Di COP29, Hening Parlan Kisahkan Peran Penting Umat Islam dalam Solusi Iklim

Melalui inisiatif berbasis agama, GreenFaith dan Muhammadiyah menciptakan hubungan komunitas yang tepercaya dan berdampak. 

Nov 17, 2024 - 17:23
Di COP29, Hening Parlan Kisahkan Peran Penting Umat Islam dalam Solusi Iklim

MOSAIC-INDONESIA.COM, JAKARTA — Sebagai negeri dengan populasi Muslim terbesar kedua di dunia, umat Islam di Indonesia dinilai memilki peran penting dalam menjalankan aksi iklim. Terlebih, Indonesia yang memiliki 277 juta jiwa (per 2023) warga Muslim  memiliki organisasi Islam dengan akar sosial mendalam. 

Direktur Green Faith Indonesia Hening Parlan mengungkapkan, pentingnya untuk memobilisasi organisasi-organisasi Islam untuk mengatasi masalah lingkungan dan mempromosikan aksi iklim. “Dengan melibatkan para pemimpin dan komunitas agama, Green Faith mendorong masa depan berkelanjutan yang didasarkan pada tanggung jawab etis dan kepedulian terhadap ciptaan,”ujar Hening Parlan dalam materinya yang dibawakan dalam pertemuan di Commitee of Parties (COP) 29 di Baku, Azerbaijan, belum lama ini. 

Hening yang merupakan Wakil Ketua Majelis Lingkungan Hidup (MLH) PP Muhammadiyah menjelaskan, komunitas keagamaan membawa hubungan yang tepercaya dan telah lama terjalin dalam masyarakat.  Hal ini menjadikan mereka pendukung yang kuat untuk kesadaran perubahan iklim.

Menurut dia, nilai-nilai Islam, sebagaimana yang dipromosikan oleh Muhammadiyah, memperkuat tanggung jawab terhadap iklim. Ajaran-ajarannya menekankan pengelolaan, keselarasan dengan alam, dan kepedulian terhadap ciptaan, yang selaras dengan prinsip-prinsip keberlanjutan lingkungan. 

Hening mengatakan, hubungan antara agama dan lingkungan menawarkan kerangka kerja yang menginspirasi untuk aksi iklim yang bermakna, terutama di masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim. Dia menjelaskan, melalui inisiatif berbasis agama, GreenFaith dan Muhammadiyah menciptakan hubungan komunitas yang tepercaya dan berdampak. 

“Pekerjaan mereka membangun jembatan antara nilai-nilai agama dan tanggung jawab lingkungan, mendorong anggota masyarakat untuk mengambil tindakan terhadap isu-isu iklim dengan dukungan moral dari agama mereka,”ujar dia.

Nilai-nilai Islam tersebut bahkan dijadikan pedoman lewat Ijtihad berupa fatwa keagamaan. Hening mencontohkan dua ijtihad yang baru saja diterbitkan yakni Fatwa tentang Pertambangan dan Urgensi Transisi Energi dan Fiqih tentang Transisi Energi yang Adil.

Hening menjelaskan, fatwa pertama merupakan sikap Muhammadiyah terhadap degradasi lingkungan yang disebabkan oleh industri ekstraktif. Fatwa ini menekankan tanggung jawab moral dan etika dalam pemanfaatan sumber daya dan menggarisbawahi urgensi transisi ke sumber energi berkelanjutan.

 Menurut Hening, kerusakan lingkungan dan ketidakadilan sosial yang sering dikaitkan dengan pertambangan membuat fatwa tersebut diterbitkan. Fatwa itu menyerukan kepada masyarakat dan pemangku kepentingan untuk memprioritaskan investasi energi terbarukan dan mengejar masa depan energi yang menghormati keseimbangan ekologi dan hak-hak generasi mendatang.

Ijtihad kedua, ujar Hening, Muhammadiyah membuat kerangka kerja berbasis agama untuk menangani dimensi etika penggunaan energi dan pengelolaan lingkungan. Fiqih ini menggarisbawahi pentingnya kesetaraan dan keadilan sosial dalam proses transisi energi, mengadvokasi kebijakan dan praktik yang meminimalkan kerusakan pada masyarakat yang rentan sambil memajukan energi terbarukan.

Berakar pada ajaran Islam, pendekatan ini menyelaraskan kewajiban moral dengan pembangunan berkelanjutan, menyerukan gerakan kolektif menuju sistem energi yang menghormati martabat manusia dan keseimbangan lingkungan. 

Selain ijtihad keagamaan, Muhammadiyah memiliki beragam program lingkungan berkelanjutan. Salah satu yang terbaru yakni hutan wakaf. Inisiatif yang sebenarnya sudah dimulai di beberapa tempat di Indonesia tersebut, akan dilakukan di wilayah kerja Pengurus Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah.

Menurut Hening, hutan wakaf tidak dimaksudkan untuk mengurangi deforestasi, salah satu sumber perubahan iklim, melainkan untuk memitigasi masyarakat sipil dengan melakukan penghijauan lewat pembentukan hutan atau penanaman pohon di lahan yang sebelumnya tidak digunakan. "Program Hutan Wakaf merupakan salah satu bentuk implementasi konsep wakaf yang dapat menjadi instrumen dalam mendukung pelestarian lingkungan,"kata dia.

Hening mengatakan, Hutan Wakaf merupakan inovasi dalam bidang pemberdayaan wakaf. Dari aspek ekologi, hutan wakaf berperan dalam menjaga kestabilan iklim mikro, melestarikan keanekaragaman hayati, konservasi air, dan mencegah bencana alam. Dari segi regulasi, hutan wakaf termasuk dalam kategori 'wakaf untuk kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariat dan peraturan perundang-undangan.

Selain Hutan Wakaf, Hening mengatakan, terdapat beragam inisiatif yang dilakukan seperti penanaman pohon dan konservasi alam, masjid hijau, sekolah hijau Islam, hingga program inisiatif ekonomi. 

Tak hanya itu, dia menjelaskan, budaya juga menjadi faktor komunikasi penting agar pesan lingkungan bisa diserap. Untuk itu,  GreenFaith dan Muhammadiyah memprioritaskan pemahaman dan pengintegrasian nilai-nilai budaya lokal ke dalam pesan-pesan mereka. Organisasi-organisasi yang berbasis pada agama berfokus pada penceritaan, ritual, dan pertemuan masyarakat untuk mengomunikasikan pentingnya aksi iklim, membuat pesan menjadi lebih relevan dan menarik.

Anggota delegasi berjalan di area pelaksanaan Konferensi Perubahan Iklim (COP29) di Baku, Azerbaijan, Ahad (10/11/2024).  - (Republika/Edwin Dwi Putranto)

SHARE    

Lebih lanjut, ujar Hening, upaya mempertahankan kepentingan publik dalam isu-isu iklim merupakan tantangan, terutama ketika tekanan ekonomi bersaing dengan masalah lingkungan. Dia menjelaskan, GreenFaith dan Muhammadiyah mengatasi tantangan ini dengan membingkai tanggung jawab iklim sebagai tugas bersama kepada masyarakat dan generasi mendatang.

Menurut dia, keyakinan dan harapan sangat penting untuk mempertahankan aksi iklim jangka panjang. GreenFaith dan Muhammadiyah menggunakan pesan yang berpusat pada keyakinan, menekankan ketahanan dan keyakinan bahwa setiap tindakan kecil berkontribusi pada tujuan yang lebih besar. "Hal ini membantu masyarakat tetap termotivasi meskipun mengalami kemunduran,"kata dia

Untuk melakukan strategi komunikasi, Hening mengutip Purpose, sebuah organisasi kampanye global, yang menggunakan strategi naratif yang menyeimbangkan urgensi dengan harapan. Menurut dia, GreenFaith dan Muhammadiyah juga menghindari bahasa apokaliptik dan  mempromosikan visi positif untuk masa depan yang berkelanjutan. "Menjaga pesan tetap penuh harapan mendorong keterlibatan berkelanjutan, bahkan di masa-masa sulit,"jelas dia.

Menurut Hening, pembawa pesan terutama yang berlatar belakang agama haruslah tepercaya mengingat dia memainkan peran penting dalam membentuk kembali narasi iklim. Dengan mendasarkan pesan iklim pada nilai-nilai bersama, mereka menjangkau khalayak dengan cara yang sangat menyentuh dan personal dan mendorong tindakan berkelanjutan.

Dia menjelaskan,  menghubungkan aksi iklim dengan nilai-nilai masyarakat membangun landasan yang kuat untuk keterlibatan berkelanjutan. "Dan ingat kolaborasi adalah suatu keharusan,"tegas dia.