Aksi Iklim ala Nala Aprilia
Nala memulai aksinya dengan menggunakan sepeda. Dia membawa satu kardus bertuliskan kalimat untuk menolak krisis iklim.
Dengan sepeda yang ditempel kardus berkas, Nala Aprilia memulai aksinya. Perempuan kelahiran Bogor, 27 April 2004 itu, memutuskan untuk melakukan tindakan yang bertujuan untuk membuat orang sadar betapa pentingnya memperhatikan kondisi bumi dan lingkungan sekitar.
Kesadaran mahasiswi UIN Raden Mas Said Surakarta Program Studi (Prodi) Psikologi Islam ini terpantik seusai melihat salah satu cuplikan video di Instagram yang menayangkan aktivis muda Swedia Greta Thunberg sedang memberikan semacam pidato di depan para pejabat Amerika Serikat. Dalam video tersebut, Greta mengungkapkan kondisi bumi yang sudah tidak layak dihuni sesuai dengan para pendapat saintis.
Nala merasa ucapan yang diungkapkan oleh Greta memang tepat. Nala pun mulai cemas jika masa depannya akan terganggu dengan kondisi bumi yang sudah mengalami krisis iklim. Berangkat dari pengalamannya, Nala akhirnya memutuskan untuk melakukan salah satu aksi yang bisa membuat orang sadar betapa pentingnya memperhatikan kondisi bumi dan lingkungan sekitar.
Nala memulai aksinya dengan menggunakan sepeda. Dia membawa satu kardus bertuliskan kalimat untuk menolak krisis iklim. Salah satunya bertuliskan “Pukul Mundur Krisis Iklim”. Menurut Nala, sepeda lebih praktis karena dia tidak harus berdiri lama di tempat umum agar menarik perhatian orang lain.
Lewat aksinya yang sederhana, Nala mengaku bisa membuat dampak dan manfaat yang besar terhadap orang lain. Nala kemudian memulai aksi climate strike pada Oktober 2021. “Kalau saya diam berdiri di pinggir jalan, orang-orang akan melihat saya dengan berbagai tatapan yang diberikan,” ungkap Nala saat berbincang dengan Republika melalui sambungan telepon, Rabu (20/3).
Di sisi lain, Nala sempat mengikuti pelatihan Climate Reality Global Training untuk belajar tentang proses terjadinya perubahan iklim secara detail. Di sana, Nala mempelajari bagaimana membuat unggahan perihal advokasi di Instagram, podcast, dan lain-lain.
Setelah mengikuti pelatihan tersebut, pikiran Nala mulai terbuka. Dia menyadari tentang beragam hal yang terjadi di Indonesia. Nala yang kini kuliah di semester IV ini mulai mengikuti beragam akun media sosial hingga organisasi yang bergerak di bidang lingkungan. Nala mulai membuka mata bahwa peristiwa yang sering terjadi di lingkungannya disebabkan karena krisis iklim.
“Saya ingin menyuarakan orang-orang yang terkena dampak krisis iklim karena mereka sulit untuk mendapatkan perhatian dari orang lain,” kata dia.
Nala mengatakan, setelah memahami krisis iklim, ia mempunyai rasa empati yang tinggi ketika melihat beragam informasi tentang kerusakan bumi. Dia meneteskan air mata melihat kondisi bumi yang semakin hari semakin hancur. “Kalau harus pindah ke Mars akan kerepotan karena di Mars setiap detik manusia harus menggunakan pakaian yang aman, maka dari itu harus bisa menjaga bumi agar tidak hancur,” ucapnya.
Di sisi lain, perjalanan Nala menyuarakan krisis iklim kepada publik tidak selalu berjalan mulus. Ia mengaku sempat mendapatkan ucapan dari salah satu laki-laki yang menyebut sepedanya bagus. Padahal, Nala juga merasa ucapan itu berbentuk ejekan karena kenyataannya sepeda yang digunakan Nala merupakan sepeda tua yang tidak layak pakai.
Saat pertama kali melakukan climate strike, ia juga merasa malu karena sepeda yang digunakan merupakan sepeda tua yang sudah dibelinya sejak lama. Kondisi tersebut tidak menjadi kendala bagi Nala untuk terus berjuang.
“Meskipun setiap melakukan climate strike merasa takut, deg-degan karena melihat tatapan orang lain yang berbeda-beda responsnya setelah melihat kardus yang terpasang di sepeda, tapi saya tetap menjalankan misi saya,” ujarnya.
Nala juga sering mendapatkan komentar-komentar miring dari lingkungannya maupun media sosial yang memberikan komentar tentang aksinya. Salah satunya komentar tentang kardus yang digunakan oleh Nala akan menjadi sampah nantinya. Meski demikian, Nala mengungkapkan, kardus yang digunakan merupakan kardus bekas miliknya. Dia tidak akan membuangnya sembarangan hingga menjadi sampah.
“Tapi, komentar itu justru membuat saya merasa bangga ketika menelusuri setiap jalan dengan membawa sepeda yang memuat kardus bertuliskan penolakan krisis iklim,” lanjutnya.
View this post on Instagram
Nala tidak menyangka jika gerakan penolakan krisis iklim yang dilakukannya ternyata dilihat banyak orang. Tidak sedikit teman-temannya memberikan apresiasi dan dukungan kepadanya agar terus tumbuh dan berkembang lebih baik untuk menyuarakan krisis iklim. “Hal itu yang membuat saya lebih semangat untuk melakukan aksi climate strike,” tegasnya.
Dia juga berbahagia ketika melihat teman-temannya sudah merubah kebiasaannya dengan membawa alat makan sendiri ketimbang menggunakan plastik sekali pakai. “Aku merasa senang ketika melihat teman-teman membawa alat makan sendiri ketika jajan,” ungkapnya.
Namun, Nala menyayangkan, orang-orang di Indonesia bersikap tidak peduli dan acuh tak acuh terhadap kondisi di sekitarnya. Mereka menganggap semua hal yang terjadi sudah menjadi takdir yang ditetapkan. Padahal peristiwa yang terjadi di muka bumi juga akibat dari perbuatan manusia yang tidak memperhatikan kondisi lindungan. (shintia rahayu safitri/mahasiswi UIN Jakarta).