Peran Lintas Agama dalam Transisi Energi

Transisi energi dinilai bukan sebatas isu teknis, tetapi juga menjadi masalah moral yang menuntut peran komunitas agama.

Oct 24, 2024 - 21:04
Peran Lintas Agama dalam Transisi Energi

MOSAIC-INDONESIA.COM, JAKARTA Perubahan cuaca ekstrem, suhu harian yang meningkat, serta pergeseran musim yang tak menentu menjadi bukti bahwa krisis iklim bukan lagi sekadar ancaman, tetapi telah hadir di tengah-tengah kehidupan.

Dampak perubahan iklim yang semakin nyata telah menggerakkan banyak pihak untuk bertindak, termasuk pemerintah dan kelompok lintas agama di Indonesia dan Jepang.  Pemerintah Indonesia bahkan berkomitmen mencapai net zero emission pada 2060, sebuah langkah penting dalam transisi energi dari fosil menuju energi terbarukan. Meski demikian, komitmen ini membutuhkan lebih dari sekadar kebijakan; dukungan masyarakat luas, termasuk dari komunitas agama, sangat dibutuhkan.

Untuk itu, Greenfaith Indonesia dan GreenFaith Jepang mengadakan dialog bertajuk "Dialog tentang Transisi Energi di Indonesia dan Peran Lintas Agama" di Jakarta, Rabu (23/10/2024). 

Acara ini mempertemukan berbagai pemangku kepentingan, dari pemerintah, tokoh agama, akademisi, hingga organisasi berbasis keagamaan dengan GreenFaith Jepang dan 9 perwakilan kelompok lintas agama dari negeri Sakura, Jepang, untuk membahas transisi energi dan dampaknya bagi masyarakat.  Dari Indonesia hadir Pimpinan Pusat  Muhammadiyah, Hindu, Budha, Konghuchu. Juga ada presentasi KLHK tentang Peran Pemuda dan Lintas Agama dalam Kampanye dan Pendidikan Lingkungan, serta pemaparan dari Eko Cahyono dari Pusat Studi Sajogo Institute.

Salah satu topik yang menjadi sorotan adalah PLTU Indramayu, yang pendanaannya berasal dari Jepang, serta peran komunitas agama dalam mengadvokasi kebijakan energi yang lebih berkelanjutan.

Peran lintas agama

Transisi energi dinilai bukan sebatas isu teknis. Isu ini juga menjadi permasalahan moral yang menuntut peran komunitas agama. Dalam acara ini, berbagai tokoh agama berbicara tentang bagaimana keyakinan dan ajaran agama mereka sejalan dengan prinsip keberlanjutan dan tanggung jawab lingkungan. 

Hening Parlan, Direktur Green Faith Indonesia, dalam sambutannya menegaskan pentingnya peralihan dari energi fosil menuju energi ramah lingkungan. Menurutnya, agama memiliki peran besar dalam menggerakkan kesadaran masyarakat untuk menjaga bumi.

“Pertemuan ini penting untuk mendalami bagaimana lintas agama dapat berkontribusi dalam upaya menyelamatkan lingkungan. Melalui kolaborasi ini, kita dapat mempercepat perpindahan ke energi yang lebih bersih,” ujar Hening.

Yoshiro Sada, Direktur Green Faith Jepang, menambahkan bahwa Jepang dan Indonesia memiliki sejarah panjang. Jepang, melalui pendanaannya di PLTU Indramayu, menjadi sorotan dalam dialog ini. Menurut Yoshiro, pihaknya ingin mempelajari lebih lanjut dampak dari penggunaan energi kotor di Indonesia dan bagaimana Jepang dapat mengambil langkah lebih tegas dalam mendukung transisi energi berkelanjutan.

“Kami bertanggung jawab atas investasi di Indonesia. Kami akan membawa informasi ini ke masyarakat Jepang dan parlemen untuk mendorong kebijakan yang lebih hijau,” tegas Yoshiro.

PLTU Indramayu menjadi salah satu topik yang paling dibahas dalam pertemuan ini. Kehadiran PLTU tersebut, yang masih mengandalkan batubara sebagai sumber energi utama, dinilai bertentangan dengan upaya transisi energi.

 Warga lokal di sekitar PLTU juga dikabarkan mengalami dampak negatif akibat aktivitas tersebut. Komunitas lintas agama dari Jepang yang hadir dalam kunjungan ini berharap dapat mengadvokasi penutupan PLTU ini demi mendukung energi terbarukan yang lebih bersih dan aman bagi lingkungan.

Luckmi Purwandari, Kepala Pusat Pengembangan Generasi LHK Kementerian Lingkungan Hidup, mengakui, masalah utama yang saat ini dihadapi oleh seluruh manusia adalah perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan pencemaran dari sampah dan limbah

Luckmi menjelaskan, berbagai upaya telah dilakukan pemerintah, dalam hal ini KLHK. Salah satunya yakni upaya kultural untuk mempromosikan gaya hidup ramah lingkungan melalui pendekatan generasi muda. 

Lucki mengapresiasi acara dialog lintas agama yang diselenggarakan oleh GreenFaith Indonesia, sekaligus mengharapkan dukungan dari seluruh elemen masyarakat untuk mendukung program pemerintah menuju zero emisi pada 2060.

Kolaborasi untuk masa depan

Prof. Syafiq dari Muhammadiyah, Ketua PP Muhammadiyah, Bidang Hubungan dan Kerjasama Internasional dalam sesi diskusi dengan menyatakan bahwa semua agama menghendaki keselamatan manusia, alam, dan lingkungan. Namun, tantangan terbesar datang dari perilaku manusia yang justru merusak lingkungan. Oleh karena itu, penting bagi pemimpin agama untuk meningkatkan kesadaran dan menggerakkan komunitas mereka untuk mengambil tindakan nyata dalam menyelamatkan lingkungan.

“Agama harus menjadi kekuatan nyata, bukan hanya potensi. Kita memiliki tugas mulia untuk menyelamatkan bumi, dan lintas agama bisa menjadi kekuatan besar dalam mewujudkan itu,” kata Syafiq.

Sementara itu, Pardjono, perwakilan dari kelompok agama Buddha, menyoroti bagaimana nilai-nilai spiritual Jawa dalam agama Buddha selaras dengan konsep harmoni alam semesta. “Jika kita mampu merawat diri, maka kita harus bisa merawat alam semesta. Ini adalah tanggung jawab spiritual kita untuk menjaga lingkungan hidup,” katanya.

Dari komunitas Hindu, Pinandita Astono juga mengapresiasi dialog lintas agama ini. Dia menegaskan bahwa konsep Tri Hita Karana—yang mencakup hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan lingkungan—sejalan dengan misi Greenfaith dalam menjaga kelestarian alam.

Aldi Destian dari Majelis Tinggi Agama Konghuchu Indonesia mengatakan, inti keharmonisan adalah agar tidak ekstrim dalam menggunakan sumber daya alam. “Sehingga hidup kita harus selaras dengan alam dan bisa menghemat energy yang gunakan baik dalam kehidupan sehari-hari maupun peribadatan."

Aldi menjelaskan, pendekatan tokoh agama Konghuchu yang selama ini dilakukan adalah membuat tempat ibadah ramah lingkungan, seperti Klenteng Hemat Energy yang tetap nyaman digunakan untuk ibadah. Sedangkan para cendekiawan konghucu juga berperan dengan menulis perspektif lingkungan hidup menurut Konghucu.

“Ada juga gerakan pemuda Konghucu melakukan kegiatan penanaman pohon di sekitar rumah ibadah sebagai bentuk merawat alam dan berbakti terhadap alam,”jelas dia..

Dialog lintas agama dinilai menjadi langkah penting dalam menunjukkan bahwa transisi energi bukan hanya tugas pemerintah atau sektor swasta. Kolaborasi lintas agama diharapkan dapat menggerakkan perubahan di tingkat akar rumput, membangun kesadaran kolektif, dan mendesak kebijakan yang lebih ramah lingkungan untuk masa depan yang lebih berkelanjutan.