Strategi Pengembangan Wakaf Hijau
Tantangan terbesar dalam melaksanakan komitmen perubahan iklim adalah pendanaan.
Oleh HIDAYAT TRI SUTARDJO
MOSAIC-INDONESIA.COM -- Dalam kerangka maqashid syariah, menjaga lingkungan (hifz al-bi'ah) adalah sebagai bagian integral untuk melindungi agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Wakaf hijau merupakan transformasi dari konsep wakaf tradisional, yang tidak hanya berfokus pada pembangunan fasilitas sosial keagamaan, tetapi juga mengalokasikan asetnya untuk kegiatan-kegiatab pelestarian lingkungan dan aksi solusi penanganan perubahan iklim.
Inisiatif pengembangan wakaf hijau bertujuan memanfaatkan potensi besar dana dan aset wakaf untuk membiayai transisi energi, pelestarian alam, dan berbagai kegiatan berkelanjutan lainnya. Implementasinya di Indonesia dapat dilihat antara lain:
- Hutan Wakaf: Gerakan yang dimulai di Bogor telah berkembang dari 12 hektare menjadi 58 hektare. Hutan wakaf tidak hanya melestarikan alam tetapi juga mampu menyerap hingga seribu ton karbon per hektare ketika sudah rimbun.
- Sedekah Energi: Inisiatif seperti Mosaic telah menyalurkan panel surya untuk masjid-masjid melalui pendanaan crowdsourcing. Dari lima masjid yang telah dipasangi PLTS, berhasil mengurangi emisi sekitar 13,9 ton.
- Zakat Hijau (Green Zakat): Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) berkolaborasi dengan berbagai pihak untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) di Desa Lubuk Bangkar, Jambi. Listrik yang dihasilkan kemudian mendorong produktivitas masyarakat di sektor pertanian dan UMKM .
- Wakaf Produktif untuk Lingkungan: Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Yayasan Dana Wakaf Indonesia (YDWI) memiliki program untuk membangun ketahanan pangan melalui tambak udang modern dan penyelamatan lahan kritis dengan menanam pozanu di 14 juta lahan.
Beberapa hari lalu penulis mengikuti launching policy brief pengembangan wakaf hijau sebagai alternatif instrumen pendanaan iklim di Indonesia yang diselenggarakan oleh PEBS Universitas Indonesia dan Greenpeace. Dalam policy brief tersebut diuraikan bahwa yang menjadi salah satu tantangan terbesar dalam melaksanakan komitmen perubahan iklim adalah pendanaan.
Climate Policy Initiative (2024) memproyeksikan bahwa Indonesia membutuhkan investasi sebesar 285 miliar USD hingga tahun 2030 untuk mencapai target iklimnya. Dari kebutuhan tersebut, APBN hanya mampu menutupi sekitar 34% dari total pembiayaan yang diperlukan untuk aksi mitigasi dan adaptasi iklim (CPI 2023). Sementara sektor keuangan menyumbang 15% kebutuhan investasi iklim dengan alokasi yang hampir sama antara lembaga keuangan publik dan swasta. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan pendanaan (financing gap) yang signifikan.
Lebih lanjut dalam policy brief itu, menanggapi tantangan pembiayaan tersebut, keuangan Islam khususnya melalui wakaf hijau (green waqf) berpotensi menjadi sumber pembiayaan alternatif. Keuangan Islam adalah sistem keuangan yang berdasarkan pada prinsip-prinsip syariah. Selain merujuk pada halal haram sebuah transaksi, sistem keuangan islam juga bergerak menuju konsep thayyib yang bermakna “baik” dan secara menyeluruh mencakup etika, keadilan, dan kesejahteraan (UKIF, 2021). Prinsip halal-thayyib pada sistem keuangan islam mendukung munculnya konsep keuangan Islam hijau (Islamic green finance), yang salah satunya bertujuan untuk memobilisasi dana untuk proyek-proyek yang berkontribusi terhadap kelestarian lingkungan, ketahanan iklim, dan pengurangan emisi gas rumah kaca.
Wakaf hijau bukan sekadar konsep yang relevan dalam Islam, tetapi juga menawarkan solusi konkret bagi tantangan lingkungan global. Gerakan ini mengusung perspektif keadilan sosial melalui wakaf, yang mengembalikan kesetaraan antara manusia dan alam.
Tantangan Pengembangan Wakaf Hijau
Potensi wakaf hijau di Indonesia sangat besar, potensi wakaf sebagai instrumen pembangunan berkelanjutan sangat besar. Menurut Badan Wakaf Indonesia (BWI), potensi wakaf di Indonesia mencapai Rp 400 triliun setiap tahun, didukung oleh populasi lebih dari 230 juta penduduk mayoritas Muslim. Data Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) dan Badan Wakaf Indonesia (BWI) menunjukan bahwa aset wakaf uang dan tanah wakaf terus meningkat dari tahun ke tahun, yang menandai peningkatan partisipasi masyarakat (KNEKS, 2024). Dengan potensi besar ini, wakaf dapat menjadi sumber pendanaan signifikan untuk pembangunan infrastruktur publik, termasuk infrastruktur hijau, proyek lingkungan, dan pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan.
Meskipun memiliki potensi besar dalam mendukung pembiayaan berkelanjutan, pengembangan wakaf hijau di Indonesia masih berada pada tahap awal dan menghadapi berbagai tantangan. Dalam policy brief, pengembangan wakaf hijau sebagai alternatif instrumen pendanaan iklim di Indonesia mencatat ada lima tantangan, yakni:
1. Rendahnya Literasi Wakaf dan Wakaf Hijau
Tingkat literasi wakaf di Indonesia masih tergolong rendah, sehingga potensi ekonomi dan sosialnya belum termanfaatkan secara optimal. Berdasarkan Indeks Literasi Wakaf Nasional, tingkat literasi wakaf masyarakat Indonesia hanya mencapai 50,48 pada skala 0–100, yang dikategorikan sebagai tingkat menengah bawah (BWI, 2020). Sementara itu, survei Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (2019) menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil masyarakat yang memiliki pengetahuan dasar tentang wakaf uang, dengan indeks pengetahuan sebesar 0,472 dan indeks inklusi hanya 0,282 pada skala 0–1. Angka-angka tersebut menunjukkan adanya kesenjangan besar antara potensi wakaf, termasuk wakaf hijau, dan tingkat kesadaran publik untuk berpartisipasi. Sebagian besar masyarakat belum memahami bagaimana wakaf dapat dihubungkan dengan agenda lingkungan. Rendahnya literasi ini juga berimbas pada kurangnya dukungan publik, rendahnya partisipasi wakif individu maupun institusional, serta terbatasnya inovasi lembaga nazhir dalam mengembangkan program berbasis keberlanjutan.
2. Keterbatasan Implementasi Program Wakaf Hijau Berskala Nasional
Wakaf hijau di Indonesia secara konseptual dan praktik telah menunjukan kemajuan, namun implementasinya di lapangan masih sangat terbatas. Sejak peluncuran Green Waqf Framework pada tahun 2022 sebagai panduan pengembangan yang lebih terarah, hingga saat ini belum ada implementasi pilot project berskala nasional yang dapat dijadikan sebagai model terpadu. Akibatnya program wakaf hijau berjalan secara parsial, tersebar pada sejumlah lembaga, dan belum memiliki standar keberlanjutan maupun mekanisme pengukuran dampak yang seragam.
3. Kelemahan Tata Kelola Pengelolaan Wakaf, termasuk Wakaf Hijau
Saat ini sudah terdapat panduan pengelolaan wakaf, yaitu Waqf Core Principle (WCP) yang dikembangkan oleh Islamic Development Bank (IsDB) dan Bank Indonesia. WCP memberikan panduan komprehensif mengenai tata kelola yang baik, manajemen risiko, transparansi, dan akuntabilitas lembaga wakaf. Akan tetapi, implementasinya belum berjalan menyeluruh di tingkat lembaga pengelola wakaf. Banyak nazhir belum memiliki pemahaman yang cukup mendalam mengenai prinsip-prinsip tersebut, serta belum memiliki sistem dan prosedur operasional yang memungkinkan penerapan standar secara konsisten. Keterbatasan SDM, minimnya pelatihan teknis, dan belum optimalnya sistem pengawasan turut memperlambat proses harmonisasi tata kelola di seluruh lembaga wakaf. Akibatnya, masih ditemukan kelemahan dalam pencatatan dan pelaporan aset wakaf, pemisahan antara dana pokok dan hasil pengelolaan, serta pengelolaan risiko proyek wakaf produktif.
Ketidakselarasan penerapan WCP ini berimplikasi pada belum terbentuknya kepercayaan publik dan mitra lembaga keuangan, serta menghambat Upaya menjadikan wakaf—terutama wakaf hijau—sebagai instrumen pembiayaan sosial yang kredibel, transparan, dan berkelanjutan.
4. Akses Pendanaan yang Terbatas
Inisiatif wakaf hijau umumnya membutuhkan investasi besar dengan periode pengembalian jangka panjang, sementara kapasitas lembaga wakaf untuk mengakses sumber pendanaan inovatif masih terbatas. Meskipun instrumen seperti green sukuk, cash waqf linked sukuk, dan impact investment telah berkembang di tingkat nasional dan global, penerapannya dalam konteks wakaf masih bersifat sporadis dan belum memiliki kerangka kerjasama (model bisnis) yang jelas antara lembaga wakaf, lembaga keuangan syariah, maupun sektor swasta. Di sisi lain, keterbatasan insentif fiskal dan non-fiskal yang mendukung proyek wakaf hijau, seperti potongan pajak, kemudahan perizinan, atau jaminan pembiayaan, juga menyebabkan risiko investasi menjadi tinggi dan minat kolaborasi lintas sektor relatif rendah. Akibatnya, potensi wakaf untuk menjadi sumber pembiayaan hijau yang berkelanjutan belum termanfaatkan secara optimal dan masih bergantung pada donasi sukarela skala kecil, bukan pada arsitektur pendanaan yang terstruktur dan berorientasi hasil.
5. Kurangnya kolaborasi lintas sektor dan ekosistem pendukung
Keberhasilan wakaf hijau sangat bergantung pada kemampuan berbagai pihak dalam ekosistem wakaf hijau untuk saling melengkapi. Akan tetapi, saat ini ekosistem dan sinergi antara berbagai pemangku kepentingan wakaf hijau seperti pemerintah, lembaga wakaf, lembaga keuangan syariah, sektor swasta, akademisi, dan komunitas lingkungan masih lemah dan belum terintegrasi dalam kerangka kerja yang komprehensif dan terencana. Walaupun sudah ada platform kerjasama seperti Satu Wakaf Indonesia yang berupaya menggerakkan kolaborasi lintas sektor, namun pemanfaatannya masih belum optimal. Kurangnya koordinasi bersama, mekanisme pembiayaan kolaboratif, hingga kanal pertukaran data serta informasi menyebabkan inisiatif wakaf hijau berjalan terpisah-pisah dan sulit berkembang menjadi Gerakan nasional yang berkelanjutan.
Strategi Pengembangan Wakaf Hijau
Agar wakaf hijau dapat berkontribusi maksimal, diperlukan strategi pengembangan untuk mengatasi beberapa tantangan yang melingkupinya:
- Reformasi Hukum dan Regulasi
Regulasi tentang wakaf saat ini masih berfokus pada tujuan sosial dan keagamaan tradisional. Diperlukan reformasi hukum untuk memperluas cakupan dan mendukung secara eksplisit kegiatan-kegiatan wakaf berbasis lingkungan. Kerangka hukum yang ada masih menitikberatkan aspek kepemilikan dan pengelolaan aset sosial, belum secara eksplisit mengatur praktik wakaf yang berorientasi pada keberlanjutan lingkungan. Karena itu, revisi UU Wakaf Nomor 41 Tahun 2004 beserta peraturan turunannya perlu didorong untuk memberikan landasan hukum yang lebih jelas bagi penerapan wakaf hijau.
- Edukasi dan Sosialisasi
Kesadaran masyarakat tentang konsep wakaf hijau masih perlu ditingkatkan melalui program edukasi dan kampanye yang masif. Edukasi publik melalui Gerakan Indonesia Berwakaf, platform digital, dan media sosial menjadi tulang punggung strategi ini, dengan pendekatan lintas kanal terintegrasi. Sosialisasi ini dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran publik terhadap potensi wakaf dalam mendukung pembangunan berkelanjutan mulai dari restorasi lingkungan hingga pemberdayaan ekonomi.
- Pemanfaatan Teknologi Digital
Meningkatkan transparansi dan efisiensi dalam pengelolaan wakaf hijau seperti platform digital untuk berpatisipasi dan melaporkan perkembangan kegiatan wakaf hijau. Pemanfaatan teknologi digital seperti dashboard pelaporan wakaf hijau dapat memperkuat kepercayaan publik dan meningkatkan kredibilitas lembaga wakaf di mata regulator, perbankan syariah, serta mitra investasi.
- Kolaborasi Multi-Pihak
Pengembangan wakaf hijau membutuhkan kolaborasi antara Badan Wakaf Indonesia (BWI), pemerintah, sektor swasta untuk pendanaan dan teknologi, serta lembaga internasional. Agar koordinasi lintas-aktor berjalan efektif, disarankan penetapan satu pemimpin nasional yang memandu agenda bersama, menyelaraskan standar tata kelola dan pelaporan, serta memastikan pembagian peran yang jelas di antara para pihak. Kolaborasi ini perlu ditopang oleh ekosistem pendukung yang konkret. Platform kolaborasi seperti SatuWakaf dapat difungsikan sebagai penggerak sinergi lintas sektor, menghubungkan sumber daya keuangan, aset, jaringan, dan keahlian, serta mempercepat implementasi proyek melalui kurasi inisiatif, penjodohan mitra, dan publikasi capaian secara transparan.
Penutup
Wakaf hijau menawarkan solusi pendanaan iklim yang inovatif dengan memadukan nilai-nilai spiritual Islam dengan aksi ekologis. Dengan potensi aset yang sangat besar dan keselarasan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan, wakaf hijau berpeluang menjadi instrumen penting untuk transisi energi dan pelestarian alam di Indonesia, meskipun pengembangannya masih memerlukan penguatan regulasi, edukasi dan sosialisasi, pemanfaatan teknologi digital, dan kolaborasi multi pihak.