Fikih Transisi Energi Berkeadilan: Kontribusi Umat dalam 'Hijrah Energi'

Alquran sangat komprehensif menjelaskan tentang energi.

Nov 21, 2025 - 07:26
Nov 21, 2025 - 07:27
Fikih Transisi Energi Berkeadilan: Kontribusi Umat dalam 'Hijrah Energi'

MOSAIC-INDONESIA.COM, JAKARTA — Muslim for Shared Actions on Climate Impact (MOSAIC) menggelar Webinar bertajuk ‘Aktualisasi Fikih Transisi Energi Berkeadilan Melalui Sedekah Energi Serta Refleksi Kebijakan Pendukungnya’ pada Rabu-Kamis (19-20/11/2025). Ajang yang digelar sebagai sarana literasi fikih energi ini juga membedah buku Fikih Transisi Energi Berkeadilan dengan menghadirkan dua anggota Majelis Tarjih Muhammadiyah Ustadz Niki Alma Febriana Fauzi dan Ustadz Qaem Aulassyahied yang merupakan tim penulis.

Dalam sambutannya, Ketua MOSAIC Nur Hasan Murtiaji mengatakan, buku yang digagas oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah dan didukung oleh MOSAIC, Purpose, dan Greenfaith ini terbilang komprehensif dalam menjelaskan tema terkait fikih transisi energi. Tak hanya bicara dari sisi fikih, buku ini juga mengupas bagaimana Islam memandang tentang keberlanjutan alam dan lingkungan.

Salah satu hal yang dikupas di buku ini adalah perspektif Islam tentang sumber energi. Menurut Hasan, ada tujuh sumber energi yang disebutkan dalam Alquran dan Hadis. Tujuh sumber energi itu adalah air sebagai sumber kehidupan (QS al-An'am: 99), laut untuk transportasi dan kehidupan (QS al-Jatsiyah: 12), bumi dan seisinya sebagai sumber daya mineral (QS al-Baqarah: 29), matahari sebagai sumber energi potensial (QS Yunus: 5), angin sebagai energi dan pembawa kabar gembira (QS ar-Rum: 46), tanaman seperti zaitun untuk biofuel, dan api sebagai sumber panas dan energi (QS al-Waqi'ah: 71).

Hasan mengatakan, “Begitu komprehensifnya Alquran menjelaskan tentang sumber energi ini. “Dan yang menarik adalah bahwa ada banyak alternatif energi yang disebutkan dalam Alquran, selain energi fosil itu sendiri,"ujar dia, Rabu (19/11/2025).

Sementara itu, Ustadz Niki Alma mengungkapkan, buku ini mengambil terma fikih karena merupakan istilah yang melekat di masyarakat, membumi dan cenderung tidak ‘garang’. Dia menjelaskan, Fikih ala Muhammadiyah merupakan suat konsep pemahaman bahwa hukum islam itu dibangun oleh tiga norma berjenjang.

Pertama, yakni nilai-nilai dasar (Al-Qiyam al-Asasiyyah); Kedua, prinsip-prinsip umum (Al-Ushul al Kulliyah); Terakhir, peraturan konkret seperti panduan dan pedoman (Al-ahkam al-far’iyyah). Dalam konteks Fikih Transisi Energi Terbarukan,  Ustadz Niki Alma menjelaskan, salah satu yang menjadi nilai dasar yakni konsep tauhid ekologis. Artinya, suatu keyakinan sebagaimana diciptakannya manusia, bumi tidak tercipta begitu saja secara alami. Dia menjelaskan, semesta ini diciptakan oleh Allah SWT.

“Sebagai perwakilan civil society, Muhammadiyah punya tanggungjawab merespons beragam problematikan kontemporer seperti fikih air, kebencanaan risalah islam berkemajuan.. Dalam konteks ini fikih transisi energi berkeadilan bentuk ijtihad dari apa yang disusun sebelumnya, keberlanjutan untuk merespons sebelumnya karena kita punya tanggung jawab dari kita sisi keagamaan,”kata dia.

Pada tataran praktis, diharapkan ada penerapan fikih transisi energi dari dari tingkatan global, negara, kemasyarakatan, swasta hingga tapak. Untuk tingkat global, negara maju dinilai harus mengedepankan keadilan dengan memulai transisi energi terbarukan terlebih dahulu tanpa membebani negara dunia ketiga. Pada tataran negara, pelibatan masyarakat lokal dan menghargai nilai-nilai dan norma masyarakat khususnya saat berhubungan dengan adat mesti dikedepankan. 

Untuk level ormas, maka harus ada upaya dukungan bagi solusi energi terbarukan termasuk pembiayaan lewat zakat, infak, sedekah dan wakaf (Ziswaf) sebagai model crowdfunding. Bagi swasta, dapat mengintegrasikan transisi energi dalam roadmap atau strategi environmental, social, governance (ESG). Sementara itu, tingkat tapak yakni mengembangkan solusi energi lokal sesuai kebutuhan dan sumber daya yang tersedia.

Sementara itu, Ustadz Qaem menjelaskan, fikih yang disusun dalam buku tersebut mengalami proses kreatifitas tanpa meninggalkan Alquran dan Sunah. Sebagai contoh, dia menjelaskan, konservasi dalam buku tersebut dijelaskan dalam dua makna. Pertama, upaya melakukan efisiensi energi. Kedua, upaya melakukan pecarian sumber energi alternatif. 

Lebih jauh, Ustadz Qaem  Aulassyahied menukil sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim berbunyi: “Jangan nyalakan api saat kalian tertidur.” 

Ustadz Qaem Aulassyahid menjelaskan, “Dalam tataran fikih klasik, hadis ini menjadi arahan ataun petunjuk kalau api penerangan itu mohon dimatikan saat kita tidur. Dalam rangka Hifzun Nafs. Jangan sampai api yang dibiarkan mengancam nyawa.  Sementara di sisi lain, ada semangat nabi mengajarkan kita untuk lebih hemat energi. Kalau api itu sedang tak diperlukan perlu dimatikan sementara.” 

Menurut dia, hadis tersebut juga menggambarkan Allah tak hanya menciptakan energi yang biasa kita capai lalu habis. “Kita perlu sumber energi alternatif menjaga keseimbangan menjadi nilai dasar penciptaan alam semesta,”kata dia.