Sedekah Sampah dari Kampung Brajan

Gerakan yang diinisiasi Ananto sudah diadopsi banyak masjid di Indonesia.

Nov 24, 2023 - 09:14
Nov 24, 2023 - 09:16
Sedekah Sampah dari Kampung Brajan
Sedekah Sampah di Masjid Al-Muharram Bantul

Kotak  hitam setinggi lelaki dewasa itu sudah hampir penuh dengan sampah botol dan gelas plastik. Besi ulir yang didesain sebagai pembatas  membuat penghuninya bisa terlihat. Warga pun jamak mengetahui jika kotak itu menjadi media bagi mereka yang hendak bersedekah lewat sampah.

Kotak itu didesain oleh Ustaz Ananto Isworo, seorang dai muda yang menjabat sebagai Ketua Dewan Kemakmuran Masjid Al Muharram, Kampung Brajan, Kabupaten Bantul, DIY. Dengan kotak itu, Ustaz Ananto mengajak warga untuk membuang sampah berbahan plastik. Setelah terkumpul, kiloan sampah itu kemudian disortir lantas dijual ke pengepul. Dananya akan dibuat untuk program sosial di lingkungan sekitar. Gerakan yang diinisiasi Ananto pun sudah diadopsi di banyak masjid di Indonesia. Ananto menyebutnya sebagai Gerakan Sedekah Sampah.

Perjuangan Ananto untuk menggagas GSS tidak mudah. Sejak pindah ke Brajan pada 2005 silam, dia sadar kampung tempat tinggal barunya itu punya lingkungan yang kumuh. Banyaknya sampah di kampung tersebut tidak terkelola dengan baik. Kotornya kampung diperburuk dengan  banyak anak jalanan yang kerap melakukan tindakan kriminal. “Dulu meraka tidur di depan rumah saya setelah mabuk. Bangunnya pagi,”kata Ananto saat berbincang dengen MOSAIC.

Sebagai pendatang, Ananto tidak bisa serta merta mengajukan program bersih-bersih di kampungnya.  Ananto memulainya dengan mendekati pemuda setempat. Setelah delapan tahun bergerilya, dia perlahan bisa meraih simpati masyarakat. Berangkat dari kebutuhan beberapa anak yang tidak sanggup membayar SPP,  Ananto lantas mengajukan sedekah sampah di masjid.  Ananto menghadapi banyak tantangan dari warga setempat. Mereka merasa heran mengapa sedekah yang notabene selama ini dengan uang dilakukan lewat sampah. Mereka juga keberatan jika masjid yang notabene harus suci dijadikan sebagai tempat pengepulan sampah.

Padahal, Ananto mengatakan, di dalam Islam, kata sedekah memiliki makna yang luas, tidak sebatas uang. Dia pun mengutip contoh Rasulullah SAW yang bersumber dari Abu Hurairah Ra bahwa menyingkirkan rintangan di jalan merupakan bagian dari sedekah.

"Setiap ruas tulang manusia harus disedekahi setiap hari di saat terbitnya matahari: berbuat adil terhadap dua orang (mendamaikan) adalah sedekah; menolong seseorang naik kendaraannya, membimbingnya, dan mengangkat barang bawaannya adalah sedekah, ucapan yang baik adalah sedekah; Berkata yang baik juga termasuk sedekah. Begitu pula setiap langkah berjalan untuk menunaikan salat adalah sedekah. Serta menyingkirkan suatu rintangan dari jalan adalah sedekah." (HR Bukhari dan Muslim)

Ananto juga keberatan jika masjid hanya digunakan sebagai tempat peribadatan. Dalam kacamata Ananto, masjid memiliki peran sosial bahkan ekonomi sehingga keberadaannya bisa dirasakan masyarakat. Pada masa Nabi, Masjid Nabawi bahkan berperan sebagai pusat pemerintahan dan pendidikan. Nabi bahkan mengatur strategi perang di masjid. Masjid pula yang menjadi tempat pengumpulan zakat, infak hingga sedekah kaum Muslimin untuk kemudian disalurkan kepada sahabat yang membutuhkan.

Karena itu, tekad Ananto tak goyah. Dengan sedekah sampah, dia menunjukkan jika masjid bisa menjadi pusat pergerakan komunitas. Dia pun hendak membuktikan kepada warga setempat jika orang miskin pun bisa bersedekah. "Jadi, saya mau menunjukkan ke orang-orang bahwa semiskin apa pun, mereka tetap bisa bersedekah, yakni dengan memberikan sampah yang bisa didaur ulang ke masjid," ujar dia.

Dana hasil pengumpulan sampah dari gerakan tersebut kemudian dikembalikan lagi ke masyarakat. Kebutuhan SPP anak-anak yatim dan dhuafa  pun bisa terpenuhi. Lambat laun, warga percaya dengan sampah mereka bisa bersedekah. Ananto pun memperluas programnya.  Pertama, santunan beasiswa pendidikan yatim piatu dan dhuafa yang merupakan pionir dari program GSS. Warga yang merasa jika  anak-anak mereka bisa dibantu lewat sedekah sampah pun mulai ikut membesarkan GSS.

Berikutnya, santunan sedekah bagi janda fakir miskin, yaitu Rp 50 ribu-Rp 100 ribu setiap paket selama tiga bulan sekali. Seiring waktu, program ini terkadang diselingi dengan bantuan pemerintah maupun swasta. Ketiga adalah santunan kesehatan untuk setiap warga kurang mampu yang opname akan mendapatkan santunan Rp 500 ribu. Ananto pun membuat inovasi jika sampah yang disumbangkan tak melulu sampah plastik. Barang bekas warga yang tak terpakai bisa disedekahkan pula ke masjid. “Jadi harang elektronik hingga motor menjadi harang yang disedekahkan,”kata dia.

Melihat manfaat besar dari GSS ini, tidak hanya warga Kampung Brajan maupun remaja masjid yang ikut memilah sampah di masjid. Anak-anak muda dari luar seperti mahasiswa juga kerap ikut serta.Gerakan Sedekah Sampah pun kian membesar. Hingga kini, ada 50 masjid penggerak tergabung dalam Gerakan Sedekah Sampah Indonesia (Gradasi). Jumlahnya memang belum seberapa dibandingkan masjid dan musala yang ada di Indonesia yang mencapai 740 ribu. Meski demikian, gerakan ini terus berkembang karena sudah berada di empat pulau yakni Sumatra, Jawa, Kalimantan hingga Nusa Tenggara Timur (Labuan Bajo).

Keberadaan Gradasi di Indonesia pun terbilang strategis mengingat kontribusi sampah yang tinggi. Selama 2022, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melansir ada  36,2 juta ton sampan yang dihasilkan dari 311 kabupaten/kota se-Indonesia. Dari jumlah tersebut, masih ada 36 persen atau 13 juta ton yang belum terkelola.  Tingginya volume sampah tak lepas dari umat Islam yang menjadi mayoritas di Indonesia dengan jumlah  229 juta jiwa.

Ramah lingkungan

Masjid yang ramah lingkungan menjadi salah satu program Kementerian Agama tahun ini. Direktur Urusan Agama Islam Kemenag Adib menjelaskan, pihaknya sedang menyusun masjid dengan beberapa kriteria seperti masjid ramah anak, ramah keragaman, ramah dhuafa, ramah difabel hingga ramah lingkungan. Menurut Adib, program ini merupakan bentuk pendekatan mandiri mengenai potensi masjid dari berbagai kategori yang tersedia. Untuk itu, Kemenag sedang mengembangkan aplikasi masjid ramah yang bisa diisi secara mandiri. “Kita sedang bangun aplikasinya ini sedang finishing. Nanti kita kembangkan agar masjid itu punya edukasi salah satunya cinta lingkungan,”kata Adib.

Dia menjelaskan, masjid menjadi unsur penting untuk menghadapi dampak perubahan iklim di Indonesia. Terlebih, banyak Muslim yang menghabiskan waktu di masjid paling tidak untuk shalat lima kali dalam sehari. Hanya saja, dia mengakui kesadaran jamaah terhadap konsep masjid ramah lingkungan perlu ditingkatkan. Sebagai catatan, masih banyak masjid yang boros dalam pemanfaatan air. Begitupula tata kelola sampah yang tidak dilakukan dengan baik, terlebih saat hari raya keagamaan tiba.

Adib berharap, adanya kriteria masjid ramah lingkungan akan menjadi contoh bagi masyarakat sehingga bisa diadopsi di berbagai daerah. Dia mengungkapkan, Kemenag akan mengamplifikasi masjid yang sudah mempraktikkan ramah lingkungan lewat award bersama dengan masjid ramah kategori lainnya. “Mindset masyarakat memang belum sepenuhnya memahami seperti apa masjid ramah lingkungan, tapi saya yakin ini jalan yang baik dan strategis untuk mengampanyekan ramah lingkungan tersebut,”ujar dia.