Komitmen Iklim Versus Eksplorasi Fosil Azerbaijan Sebagai Pemimpin COP-29
Azerbaijan dikenal sebagai tempat eksplorasi utama energi fosil.
MOSAIC-INDONESIA.COM, Azerbaijan, sebuah negara yang berada di tengah perbatasan Rusia dan Iran, tengah menjadi tuan rumah konfrensi iklim terbesar PBB, yakni Committee of Parties (COP) ke-29 yang diselenggarakan di ibu kota Baku, mulai pekan kedua November ini.
Sebanyak 80 kepala negara/pemerintahan mengulas bagaimana cara yang ampuh untuk menghindari ancaman perubahan iklim yang semakin nyata. Sebagai salah satu negara penghasil energi fosil terbesar di dunia, Azerbaijan mengklaim tengah mengembangkan potensi energi terbarukan. Hal tersebut merupakan bagian penting dari rencana negara ini untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 40% pada 2050.
Negara ini bermaksud untuk meningkatkan kapasitas energi terbarukan hingga 30% pada 2030 dan mendiversifikasi sistem energi yang ada untuk menjadi pemimpin dalam energi hijau. Azerbaijan pun mengklaim akan memperbarui target nasionalnya dalam Kontribusi Nasional yang Disepakati (NDC) 1.5 berikutnya.
Beberapa potensi energi terbarukan Azerbaijan yang masuk dalam materi kampanye COP-29 diantaranya yakni energi angin. Negara ini mengaku memiliki potensi ekonomi dengan pembangkit listrik yang bisa menghasilkan 3 GW dari angin darat serta 157 GW dari angin lepas pantai. Potensi tersebut dinilai bisa memberi peluang signifikan untuk pembangkit listrik yang berkelanjutan.
Langkah-langkah signifikan telah dilakukan untuk mewujudkan potensi ini, dengan proyek-proyek penting yang bermitra dengan perusahaan-perusahaan seperti ACWA Power dan Masdar yang sudah berjalan.
Energi dari tenaga air juga diklaim telah menyumbang sekitar 10% dari pembangkit listrik tahunan domestik negara ini. Sekitar 25% sumber daya air tawar negara ini terkonsentrasi di wilayah Karabakh dan Zangazur Timur, menjadikan tenaga air sebagai bagian penting untuk mencapai target Net Zero 2050 di Zona Energi Hijau yang telah ditetapkan. Infrastruktur utama dari tenaga air Azerbaijan adalah Pembangkit Listrik Tenaga Air Mingachevir, yang memiliki kapasitas terpasang sebesar 424 MW.
Azerbaijan juga mengaku memiliki potensi ekonomi energi matahari hingga 23 GW. Iklim yang mendukung di wilayah ini, dengan 2.400-3.200 jam sinar matahari setiap tahunnya, memberikan Azerbaijan potensi yang kuat sebagai produsen energi matahari.
Pada Oktober, Pembangkit Listrik Tenaga Surya Garadagh berkapasitas 230 MW diresmikan. Beberapa proyek lain sedang berjalan, dan negara ini terus menandatangani perjanjian dengan para pemangku kepentingan yang tertarik dengan energi surya.
Seiring dengan perluasan infrastruktur energi surya, Azerbaijan bekerja sama dengan mitra dari sektor publik dan swasta, termasuk bisnis dan bank pembangunan multilateral - pemangku kepentingan yang menjadi inti dari negosiasi di COP29.
Tak hanya itu, Azerbaijan mulai menjajaki produksi hidrogen rendah karbon pada Februari 2023 dengan dukungan dari Bank Eropa untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (EBRD). Perjanjian kolaborasi yang ditandatangani dengan para pelaku sektor swasta global akan memungkinkan pengembangan sekitar 10 GW energi terbarukan dalam jangka menengah yang dapat berkontribusi pada produksi hidrogen.
Energi fosil masih disorot
Meski memiliki segudang potensi energi terbarukan, negeri kecil di Kaukasus Selatan ini dikenal sebagai tempat eksplorasi utama energi fosil. Catatan Associated Press, Baku merupakan ladang minyak pertama di dunia dikembangkan pada tahun 1846. Azerbaijan pun telah memimpin dunia dalam produksi minyak pada tahun 1899. Saat ini, hampir semua ekspor Azerbaijan adalah minyak dan gas, dua sumber utama emisi karbon dioksida yang menyebabkan pemanasan global. Di Baku, situs bahan bakar fosil tampak di berbagai tempat.
AP melaporkan, di dalam sangkar-sangkar logam di sebelah tempat olahraga Istana Akuatik Azerbaijan terdapat mesin-mesin pompa. sebuah tanda mengatakan bahwa mesin-mesin ini menyedot lebih dari 2 ton minyak per hari. Pompa-pompa lainnya bekerja di tempat lain, menyedot minyak di salah satu lokasi religius dan wisata di Baku, yaitu masjid Bibi Heybat yang dibangun kembali pada tahun 1990-an setelah dihancurkan oleh kaum Bolshevik hampir 80 tahun yang lalu.
Analisis dari Global Witness, sebuah organisasi nirlaba, menemukan bahwa volume gas yang dibakar di fasilitas minyak dan gas di Azerbaijan meningkat 10,5% sejak tahun 2018. Pembakaran gas merupakan sumber utama emisi jelaga, karbon dioksida, dan metana yang berkontribusi terhadap pemanasan global. Hal ini terjadi ketika perusahaan energi membakar kelebihan gas alih-alih menangkapnya ketika dilepaskan saat mengebor minyak.
Kelompok-kelompok hak asasi manusia dan jurnalis investigasi mengungkapkan, eksplorasi tersebut berdampak kepada beberapa masalah kesehatan warga Azerbaijan, termasuk di sekitar terminal Sangachal.“Kita sedang menuju ke sebuah COP di mana bahkan tuan rumah tidak mau repot-repot melakukan fungsi dasar diplomasi iklim,” Louis Wilson, kepala investigasi bahan bakar fosil di Global Witness, mengatakan kepada AP.
Presiden Ilham Aliyev menggambarkan energi fosil di negerinya pada April lalu sebagai anugerah dari Tuhan. Aliyev mengatakan bahwa menjadi tuan rumah konferensi ini merupakan “kehormatan besar” bagi Azerbaijan. Ia juga mengaku ingin negaranya menggunakan lebih banyak energi terbarukan di dalam negeri agar dapat mengekspor lebih banyak minyak dan gas ke luar negeri.
Aliyev mengatakan bahwa ia menganggapnya sebagai “tanda penghormatan” dari komunitas internasional bahwa Azerbaijan menjadi tuan rumah COP dan pengakuan atas apa yang sedang dilakukan Azerbaijan dalam hal energi ramah lingkungan.
Beberapa dari rencana tersebut melibatkan pengembangan proyek pembangkit listrik tenaga air, tenaga surya dan angin di Karabakh, sebuah wilayah yang dihuni oleh etnis Armenia yang mengungsi ke Armenia setelah serangan militer kilat oleh Azerbaijan pada bulan September 2023.
Aliyev mengatakan dalam sebuah pidato di bulan Maret bahwa negaranya berada dalam “fase aktif transisi hijau” tetapi menambahkan bahwa “tidak ada yang bisa mengabaikan fakta bahwa tanpa bahan bakar fosil, dunia tidak dapat berkembang, setidaknya di masa mendatang.”
Mukhtar Babayev, Menteri Lingkungan Hidup Azerbaijan dan mantan wakil presiden di perusahaan energi negara Socar, akan menjadi ketua konferensi dalam pembicaraan tersebut. Babayev mengatakan pada bulan April bahwa ia ingin menunjukkan kepada dunia bahwa “negara minyak dan gas di masa lalu” ini dapat menunjukkan kepada dunia sebuah jalur hijau dengan upaya-upayanya untuk meningkatkan energi terbarukan, terutama tenaga angin.
Ia mengaku yakin KTT COP harus dibangun berdasarkan kesepakatan tahun lalu untuk bertransisi dari bahan bakar fosil dan membuka jalan bagi negara-negara untuk bersatu pada tahun 2025 dalam rencana yang diperkuat dan didanai untuk mengurangi efek rumah kaca.