Anak Muda Inginkan Pemimpin Pro Iklim pada Pemilu 2024
Anak muda Indonesia berharap pemimpin terpilih bisa memberi harapan tentang penanganan perubahan iklim ke depan.
KRISIS iklim belakangan membuat semua pihak khawatir, termasuk anak muda. Apalagi jelang Pemilu 2024, anak muda Indonesia berharap pemimpin terpilih bisa memberi harapan tentang penanganan perubahan iklim ke depan. "Kita harus tetap optimis memberi harapan sesuatu yang lebih baik terkait lingkungan (dengan adanya Pemilu 2024). Kita mendorong kebijakan iklim yang berkeadilan," kata Penggagas My Green Leaders, Kholida Annisa dalam Media Briefing yang digelar di Yogyakarta, Selasa (21/11).
Kholida menuturkan, pihaknya telah bergerak agar anak-anak muda lebih peduli dengan perubahan iklim yang sudah terjadi dengan menyuarakan pemimpin pro iklim pada 2024. Caranya, Kholida menggandeng anak muda yang tergabung dalam Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM).
"Pada Juni 2022, kami mengadakan Future Green Leaders Camp untuk mendorong kaum muda untuk mempunyai perspektif lingkungan, sehingga pemimpin ini tidak terpusat di saya tetapi memastikan kepada semua peserta," ujar perempuan yang pernah menjabat sebagai Ketua Bidang Lingkungan Hidup PP IPM periode 2021-2023.
Langkah itu dilakukan guna mengarusutamakan isu lingkungan sehingga kerusakan lingkungan tidak lebih cepat, daripada gerakan peduli lingkungan. Salah satunya membuat anak muda memahami kekuatan mereka secara politis."Kami ini bukan Cuma obyek suara di Pemilu tetapi subyek suara dan mendorong hal itu. Kami bayangkan kami jadi kekuatan besar mendorong pemimpin pro iklim dan massif melakukan pelatihan Future Green Leaders dan menyiapkan anak muda jadi Green Leaders sesuai yang kami geluti kedepannya," kata dia.
Aniati Tokomadoran, penggarap program Salawaku Movement, mengatakan anak muda tidak boleh hanya berpangku tangan melihat perubahan iklim yang terjadi. Pasalnya, anak muda dan generasi selanjutnyalah yang nantinya akan menempati bumi ini.Ia memilih pondok pesantren untuk sasaran programnya, lebih tepatnya empat pondok pesantren di DIY. Keempat pondok tersebut yakni, Al Imdad, Assalafiyah, Ar-Rahmah, dan Asy Syifa.
"Selama riset ternyata teman-teman pesantren belum paham dengan diksi perubahan iklim, mereka melihat itu sebagai hal yang normal dan bukan masalah besar. Dari situ kita sadar bahwa ada perbedaan pengetahuan dengan pesantren," papar dia.Pihaknya kemudian mengembangkan modul bertajuk Climate Boarding School. Pada Maret 2023 ia telah mendiseminasikan modul ini dalam kegiatan People Strike for Peace, Women, and Climate Justice. "Sejak riset itu, pihak pondok pesantren mulai mengerti dan sadar untuk mempraktekkan kesadaran lingkungan, mereka mengurangi jajanan dengan kemasan sekali pakai dan disuport dengan pengelolaan sampah mandiri di pesantren," kata Ani.
Kedua program tersebut merupakan bagian dari Bengkel Hijraj Iklim (BHI). Project Lead Bengkel Hijraj Iklim (BHI), Aldy Permana mengatakan, pihaknya menggandeng anak muda guna ikut terlibat dalam isu perubahan iklim, adaptasi mitigasi, dan juga transisi berkelanjutan. BHI menurutnya berkomitmen untuk meningkatkan kapasitas anak muda dalam membahas isu lingkungan."Tahapan BHI pertama pelatihan yang pada Oktober 2022 diikuti 20 anak muda Islam dari berbagai daerah di Indonesia. Lalu lima orang alumni kita beri kesempatan untuk mendaftarkan proyek atau ide mereka dalam bentuk proposal yang diberikan funding kepada mereka ini," kata dia.
Lima orang alumni tersebut kemudian juga mendapatkan pelatihan dan mentoring. Mereka mendapatkan pendampingan dari strategi hingga tahap implementasi.Peneliti Pusat Studi Kepemudaan dan Departemen Sosiologi UGM, Ragil Wibawanto apresiasinya terhadap berbagai program yang ada di BHI. Hal ini menurutnya merupakan wujud aksi berkelanjutan dan praktek baik dari kepedulian terhadap krisis iklim.
"Generasi Z ini jumlahnya banyak dan mereka akan menjadi pemimpin baru yang mana itu menjadi potensi sebagai penerus Indonesia, itu data dari kependudukan," katanya.Namun, Ragil menyoroti bahwa isu dan gerakan lingkungan ini lebih banyak dilakukan di kota. Padahal dari data yang ada menurutnya desa juga mengalami permasalahan lingkungan yang besar. Sehingga isu lingkungan ini menurutnya harus didekatkan dengan konteksnya atau dimasukkan dalam lokalitasnya."Ada pula peluang untuk memanfaatkan pendidikan non formal seperti yang dilakukan Kholida dan Aniati ini. Karena ketika masuk ke pendidikan formal kadang ada batas-batas yang tidak bisa dilewati," tutup Ragil. (Z-3) (https://m.mediaindonesia.com/nusantara/631486/anak-muda-inginkan-pemimpin-pro-iklim-pada-pemilu-2024)