untuk membolehkan pemberian zakat pada masjid, madrasah, panti-panti asuhan, yayasan sosial/keagamaan, dan semisalnya.