Pesantren Hijau: Upaya Menjaga Bumi Ala Santri

Tujuh pesantren yang sudah ditetapkan sebagai Pesantren Hijau pada 2023 akan meneruskan program aksi iklim pada tahun ini

Feb 25, 2024 - 17:01
Pesantren Hijau: Upaya Menjaga Bumi Ala Santri
Alhamidiyah.sch.id

Aksi iklim tak bisa terlepas dari balik tembok pesantren. Berbekal pengetahuan dan kesadaran keagamaan jika manusia diciptakan sebagai khalifatullah fil ardh, wakil Tuhan dalam  memelihara bumi dan seisinya, santri dituntut untuk untuk bertanggungjawab atas pelestarian lingkungan. Tidak heran jika sepanjang sejarahnya, pesantren hadir sebagai upaya untuk menciptakan lingkungan yang lebih baik. Tidak hanya pada bidang pendidikan, pesantren tampil sebagai tempat masyarakat berkeluh kesah dalam hal sosial, budaya bahkan dalam persoalan politik dan keamanan sekalipun. Apalagi, jumlah pesantren menurut data Kementerian Agama pada 2018 mencapai 28.194 pesantren.

Buku Fiqh Lingkungan memuat laporan EMIS (Education Management Information System) yang mengungkapkan bahwa 78% atau 8.829 pesantren berada di daerah pedesaan (Forest and Media Campaign 2004). Selebihnya, jika ditinjau berdasarkan lokasinya, 2.429 pesantren berlokasi di daerah pertanian dan 1.546 di daerah pegunungan. Sekitar 50% pesantren berada di lokasi daerah permukiman. Terlepas dari secara geografis mayoritas pesantren berada di tengah masyarakat yang rawan menjadi korban kerusakan lingkungan, fakta tersebut juga merupakan potensi besar sebagai agen konservasi dan pusat gerakan ekologis. 

Karena itu, tiga lembaga di Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yakni Lembaga Zakat, Infak dan Sedekah NU (Lazisnu), Rabithah Ma’had Islamiyah (RMI) NU, hingga Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim (LPPBI) NU menginisiasi Pesantren Hijau. Pengurus LPBI NU Muhammad Ali Yusuf menjelaskan,  tujuh pesantren yang sudah ditetapkan sebagai Pesantren Hijau pada 2023 akan meneruskan program aksi iklim pada tahun ini. Pesantren-pesantren tersebut tersebar di Jakarta hingga Jawa Timur,  yakni Pesantren Mahasina Bekasi Jawa Barat, Pesantren Al Kenaniyah Jakarta, Pesantren Al Hamid Cilangkap Jakarta Timur, pesantren Al Hamidiyah Depok Jawa Barat, Pesantren Al Mubarok, Mranggen, Demak, Jawa Tengah, Pesantren Zainul Hasan, Genggong, Jawa Timur dan Pesantren Malnu Menes Pandeglang Banten.

Menurut Ali, pesantren-pesantren tersebut melengkapi sepuluh pesantren lainnya yang sebelumnya sudah mengikuti Pesantren Hijau. Mereka akan melanjutkan program Pesantren Hijau dengan mandiri.  “Pesantren hijau LPBI NU itu menetapkan indikator “hijau” atau secara umum dikenal dengan pesantren “peduli lingkungan” seperti pengelolaan sampah dan limbah, konservasi air, konservasi energi plus energi terbarukan, penyediaan ruang terbuka hijau,”ujar Ali yang juga merupakan Streeng Comitee MOSAIC, belum lama ini.

Pesantren Hijau memiliki standar program untuk melaksanakan aktivitasnya. Mereka akan melakukan kajian lingkungan plus sosialisasi isu lingkungan kepada stakeholder pesantren, perumusan rencana aksi berbasis hasil kajian, penguatan kelembagaan, peningkatan kapasitas, pemberian dukungan untuk implementasi rencana aksi prioritas, pendampingan teknis serta monitoring dan evaluasi.

Pesantren manapun berhak mengklaim dirinya sebagai pesantren hijau jika memiliki wawasan lingkungan dan melakukan upaya kelestarian lingkungan seperti yang tertuang dalam takrif Pesantren Hijau. Namun demikian, LPBI NU sebagai inisiator mengajak segenap pesantren yang bernaung di bawah bendera NU untuk melakukan aktivitas ini bersama-sama. 

Dengan demikian, upaya melestarikan lingkungan melalui pesantren ini berjalan lebih terukur. Menurut Ali, LPBI-NU akan melakukan pencatatan dan pendampingan bagi-pesantren- pesantren yang memiliki komitmen serius untuk bekerjasama mengembangkan pesantren hijau bersama LPBI-NU.  Pesantren-pesantren mitra LPBI selanjutnya, setelah melalui system assessment, akan diberikan label “Pesantren Hijau”. Melalui pelabelan ini. para pihak yang memiliki komitmen serupa dapat lebih mudah untuk melakukan kerja sama dan memberikan dukungan dalam bentuk apapun.

Ali mengakui pesantren yang terlibat baru sebatas pesantren-pesantren besar. Jika mereka sudah  menjalankan program Pesantren Hijau, Ali berharap, pesantren-pesantren lain akan termotivasi untuk mencontoh program tersebut. Menurut dia, setidaknya ada lebih dari 23 ribu pesantren NU sehingga butuh sumber daya besar dan waktu yang lama untuk ‘menghijaukan’ mereka.

Untuk membuat program Pesantren Hijau, setidaknya ada tiga komponen yang harus dipenuhi. Tiga komponen tersebut yakni:

Tata kelola sampah

Sampah adalah benda apapun yang telah dibuang oleh pemiliknya. Sampah bisa berupa apa saja baik perabotan rumah tangga, sisa bahan-bahan produksi atau bahkan makanan atau minuman. Banyak sampah dari santri yang ditemukan di pesantren seperti pakaian santri, alat baca tulis, bekas bungkus makanan atau bungkus kebutuhan pribadi seperti sabun dan deterjen. 

Mengelola sampah adalah hal yang sangat penting, tidak hanya untuk kepentingan keindahan ruang melainkan juga untuk menghindarkan pesantren dari berbagai mudharat yang mungkin akan muncul akibat sampah. Contoh yang paling dekat dengan kehidupan pesantren adalah plastik bekas deterjen.

Sampah yang dikelola secara baik dan benar akan mendatangkan keuntungan bagi pesantren, keuntungan terhindar dari bahaya sampah atau bahkan keuntungan finansial. Lain halnya jika sampah dibiarkan tanpa tata kelola yang baik, maka Ia akan mendatangkan keburukan atau mudharat.

Tata kelola air

Pengelolaan air merupakan bagian penting dalam rangka menjaga kelestarian kebutuhan manusia terhadap sumber kehidupan tersebut. Saat ini, mereka mulai terancam dengan munculnya krisis air bersih akibat penggunaan yang berlebihan, pencemaran dan kerusakan sumber-sumber mata air. 

Dalam hal ini, pesantren yang rata-rata dihuni banyak santri mempunyai peran mengonsumsi jumlah air yang tidak sedikit. Karena itu, sudah sepatutnya pesantren mengambil peran untuk ikut serta bertanggungjawab dalam mengelola air agar kebutuhan air bersih tetap terpenuhi, tidak hanya hari ini namun untuk generasi selanjutnya.

Sebagaimana yang dijelaskan dalam berbagai literatur fiqh, Islam sangat perhatian terhadap isu air, hal ini sebab peribadatan tidak lepas dari yang namanya suci, di mana lumrahnya air sebagai alat utama bersuci. Ilmu fiqh sendiri pada umumnya mengklasifikasikan air dalam 4 jenis, yakni air suci yang menyucikan (thahir muthahhir), air suci yang tidak menyucikan (thahir ghairu muthahhir), air najis (mutanajjis), dan air yang makruh (musyammas).

Energi baru terbarukan

Energi yang digunakan orang sehari-hari pada umumnya bersumber dari listrik dan bahan bakar minyak. Namun, pada kenyataannya kedua sumber energi tersebut tidaklah murah, jumlahnya terbatas, dan seringkali menyebabkan kerusakan habitat alam. Karena itu, Energi Baru Terbarukan (EBT) kini menjadi alternatif kebutuhan energi, di samping juga dalam rangka menjadi kelestarian alam. 

Energi baru terbarukan adalah energi yang berasal dari proses alam yang berkelanjutan, seperti tenaga surya, tenaga angin, tenaga arus air, proses biologi, dan panas bumi. Pemanfaatan energi ini dinilai penting karena demi keberlangsungan hidup di masa depan. Prinsip dasar energi baru terbarukan yakni mengurangi risiko kerusakan lingkungan akibat pembangkit energi, peningkatan pemanfaatan energi terbarukan, peningkatan efisiensi dalam penggunaan energi, hingga gaya hidup pengurangan polusi.

Sementara itu, lembaga pendidikan seperti pesantren dapat memanfaatkan energi baru terbarukan mengingat pemakaian energi di lingkungan pesantren tidaklah sedikit. Menurut Ali, ada beberapa cara menghemat energi di lingkungan pendidikan seperti pesantren seperti tidak terlalu sering menggunakan AC untuk ruangan kelas, sebab bisa juga memanfaatkan fentilasi udara alami, larangan mengisi batere telepon seluler di kelas, menyalakan komputer di laboratorium hanya saat digunakan. 

Meski tidak semua energi terbarukan bisa diterapkan di pesantren,  ada beberapa jenis yang umunya bisa dikembangkan. Contohnya, tenaga surya seperti pemanfaatan panel surya, tenaga biogas lewat memanfaatkan dari kotoran manusia atau hewan ternak, hingga tenaga arus air, seperti aliran sungai, air terjun dan bendungan.