Inisiatif Hutan Wakaf Sampai ke Telinga Dunia

Hutan wakaf dianggap menjadi salah satu solusi untuk menghadang laju deforestasi di Indonesia.

May 10, 2024 - 20:00
May 10, 2024 - 20:03
Inisiatif Hutan Wakaf Sampai ke Telinga Dunia

Meski pengembangan hutan wakaf di Indonesia masih terbatas, ide besar tersebut telah sampai ke dunia. Ketua Yayasan Hutan Wakaf Bogor Muhammad Khalifah Ali mengatakan, gagasan hutan wakaf telah sampai di Conferences of the Parties (COP) merupakan konferensi tingkat tinggi (KTT) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang membahas berbagai isu perubahan iklim.

Menurut Khalifah, Dr. Fachruddin M. Mangunjaya, Ketua Pusat Studi Islam Universitas Nasional dan Anggota Dewan Penasehat Faith for Our Planet (FFOP), menyoroti peran penting hutan wakaf dalam Konferensi Perubahan Iklim COP 28 yang diadakan di Dubai pada bulan Desember 2023.

Tak hanya itu, ide hutan wakaf telah diterbitkan sebuah surat kabar terkemuka asal Australia, The Interperter, berjudul Waqf-based forests: Harnessing Islamic philanthropy for climate financing in Indonesia pada April 2024. Salah satu hutan wakaf yang berada di Bogor bahkan menjadi objek penelitian seorang mahasiswa program doktoral dari Kyoto University, Jepang. Hasil penelitian telah dipresentasikan dalam bahasa Jepang di The 65th AJI Frontier Seminar dengan judul “The Islamic Way of Forest Utilization: A Study on Waqf Forestry in Indonesia”.

Hutan wakaf dianggap menjadi salah satu solusi untuk menghadang laju deforestasi di Indonesia. Data dari World Population Review menyebutkan bahwa di tahun 2024, Indonesia menjadi negara kedua terparah dalam deforestasi. Padahal, Indonesia adalah negara pemilik hutan hujan terbesar ketiga di dunia, setelah Brasil dan Kongo.

Hutan wakaf secara sederhana didefinisikan sebagai hutan yang dikembangkan di atas tanah wakaf. Konsep ini menjadikan hutan wakaf lebih terjamin kelestariannya karena dilindungi oleh hukum agama dan hukum negara. Dalam hukum agama Islam, aset wakaf adalah aset abadi yang tidak boleh dijual, diwariskan, maupun dihibahkan. Selain itu, setelah ditentukan fungsinya oleh wakif (orang yang berwakaf), aset wakaf tidak boleh diubah peruntukannya. 

Hal ini diperkuat juga dengan hukum negara melalui UU No 41 tahun 2004 tentang wakaf yang memberikan sanksi bagi pihak yang menjual, mengubah, mewariskan, atau menghibahkan aset wakaf. Inisiatif pengembangan hutan wakaf telah dimulai di beberapa daerah di Indonesia, seperti di Aceh, Bogor, Mojokerto, dan Sukabumi. 

Menurut Khalifah, meski telah mendapat sambutan hangat di level nasional dan global, secara keseluruhan, luasan hutan wakaf di Indonesia masih sangat terbatas, baru sekitar 9,6 hektar. Oleh sebab itu, hutan wakaf perlu diperluas untuk memberikan manfaat ekologi, ekonomi, dan sosial yang lebih besar di masa depan. Untuk mendukung perkembangan hutan wakaf, penulis mencoba menginisiasi gerakan hutan wakaf nasional. Gerakan ini bertujuan untuk mempercepat perluasan hutan wakaf di berbagai daerah di seluruh Indonesia.

Salah satu strategi yang dapat diupayakan adalah dengan memperkuat kolaborasi di antara para pihak yang dapat terlibat. Salah satu bentuk kolaborasi yang cukup populer adalah model Pentahelix, yaitu kolaborasi 5 pilar ABCGM (Academia, Business, Community, Government, Media). Kolaborasi pentahelix menjadi kunci dalam pengembangan gerakan hutan wakaf nasional. Setiap pilar memiliki peran khusus dalam memperkuat dan memperluas upaya-upaya pembangunan hutan wakaf. Sebagai ilustrasi, Hutan Wakaf Bogor (HWB) Foundation, salah satu yayasan pengembang hutan wakaf, telah berupaya untuk membangun jaringan kolaborasi dengan universitas, perusahaan, komunitas lokal, pemerintah, dan media.

Kolaborasi ini pun dinilai harus menghadapi tantangan seputar permasalahan wakaf terlebih dahulu. Menurut Khalifah, studi yang dilakukan oleh Badan Wakaf Indonesia (BWI) dan Kemenag RI pada tahun 2020 menunjukkan bahwa skor indeks literasi wakaf hanya mencapai angka 50,48, yang menempatkannya dalam kategori rendah 13. Ini menandakan bahwa pemahaman publik terhadap konsep wakaf masih perlu ditingkatkan secara signifikan. Sebagian besar masyarakat masih mempersepsikan wakaf sebagai praktik yang terbatas pada pembangunan masjid, madrasah, dan pemeliharaan makam (3M).

Peningkatan literasi wakaf diharapkan dapat mengubah paradigma ini dan mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam mendukung gerakan hutan wakaf secara nasional. Menurut Khalifah, Majelis Ulama Indonesia (MUI) perlu mengeluarkan fatwa tentang hutan wakaf untuk menegaskan kebolehan dan keutamaan hutan wakaf dari perspektif syariat Islam. Fatwa tersebut akan memberikan landasan hukum yang kuat dan jelas bagi masyarakat Muslim yang ingin terlibat dalam pengembangan hutan wakaf. 

Tantangan berikutnya, ujar Khalifah, berasal dari sisi pemerintah, khususnya dalam hal legalisasi tanah untuk hutan wakaf. Meskipun mengurus Akta Ikrar Wakaf (AIW) di Kantor Urusan Agama kecamatan setempat yang merupakan representasi dari Kemenag RI relatif tidak sulit, pengalaman penulis sebagai pegiat hutan wakaf menunjukkan bahwa proses pengurusan sertifikasi wakaf di Badan Pertanahan Nasional (BPN) dapat menjadi proses yang sangat panjang dan melelahkan. Hal ini disebabkan oleh minimnya dokumen resmi pertanahan untuk tanah-tanah di pelosok desa.