Energi Terbarukan Diprediksi Tumbuh Lebih Cepat Ketimbang Fosil dalam 10 Tahun ke Depan
IEA memprediksi nilai investasi global akan mencapai 580 miliar dolar AS.
MOSAIC-INDONESIA.COM, JAKARTA — Energi terbarukan diprediksi akan tumbuh lebih cepat dibanding sumber energi utama mana pun dalam sepuluh tahun ke depan. Laporan dari Badan Energi Internasional (IEA) mengungkapkan, transisi energi dari bahan fosil sudah tak bisa dihindari di tengah reaksi keras dari Amerika Serikat dan sebagian Eropa terhadap isu lingkungan.
IEA juga memprediksi, lebih banyak proyek energi terbarukan akan dibangun dalam lima tahun ke depan daripada yang telah diluncurkan selama 40 tahun terakhir, dilansir dari The Guardian, Rabu (12/11/2025).
Laporan tersebut menunjukkan, peningkatan energi terbarukan akan memenuhi hampir semua kebutuhan listrik dunia yang terus meningkat sebesar 40% dalam dekade berikutnya. Peningkatan itu didorong oleh meningkatnya permintaan untuk mobil listrik, pemanas, pendingin, dan untuk memberi daya pada pusat data AI.
Tak hanya itu, IEA mengungkap adanya pertumbuhan untuk tenaga nuklir, yang ditopang oleh perusahaan teknologi besar. Mereka tengah mencari pasokan listrik rendah karbon stabil sebagai energi pada pusat data.
IEA telah memperkirakan, nilai investasi global untuk energi terbarukan akan mencapai 580 miliar dolar AS pada 2025, melampaui 540 miliar dolar AS yang dibelanjakan untuk pasokan minyak global. Peningkatan listrik rendah karbon diharapkan akan 'mengunci' transisi dari era bahan bakar fosil meski ada seruan dari pemerintahan Donald Trump untuk mundur dari investasi hijau demi pengeboran minyak dan gas.
David Tong, juru kampanye di Oil Change International, mengatakan laporan IEA telah mengonfirmasi tak ada satu negara pun yang dapat menghentikan transisi energi. Ia meminta para pemimpin dunia yang sedang berkumpul di Belém, Brasil untuk perundingan iklim COP30 PBB bisa menolak masa depan distopia Donald Trump demi penghapusan bahan bakar fosil yang cepat, adil, dan didanai.
Temuan IEA diharapkan dapat membuat para pemimpin yang berencana untuk menggunakan konferensi COP30 mampu mendorong kemajuan dalam mencapai target global untuk melipatgandakan energi terbarukan pada 2030 sehingga bisa beralih dari bahan bakar fosil, yang disepakati pada COP28 di Dubai. Badan yang bermarkas di Paris tersebut dilaporkan mendapat tekanan dari Partai Republik AS untuk menggunakan laporannya guna menyajikan masa depan lebih positif bagi industri bahan bakar fosil dibandingkan perkiraan sebelumnya.
IEA kembali memperkenalkan skenario dari laporan sebelumnya yang menawarkan perspektif 'lebih hati-hati' tentang kecepatan transisi energi. Dave Jones, kepala analis Ember, sebuah lembaga riset, mengatakan asumsi skenario ini tampaknya meremehkan peluncuran kendaraan listrik (EV), yang menyebabkan perkiraan konsumsi minyak lebih tinggi dibandingkan skenario utama IEA. Namun, ekspansi energi terbarukan yang pesat "tak terelakkan", tambahnya.
"Energi terbarukan dan elektrifikasi akan mendominasi masa depan – dan semua negara pengimpor bahan bakar fosil akan mendapatkan keuntungan terbesar dengan mengadopsinya," ujar dia.
IEA menemukan, dalam semua skenario yang dimodelkannya, energi terbarukan akan tumbuh lebih cepat daripada sumber energi utama lainnya. Hal tersebut didorong oleh lonjakan tenaga surya murah di berbagai wilayah, termasuk Timur Tengah dan Asia, yang memiliki sinar matahari berlimpah.
Keputusan Trump untuk menarik dukungan bagi sektor energi terbarukan dinilai membuat AS akan memiliki sekitar 30% lebih sedikit energi surya pada tahun 2035 dibandingkan perkiraan dalam laporan tahun lalu, berdasarkan prediksi IEA. Meski demikian, energi terbarukan dinilai terus akan "berkembang pesat", demikian menurut laporan tersebut.
Lihat postingan ini di Instagram
EBT di Indonesia
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memprediksi target energi baru terbarukan (EBT) dalam bauran energi primer nasional pada 2025 tidak akan tercapai. Hingga Oktober 2025 bauran EBT dalam energi nasional baru mencapai 14,4% atau sebesar 15,47 gigawatt (GW), padahal dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2025—2034 pada tahun ini ditargetkan sebesar 15,9%, seperti dikutip dari Bloomberg Technoz.
Plt. Direktur Jenderal (Dirjen) Kementerian ESDM Ketenagalistrikan Tri Winarno menilai cukup sulit bagi kementeriannya untuk mengejar target bauran EBT tersebut pada pengujung tahun ini.“Kalau 2025 kayaknya masih 2% [tersisa], kayaknya belum ya,” kata Tri menegaskan target bauran EBT pada tahun ini diprediksi tak tercapai, di Gedung Parlemen, Jumat (14/11/2025).
Tri menjelaskan kapasitas terpasang pembangkit tenaga listrik Indonesia mencapai 107 GWw per Oktober 2025, dari besaran itu porsi pembangkit EBT tercatat sebesar 14,4% atau sebesar 15,47 GW. Dari total porsi pembangkit EBT sebesar 14,4%, terbagi kembali menjadi sejumlah jenis pembangkit. Pembangkit listrik tenaga air (PLTA) mendominasi pembangkit EBT dengan porsi 7,1% atau setara 7,57 GW.
Selanjutnya, pembangkit listrik tenaga biomassa tercatat memiliki porsi 3% atau setara 3,17 GW. Lalu, pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) memiliki porsi sebesar 2,6% atau sebesar 2,74 GW.
Kemudian, pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) menyumbang sekitar 1,3% dari total pembangkit dengan kapasitas terpasang sebesar 1,37 GW. Selanjutnya, pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) tercatat sekitar 0,1% atau baru sebesar 0,15 GW.
Tri juga menyampaikan bahwa pembangkit listrik tenaga gas batu bara (PLTGB) masuk ke dalam pembangkit EBT, dengan porsi sebesar 0,4% atau memiliki kapasitas terpasang sebesar 0,45 GW.
Tri mengatakan, sistem tenaga listrik nasional tidak bisa serta merta meninggalkan PLTU yang mampu menjaga keandalan energi dengan signifikan.